Wira melajukan mobilnya mengikuti taksi yang membawa Ray entah kemana. Hingga taksi yang membawa Ray pun singgah di salah satu kafe yang agak aneh? Ya, tidak seperti kafe pada umumnya. Di luar pengunjung di sambut oleh perempuan yang berpakaian minim dengan tonjolan dua melon yang seolah-olah hendak menyembul keluar.
Ia pun memarkirkan mobilnya di tempat khusus parkir. Cukup memantau dari sini saja. Ia tidak ingin membuat Ray lebih marah dan kecewa padanya. Bagi Wira Ray adalah permata hidupnya yang harus ia jaga dengan hati-hati. Dari sini ia bisa melihat kalau Ray berkumpul bersama teman-temannya. Mereka duduk tepat menghadap ke jendela. Ya, tempat yang selalu menjadi favorit setiap pengunjung, karena bisa menikmati hidangan sambil mata memandang keluar jendela melihat motor dan mobil yang berlalu lalang.
Wira menyenderkan punggungnya di kursi kemudi. Matanya tidak pernah lepas sedetik pun untuk memandangi Ray dari kejauhan. Setelah mendengar penjelasan dari Dian alasan mengapa Ray begitu membencinya, serasa ia harus lebih ekstra lagi untuk berusaha mengambil hati Ray.
”Hah,” Wira menghela nafas berat. Tidak ingin berada dalam kebosanan akhirnya Wira memutar lagu dari mobilnya.
***
Disini lah Ray dan kawan-kawan berada. Banyak di antara mereka yang menggerutu kesal kepada Yuda yang sudah berbohong minta tolong, termasuk Ray. Sedangkan Yuda cuma nyengir kuda saja mendengar keluh kesah sahabat-sahabatnya itu.Di manapun dan kapanpun Ray selalu saja menjadi pusat perhatian. Seorang waiters wanita berpakaian minim mendekati mejanya dan memberikan tabel menu. Sebut saja namanya Lina. Lina sengaja mendekat ke arah Ray, menunjukkan menu apa saja yang hits di kafe ini. Tentu bukan hanya itu saja tujuannya. Lina bisa leluasa mendusel-duselkan melonnya yang menyembul itu di lengan Ray.
Tertarik? Jangankan tertarik malahan Ray merasa jijik dibuatnya. Hanya saja ia bersikap biasa-biasa saja seolah tidak ada yang terjadi. Begini-begini Ray tipe orang yang tidak ingin menyakiti hati orang lain dan lebih menghargai orang tersebut, kecuali perilakunya sudah di luar batas.
”Uhm yang inih lagi rame loh mahs,” ujar Lina dengan nada yang mirip suara rintihan sambil menunjukkan cake tiramisu. Ray mengangkat sebelah alisnya kemudian mengiyakan usulan Lina.
Berbanding terbalik dengan Yuda yang sudah panas dingin. Dirinya membeku di tempat ketika waiters bernama Zahra itu mengelus lengannya sensual. Bahkan, keringat mulai berjatuhan dari pelipisnya. Ray yang melihat pemandangan itu pun geleng-geleng kepala saja.
Angga dan Rudi bersikap biasa-biasa saja. Sedangkan Prima dengan lancangnya meremas bongkahan semangka si waiters sampai-sampai si waiters mendesis. Ya tuhan, apa salah Ray sampai-sampai di kelilingin oleh sahabat-sahabat yang rada-rada?
”Dapet?” tanya Prima ke Angga.
”Yap,” jawab Angga bangga.
”Hotel?”
”Yoi,”
”Masih VG?”
”Iyalah gini gini gue gak mau yang bekas keles,”
Di antara mereka berlima Angga dikenal yang paling playboy dan sering memacari banyak wanita. Dari adik kelas, kakak kelas, sampai tante-tante wanita karir. Usianya lebih muda 2 tahun dari Ray, namun tinggi badannya lumayan tinggi dengan wajah tegas yang dewasa, tapi tidak terkesan tua.
Rudi itu sedikit gemuk dengan bibir yang tebal dan rambut agak keriting. Kulitnya hitam manis dan itu justru menjadi daya tariknya di mata bule-bule seksi dan atletis. Tidak sedikit juga pria yang terang-terangan teratarik pada Rudi. Namun, sekali lagi Rudi itu straight jadi ia selalu menolaknya dengan halus.
Beberapa saat kemudian pesanan pun datang. Kali ini diantar oleh pria-pria atletis. Ray sendiri bingung dengan kafe yang ia kunjungi saat ini. Ketika hendak memesan sesuatu maka para waiters wanitalah yang melayani. Giliran mengantarkan pesanan pria-pria atletis lah yang melayani.