Incomplete 28

348 34 2
                                        

Chen protes kepada Hendro. Seharusnya Hendro membawa Chen kemari sore atau malam hari. Kalau pagi-pagi begini, mana bisa, Chen melihat lampion warna-warni? Kalau pun bisa, tapi tetap tidak seindah saat malam hari, bukan? “Yang penting jalan-jalan, Chen. Sumpek di rumah mulu,“ ucap Hendro. Chen mencebikkan bibir kesal. “Tunggu dulu, om mau minta tolong sama orang buat fotoin kita,“ ucap Hendro. Chen tidak menyahut. Dia lebih asyik bermain gadget. “Mba, tolong fotoin kita berdua, ya?“ pinta Hendro kepada seorang perempuan berhijab pisket hitam.

“Bangun dulu, Chen. Biar om bantu,“ ucap Hendro. “Foto mah foto aja~ Nggak usah ribet napa?“ ucap Chen protes. Hendro berharap. Chen bisa sembuh lebih cepat; jikalau dia lebih sering bergerak. Hendro menahan tubuh Chen dengan melingkarkan tangannya di pinggul. Sedangkan Chen melingkarkan tangannya di leher Hendro. Chen malu. Perempuan itu terlihat geli menatap dirinya dan Hendro. “Urat malu lu udah putus apa?“ gumam Chen menggerutu. “Biarin,“ sahut Hendro tidak perduli. Beberapa foto dengan berbagai pose pun berhasil diambil. Chen memang tidak tersenyum; mungkin karna dia terlalu gugup hingga membuatnya agak kaku.

Namun, terdapat dua foto—yang menjadi favorit Hendro. Pertama saat ia menatap Chen, semantara Chen menundukkan pandangannya. Kedua saat Chen mendongakkan kepala dan menatap kedua matanya—pun badan yang saling berhimpitan. Hendro langsung mengganti foto profil whatsapp dengan foto tersebut. Bahkan ia juga mengupload nya di status whatsapp. Kontan Chen pun memberikan tatapan membunuh ke Hendro. “Malu-maluin tau om!“ ucap Chen kesal. “Biar semua orang tau kamu udah ada pawang,“ sahut Hendro masa bodoh.

Hendro mendorong kursi roda Chen menuju salah satu foodcourt—yang menjual Sate dan Tongseng Petir (baca: seporsi sate dan tongseng kambing yang dicampur dengan bumbu pedas). Ditemani sekotak Bakpia Pathuk legendaris. Sambil makan; Chen dan Hendro sambil mengobrol. “Chen, besok kamu ikut om ke kantor. Om ada rapat penting soalnya, makanya nggak bisa stay di rumah,“ ucap Hendro sambil menyantap sate. “Bukan urusan gue. Intinya gue mo di rumah aja,“ sahut Chen malas. Cih! Ngapain coba pake acara bawa gue ke kantor segala? Kurang kerjaan banget. Lagian mendung gue di rumah, daripada liatin orang-orang nggak jelas, batin Chen.

Kedua mata Chen berbinar; saat ia merasa betapa sebuah bakpia dengan isi kacang hijau ini teramat sangat lezat. “Gimana? Suka? Biar nanti beli lagi dua kotak buat stok di rumah,“ ucap Hendro sekaligus bertanya. “Beli aja banyak-banyak buat cemilan,“ ucap Chen sambil main hp. Setelah selesai makan-makan, dan ingin kembali masuk ke dalam mobil, tiba-tiba hp Hendro berdering. “Bentar, Chen. Om mau angkat telpon dulu,“ ucap Hendro. Kedua alis Hendro langsung menukik tajam saat menerima telepon tersebut. “Langsung blacklist aja. Lagian saya nggak mau kerja sama sama orang cerewet kek gitu. Toh, batal satu kontrak juga nggak ngaruh sama perusahaan,“ ucap Hendro. Lalu, sambungan telepon pun terputus.

“Mau kemana lagi ya, Chen? Masa langsung pulang, sih?“ tanya Hendro sambil menyetir dengan kecepatan sedang. Hm, barangkali dia menemukan tempat bagus untuk bersantai. “Ke hotel aja kali ya, Chen?“ ucap Hendro. Chen pun langsung mendelik tajam. “Nah? Bener, kan? Pasti om sering ke hotel?“ ucap Chen sarkasme. “Kan udah om kasih bukti kemaren? Itu pertama kalinya lho om begituan? Bisa-bisanya kamu nggak percaya sama om,“ sahut Hendro geleng-geleng kepala. Chen berdehem. Ia kesal dan lebih memilih bermain gadget saja. Ke-kemarin, ya?, batin Chen. Tiba-tiba Chen jadi gugup dan panas dingin. Masih jelas di benak Chen; bagaimana ia berteriak kenikmatan saat Hendro menjelajahi tubuhnya. Bahkan bekas membiru karna kecupan mesra Hendro pun masih terlihat jelas.

Bisa-bisanya gue malah begituan ama nih orang?, batin Chen semakin gugup. Ia memutuskan untuk berhenti main gadget, dan melemparkan pandangannya keluar jendela. “Om Hendro! Gendong! Gendong!“ ucap Chen saat ia masih kecil, dan meminta digendong oleh Hendro. Uh, kenapa gue malah inget masa kecil gue, sih?, batin Chen sambil mengusap air mata yang hendak jatuh. Hendro pun menoleh. Chen nangis?, batin Hendro saat melihat Chen mengusap sudut matanya.

Incomplete [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang