Incomplete 07

768 69 9
                                        

Kini Wira, Fendy, dan Dian sudah berada di rumah sakit. Disana juga ada ayahnya Rama dan istri Elang, Dewi. Semua yang ada disana harap-harap cemas menunggu dokter keluar dari ruangan VIP tempat Elang dirawat.

Jauh dalam hati Wira. Ia merasa sebagian dari dirinya hilangnya. Hatinua perih bak disayat pisau tajam. Rasanya melihat tubuh Elang yang tidsk berdaya seperti membuatnya lebih sakit. Walaupun hubungan keduanya kurang baik tetap saja Elanga dalah kakaknya.

Ray berada di gendongan Wira. Sedari tadi Ray merengek minta digendong hingga membuatnya tertidur pulas di pundak Wira. Sesekali Wira mengelus surai rambutnya yang lembut sambil mata memandang sang kakak dari jendela kecil di pintu.

Dari sudut kursi ruang tunggu, nampak Dewi duduk termenung. Jelas sekali kalau kini ia begitu mengkhawatirkan sosok elang. Ia diam seribu bahasa seolah ada banyak hal yang dipikirkannya.

Wira mencoba menghampiri Dewi dan duduk di sampingnya. Dari kejauhan Dian melihat Wira nampak kesusahan dengan Ray yang berada pada gendongannya. Akhirnya Dian menghampiri Wira dan memintanya untuk menyerahkan Ray pada dirinya.

”Maaf ya mba,” ujar Wira merasa tidak enak.

”Nggak pap Wir,” sahut Dian tersenyum.

Tangannya refleks menggenggam tangan kiri Dewi yang nampak gemetar. Raut wajah Dewi nampak pucat pasi seolah masih tidak percaya dengan apa yanh terjadi dengan Elang kini hingga membuatnya hilang kesadaran.

Dewi menatap mata Wira dan entah mengapa Wira merasakan secercah rasa takut di kilauan mata cantik Dewi. Bibirnya bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu, namun lidahnya terasa kelu. Hanya air matalah yang mengucur deras sebagai ungkapan isi hatinya kini.

Wira memeluk Dewi seraya mengusap pelan punggungnya memberi kekuatan disana. Bukan pelukan bernafsu atau ada perasaan terselubung. Hanya sebuah pelukan dari seorang adik ipar yang ingin mencoba menenangkan kakak iparnya.

”Wir.. Se-semuanya gara-gara mba,” ucap Dewi terbata-bata seraya merenggangkan pelukannya. Ia menatap Wira dengan perasaan takut. Takut disalahkan, takut dipenjarakan, dan perasaan takut lainnya yang begitu menghujami hatinya saat ini.

”Mba, ini bukan salah mba, ini musibah,” ujar Wira berusaha menenangkan. Namu, Dewi menggelengkan kepalanya cepat. ”Nggak Wir, semuanya salah mba!”

”Sebenernya mba gugat cerai Elang Wir,” seketika perkataan Dewi menbuat Wira mengerutkan dahinya bingung. Cerai? Bagaimana bisa Dewi menggugat cerai suaminya sendiri? Bahkan, hubungan keduanya terlihat baik-baik saja.

“Elang sekingkuh,” tukas Dewi membeberkan fakta yang sebenarnya yang menjadi alasannya menggugat cerai Elang. Wanita mana yang tidak sakit hati ketika melihat suaminya sendiri bermesraan dengan wanita lain?

Dewi pun menjelaskan semuanya panjang lebar kepada Wira. Kini Wira paham mengapa Dewi menggugat cerai Elang. Ia dapat memaklumi keputusa Dewi tersebut, karena wanita mana yang kuat ketika suaminya bermain api di belakang istrinya sendiri.

Wir kembali memeluk Dewi berusaha memberikan kekuatan disana. Tidak berselang lama akhirnya seorang dokter pun keluar dari ruangan Elang dirawat. Dokter itu pun kemudia menjelaskan keadaan Elang secara detail.

Betapa terkejutnya Wira, Dewi, Rama dan semua orang yang ada disana. Ketika dokter tersebut memvonis kaki kiri Elang lumpuh permanen, dikareakan syaraf-syaraf yang ada dikaki kirinya sudah rusak dan tidak mampu bekerja lagi.

Bagai dentuman petir yang memekakkan telinga hingga membuat sekujur tubuh ngeri dibuatnya. Tubuh Dewi bergetar hebat. Lututnya lemas hingga membuatnya terduduk di lantai. Tangisnya tumpah ruah hingga membuat kesadarannya perlahan menghilang.

Incomplete [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang