Hati siapa yang tidak perih dan sakit ketika mendengar orang yang kalian cintai dan sayangi memaki diri kalian dengan segenap sumpah serapahnya? Seluruh usaha dan tenaganya sudah ia kerahkan untuk kembali mendapatkan cintanya. Namun, apa yang didapat? Jangankan balasan akan perasaan yang sama, untuk menerima kehadirannya saja seperti mendapat malapetaka saja.
Ray segera turun dari mobil diiringi Wira setelahnya. Keduanya beriringan masuk ke dalam. ”Oleh-olehnya mana sayang?” tanya Dian kepada Ray. Yang ditanyai pun diam saja dan malah melesat ke kamarnya begitu saja.
Dian melemparkan pandangannya kepada Wira yang masih berdiri disana. Wira menggelengkan kepalanya dan Dian cukup peka akan hal itu, yang dimana Wira memberikan isyarat dan secara tidak langsung memberitahukan kalau semuanya tidak berjalan lancar.
“Wira ke atas dulu ya mba,” ucap Wira permisi untuk segera menuju ke kamarnya. Tadi ia mendapat telepon dari Robi kalau ia harus menghadiri pertemuan penting di Jakarta, yang tidak lain ialah berkaitan dengan proyek hotel yang akan di bangun disana.
Baru saja kembali dari Ciwdey ia harus menempuh perjalanan ke Jakarta lagi, rasanya badannya sudah mau terbelah menjadi dua saja. Wira mengemasi pakaiannya lalu ia masukkan semuanya ke dalam koper.
Ia berniat setelah pulang dari Jakarta nanti ia ingin langsung tinggal di apartemen yang sudah dibelinya beberapa waktu lalu dengan bantuan Robi. “Nyerah?” gumamnya ketika fikirannya terpusat pada satu orang yaitu Ray.
Wira pun duduk di pinggiran ranjang sambil berpikir keras. ”Om nggak bakalan nyerah Ray, biar waktu yang menjawab semua perasaan om ke kamu.” ucapnya meyakinkan diri sendiri bahwa dirinya tidak akan menyerah. Sudah cukup penantiannya selama sepuluh tahun, menyerah? Tidak, Wira tidak akan pernah menyerah sedikit pun.
”Eh? Wira? Mau kemana?” tanya Dian yang sibuk menyajikan berbagai macam masakan di meja makan.
”Mau siap-siap ke Jakarta mba, soalnya ada kerjaan mendadak.” jawab Wira sambil menyeret kopernya ke ruang tamu.
”Makan dulu Wir.”
”Iya mba.”
Di balik pintu kamarnya Ray berdiri mendengarkan percakapan dua orang dewasa di dapur. Ia mendengar kalau Wira akan segera meninggalkan Bandung karena ada urusan. Sorot matanya menurun ke bawah, entah mengapa mendengar hal itu membuat Ray sedikit sedih. Eh?
Ia pun keluar dari kamar dan segera menuju dapur untuk makan siang. Sebenarnya tidak bisa di bilang makan siang juga karena ini sudah pukul 2:30. Tidak lama kemudian Fendy juga pulang dan disambut suka cita oleh istrinya, Dian.
Wira tersenyum tipis melihat pemandangan dua orang yang berlainan jenis itu terlihat begitu mesra dan intim. Ah, kapan Wira bisa disambut seperti itu oleh pujaan hatinya, Ray? Senyuman getir nan samar pun terukir di bibirnya.
Sedari tadi Ray memperhatikan Wira tanpa Wira sadari. Guratan lelah di wajahnya jelas sekali meskipun di tutupi oleh wajah tampannya yang meneduhkan itu. Meneduhkan? Eh?
”Itu koper siapa?” tanya Fendy kemudian duduk di samping Ray.
”Koper aku mas,” jawab Wira.
”Loh? Mau kemana emang? Ampe segitu banget bawaannya?”
“Mau ke Jakarta mas ada urusan. Jadi, nanti pas pulang mau langsung ke apartemen aja biar sekalian gitu.“
”Ke apartemen? Ngapain?”
”Ya tinggal disana lah mas wkwk.”
”Ya iya kenapa nggak tinggal disini aja gitu. Kan bisa rame-rame kek gini.”
”Haha biar deket aja mas kalo ke kantor, soalnya suka sumpek kalo macet di jalan. ”
Tiba-tiba Ray merasa seperti ada jarum yang menusuk dadanya. Perasaan apa ini? Bahkan, ia tidak tau penyebab dari perasaan hatinya yang seperti ini. Ray tidak ingin ambil pusing dan lebih memilih menyantap masakan yang ada di piringnya.