Di ruangan hotel tempatnya menginap seketika berubah menjadi kantor dadakan. Pertemuan untuk menangani proyek pembangunan hotel di salah satu lokasi strategis di Jakarta tidak bisa dibilang mudah. Banyak kepala yang mengemukakan pendapat yang berbeda-beda sehingga menimbulkan rapat yang alot.
Wira memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Kopi dan sebatang rokok pun tidak mampu mengusir kepenatannya. ”Hah,” ia pun menghela nafas sambil menyenderkan badannya di kursi dan memejamkan mata sejenak.
Tiba-tiba bayangan Ray muncul di pikirannya. “Lagi ngapain ya dia,” batinnya. Drt drt drt ponsel Wira berbunyi pertanda ada panggilan masuk. Disana tertera nama 'Mas Fendy'. ”Tumben?” gumamnya heran kemudian segera mengangkat teleponnya.
”Assalamu'alaikum,” ucap Fendy di seberang sana.
”Wa'alaikumussalam ada apa ya mas?” sahut Wira.
”Mas ganggu nggak Wir?”
”Nggak mas, ini Wira lagi nyantai kok.”
”Gini Wir mas lagi dinas ke luar kota trus mba Dian juga nemenin mas..,”
”Trus?”
”Tadi mas dapet kabar kalo si Ray masuk RS katanya kakinya patah gara-gara maen bola. Mas minta tolong kamu jagain Ray ya Wir?”
Tubuh Wira menegang ketika mendengar kabar dari Fendy yang mengatakan Ray masuk rumah sakit, apalagi kakinya patah. Wira ingat kalau dulu Ray sempat lumpuh dan karena itulah ia dilarang beraktivitas yang berat-berat seperti berlari dan lain-lain.
Ia pun segera menutup semua berkas-berkas yang ada di meja. Lalu, meraih jasnya yang tergantung di samping almari sekaligus kunci mobil yang ada di meja. ”Rob, kamu urus sisanya ya? Aku ada urusan musti balik ke Bandung sekarang.”
”Aku tutup dulu ya mas ini aku mau langsung otw aja. Assalamu'alaikum.”
Guratan kekhawatiran begitu jelas di wajahnya. Wira tidak ingin terjadi apa-apa pada Ray. Bagaimana pun buruknya sikap Ray kepada dirinya tetap saja Wira mencintai dan menyayanginya sepenuh hati.
Di belahan kota lain Fendy tertawa cekikikan setelah berbohong kalau dirinya ada dinas ke luar kota sehingga tidak bisa menemani Ray. ”Mas mau ngajarin Ray yang nggak-nggak nih?” cetus Dian menatapnya dengan tatapan datar dan kedua mata yang menyipit.
”Hehehe kalo gak gitu kita gak bisa berduaan yaaaaaaaannnnk,” ucap Fendy manja sambil memeluk istrinya dari belakang sambil menikmati keindahan Ciwidey dari atas flatpon berbentuk bintang yang biasa disebut Teras Bintang.
Beberapa waktu lalu Dian sempat ngambek karena iri melihat Wira dan Ray yang liburan ke Ciwidey. Akhirnya Fendy pun mengosongkan jadwalnya di kantor dan membawa Dian sang istri untuk berlibur ke Ciwidey beberapa hari.
Hujan deras mengguyur kota Bandung dan membuat Wira tidak bisa melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Namun, ia bersyukur karena saat ini sudah memasuki jl. Layang Pasupati, yang artinya sebentar lagi mobilnya akan memasuki kota Bandung.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam 22 menit, akhirnya Wira pun sampai di rumah sakit Advent. Ia segera menuju ruangan Ray dirawat setelah bertanya dimana letak persis ruangannya.
Jantung Wira seakan berhenti berdetak ketika melihat Ray terbaring lemah di brankar dengan kaki sebelah kanan yang dipasangi gips. ”Tolong mukanya dikondisiin. Lagian gue gak mati kok ck,” ucap Ray yang tengah asyik bermain game di ponselnya.
Wira duduk di samping brankar sambil memegangi perutnya yang terasa perih dan menusuk. Keringat mulai berjatuhan di pelipisnya dengan rona muka yang mulai memucat. Wira baru ingat kalau dirinya sudah melewatkan sarapan dan makan siangnya lantaran terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
