Dinginnya malam begitu menusuk tulang. Sepi dan hening seolah menjadi teman setia. Segelas kopi yang pahit juga se-akan memberi mapna jikalau apa yang ia rasa jauh lebih pahit. Sebab pahitnya kopi hanya terasa di ujung lidah saja-lagi bersifat sementara-pun berbeda dengan luka batin yang pahitnya hingga ke dalam dada. Dia singgah pada tiap-tiap relung hati yang terbuka, lalu menoreh luka laksana air yang terus menghujani bumi pertiwi hingga angkasa. Dia menjalar ke seluruh sanubari bagai parasit yang menggerogoti jiwa.
Sungguh ironi.
"Bos! Kita pulang duluan, yak!" seru Michael ijin pulang bersama rekan-rekan yang lain.
Hendro pun menganggukkan kepala mempersilahkan.
Dua mata ia menerawang jauh ke depan-pun ia sesekali menyesap kopi yang mulai kehilangan kehangatannya. Hendro telah merasakan pahitnya kehidupan. Semua seakan-akan tak berkesudahan mulai dari kematian sang ibunda hingga kebencian Elang yang membabi buta. Semua telah keluar dari jalur yang semestinya. Semua sudah berada di luar kendali-yang tak mungkin berubah seperti semula lagi.
Tiba-tiba hp ia pun berdering. Di sana tertera nama Dian.
"Halo?" ucap Hendro pertama kali setelah mengangkat telepon.
"Hen? Kamu bisa ke sini, nggak?" tanya Dian dari seberang sana.
Suaranya yang terdengar cemas dan khawatir itu menandakan jikalau sesuatu pasti telah terjadi.
"Bisa, mba, tapi tumben nyuruh aku ke sana jam segini?" sahut Hendro sembari melirik jam tangan ia yang telah menunjukkan pukul sebelas malam.
"Chen nggak mau makan, nggak mau minum obat, trus nggak mau tidur. Dia bilang pengen makan disuapin sama kamu, tidur sama kamu, Hen," ucap Dian.
Hendro pun tersenyum.
"Ok ok siap meluncur bos! Wkwkwk," ucap Hendro.
"Halah dasar kamu, Hen! Pake bas bes bos segala! Cepetan, yah!" ucap Dian.
Hendro pun segera bergegas menuju tempat kediaman Dian di Darmahusada. Sebelum berangkat ia mengunci pintu depan dan belakang terlebih dahulu. Chen? Dia adalah satu-satunya keponakan Hendro yang amat sangat dekat dengannya. Chen selalu saja menempel pada Hendro tiap kali ia datang berkunjung ke rumah. Tiba di rumah Dian, Hendro pun langsung masuk ke dalam tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, sebab Dian pernah berkata Hendro boleh datang kemari kapan pun tanpa mengetuk pintu sama sekali, karna Dian telah menganggapnya sebagai adiknya sendiri.
"Om Hendroooooooo!!!" seru Chen.
Chen merupakan anak semata wayang pasutri Dian dan Fendi-yang di mana Fendi merupakan saudara dari almarhumah ibunda Hendro. Chen baru ber-usia tujuh tahun, namun tiap pali ia bersama Hendro, pasti ia pan bersikap sangat manja sekali. Uh, dasar anak bontot, batin Dian. Chen pun langsung berhambur di pelukan Hendro. Chen pun merengek minta digendong, tetapi Dian malah menegurnya dengan mengatakan jikalau Chen sudah terlalu besar untuk digendong oleh Hendro.
"Dek? Kasian omnya, kamu berat, lho?" ucap Dian.
Chen pun mengerucutkan bibir sambil kedua tangan bersedekap di dada.
"Hmph! Mama ngeselin!" ucap Chen.
"Lho? Kok ngatain mama ngeselin, sih, sayang?" ucap Dian.
"Udah, mba. Nggak papa, kok. Lagian Chen nggak berat-berat banget," ucap Hendro sembari menjawil hidung Chen gemas.
Hendro pun berdiri tuk menggendong sang ponakan. Sungguh ia benar-benar terkejut tatkala ia merasakan Chen jadi lebih berat dari biasanya. Oh, tidak. Hendro lupa jikalau Chen sudah ber-usia tujuh tahun. Di usianya itu pastilah berat badan Chen telah mencapai dua puluh kilogram lebih. Huft, untung pinggang gue nggak encok, batin Hendro. Dian pun menghela nafas, tetapi ada hal yang menarik perhatiannya.
