Incomplete 34

292 22 2
                                        

Steve pun tiba di tanah air; tepatnya di Yogyakarta International Airport; setelah terbang belasan jam dari Italia. Hal pertama yang ia lakukan setelah turun dari pesawat ialah mengaktifkan hp nya kembali. Shit! Ia baru sadar; jikalau hp nya sendiri no signal; dikarnakan masih menggunakan kartu seluler Italia. Gimana caranya gue nelepon Bang Hendro, ya? Trus yang jemput gue siapa? Lah lah lah lah gimana, nih? Kalo kesasar beneran gimana? Keluar bandara dulu aja deh. Biar nanti ngehospot sama petugas di sana, batin Steve.

“Steve?“ seru Laco menahan pundak Steve dengan tangan kirinya. Hah? Om ini siapa coba? Kok bisa tau nama gue?, batin Steve mengernyitkan alis. Ia memandang Laco dari ujung kaki sampai ujung rambut. Dih, bule? Trus brewok sama kumisan pula?, batin Steve melongo. Laco pun melepaskan kacamata hitam—yang ia kenakan. “Steve Anderson?“ ucap Laco. Steve masih diam seribu bahasa karna kebingungan. “Sini koper kamu,“ ucap Laco lagi mencoba mengambil koper milik Steve. Namun, Steve malah menahan kopernya sendiri dengan kuat. Jangan bilang dia pencuri di Bandara, trus bawa kabur koper gue? Hoho nggak bisa nggak bisa. Gue nggak sebodoh itu, batin Steve.

“Maaf, anda siapa, ya? Di koper saya nggak ada yang ato emas. Jadi, lebih baik anda curi koper orang lain aja,“ ucap Steve menatap Laco penuh dengan rasa curiga. Huft, Laco mendengus. “Laco Rodriguez,“ ucap Laco memperkenalkan diri. “Maaf, tapi saya nggak kenal,“ ucap Steve ketus. Laco mencoba menajamkan pendengaran dan penglihatannya. Hm, aman, batinnya. Laco dikenal memiliki insting yang sangat tinggi. Itulah mengapa ia mencoba memastikan dulu keamanan di sekitar Steve.

“Heh, saya bodyguard pribadi kamu, dan saya diperintah langsung oleh Sean Anderson dan Hendro Atmajaya Anderson,“ ucap Laco. Tau dari mana nih orang nama lengkap papa sama abang gue sendiri? Pasti dia mata-mata, batin Steve menyipitkan mata. Steve masih belum dan tidak bisa percaya. Sebagai satu-satunya jalan ialah Laco menghubungi Hendro dan Robert dengan panggilan video call tiga orang sekaligus. Lalu, Laco pun mengarahkan kamera depan ke Steve. Eh? Bang Hendro?, batin Steve terkejut.

“Tolong anda berdua jelasin ke ini anak, aku itu siapa,“ ucap Laco. “Ganggu aja. Orang mau rapat juga,“ ucap Robert dingin, lalu langsung memutuskan sambungan video call. Kini tersisa Hendro seorang. “Steve, dia yang bakalan jagain kamu 24 jam. Dia orangnya abang. Dia bukan penipu, pencuri, atopun penculik yang kek kamu bayangin sekarang,“ ucap Hendro sarkasme. Hendro paham betul jalan pikiran Steve. “Eh? Gitu ya, bang?“ ucap Steve menggaruk lehernya—yang tidak gatal sama sekali.

“Inget pesen abang baik-baik, Steve. Kalo kamu ketahuan abang nggak bisa diatur dan bikin ulah, abang bakalan pulangin kamu ke Italia. Jadi, jaga sikap kamu selama ada di sini. Ngerti?“ ucap Hendro serius. “Iya~“ sahut Steve acuh tak acuh. “Kamu dengerin abang ngomong, kan?“ tanya Hendro. Steve cuma mengangguk-anggukan kepala. “Kamu juga harus sopan santun ke Laco. Dia lebih tua dari kamu. Jangan samain Italia dan Indonesia, Steve.“ ucap Hendro. Steve memanyunkan bibir. “Hm,“ sahut Steve dengan deheman saja. Sambungan video call pun terputus. Huh, niat hati ingin bersenang-senang, malah mood jadi rusak, batin Steve.

“Nih, kopernya,“ ucap Steve ketus memberikan dua kopernya kepada Laco. Serius deh, ini anak pinter banget jatuhin harga diri orang? Bisa-bisanya aku dikasih tugas jagain si begundal ini 24 jam. Huh, untung satu bulan dibayar 1 miliar, batin Laco. Laco pun memakai kacamata, lalu melangkahkan kaki keluar bandara sambil menarik dua buah koper. “Eh? Bule mana, nih? Ganteng banget ya ampun! Mau daftar dong mas bule,“ ucap seorang wanita itu terlihat centil. Laco pun menoleh. “Maaf mba, saya udah punya istri,“ ucap Laco sembari menunjukkan cincin emas di jari manisnya.

Baru satu hari Ino dan Tito pindah di sebuah apartemen dengan luas total 30 meter persegi—yang berlokasi di Caturtunggal, Sleman. Dengan tipe deluxe (baca: 1 kamar tidur, 1 kamar mandi, dapur, dan balkon). Ino sudah mengeluh. “Gue nggak bisa nyuci baju, To. Gue nggak tau caranya~“ ucap Ino uring-uringan di atas ranjang. “Derita lu. Intinya kita cuci baju masing-masing,“ ucap Tito sambil melepas seragam sekolah hingga menyisakan dalaman saja. “To, masih ada gue di sini. Lu nggak malu apa?“ ucap Ino sekaligus bertanya. Huft, main game aja ngebosenin banget, batin Ino menggerutu.

Incomplete [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang