Ino pun duduk di bangku—yang ada di pinggiran kolam sembari menunggu Tito selesai latihan. Daripada bosan, ia menunggu sambil main hp. Beberapa saat kemudian; Tito pun selesai latihan. Teman-teman Tito lewat lebih dulu di hadapan Ino. Dan Ino mendapat tatapan sinis dari Toni. Entah Ino sedang tidak ingin bertengkar atau bagaimana. Dia cuman menatap Toni datar sambil geleng-geleng kepala. “No? Lama, ya?“ seru Tito dalam kondisi telah berganti pakaian. “Nggak gue jawab pun lu udah tau jawabannya apa,“ sahut Ino sebal sembari memutar bola mata malas. Ino pun beranjak dari bangku, dan melangkahkan kaki lebih dulu.
Tito terkekeh melihat kelakuan Ino. Tito jalan beriringan dengan Ino menuju kantin. Dua cowok tampan itu pun seketika menjadi pusat perhatian. Di kantin; Tito menikmati semangkuk sup merah; sedangkan Ino sepiring ayam geprek. Ino penasaran dengan rasa sup merah—yang Tito makan. Ini bukan karna Ino tidak pernah makan, melainkan dia cuma ingin mencicipinya sedikit saja. “Minta sup merahnya dong,“ ucap Ino. Tito pun mendorong mangkuknya sedikit, supaya bisa lebih dekat dengan Ino. Setelah Ino menikmati sup tersebut beberapa sendok, ia pun kembali mendorong mangkuknya ke Tito.
“Kebiasaan lu kalo makan, No. Kek anak kecil tau?“ ucap Tito mengambil sehelai tisu. Tito pun mengusap bibir dan dagu Ino—yang terdapat sisa-sisa kuah sup. Ino membeku. Dia gugup. Padahal hal itu sudah biasa Tito lakukan kepada dirinya sejak kecil. Tapi, entah mengapa, sekarang terasa sedikit berbeda, batin Ino. Tito malah biasa-biasa saja, dan fokus menghabiskan makanan yang ia makan. “Kenyang No Kenyang,“ ucap Tito sembari mengusap bibir dengan tisu. “Lu pulang sore lagi hari ini?“ tanya Ino basa-basi. “Hmm,“ gumam Tito menaikturunkan alisnya. “Nggak, hari ini gue izin libur latihan dulu. Gue mo me time. Gue bilang kasian anak bayik gue nangis ntar dianggurin mulu haha,“ sahut Tito. Ino mencebikkan bibir kesal.
“Beneran, No~ Gue sengaja kosongin jadwal gue hari ini demi lu. Ntar gue dituduh kacang lupa kulitnya lagi???“ ucap Tito lagi membuat Ino tertohok. Ino semakin kesal. “Dah ah, lu nyebelin banget. Gue mo cari mainan dulu,“ ucap Ino beranjak dari bangku. Tunggu dulu. Mainan? Kalau mainan berarti..?, batin Tito. “No,“ seru Tito mengejar Ino. “Lu jangan aneh-aneh deh. Gue nggak bakalan tolerir sikap lu kalo lu bikin ulah lagi,“ ucap Tito sarkasme. Langkah kaki Ino pun terhenti seketika. “Bukan urusan lu,“ sahut Ino ketus. “No! No! Berenti, No!“ seru Tito.
Tito berpikir kalau Ino mungkin sedang ingin mencari mangsa baru, dan mengeroyoknya seperti biasa. Tapi, kali ini perkiraan Tito salah. Ino cuma mencari tempat sepi saja untuk merokok. “Lu lagi ada masalah?“ tanya Tito berdiri di sebelah Ino sambil senderan di tembok. Fuuh, Ino menghembuskan asap rokok dari mulut. “Mau gue ngerokok ato nggak, nggak ada sangkut pautnya sama gue punya masalah ato nggak,“ sahut Ino sarkasme. Entah kenapa Ino merasa agak kesal tanpa sebab kepada Tito. Entah apa yang dirinya inginkan dari Tito. Ino juga tidak tau. Tito pun menghela nafas. Tito sama sekali tidak bisa dibodohi. Heh, ayolah, Tito dan Ino tumbuh bersama sejak balita. Lalu, apa yang Tito tidak ketahui? Tentu saja ia mengetahui semuanya, meski dari hal terkecil sekalipun.
Tito mencoba melihat sekeliling. Huh, aman, nggak ada orang, batin Tito. Tito pun berdiri di hadapan Ino, lalu menaruh satu tangannya ke tembok. Tito terkejut. “Lu mau ngapain pose begitu?“ tanya Ino heran. “Lu lagi ngambek sama gue, No,“ ucap Tito. Ino mendengus. “Ngambek? Sok tau lu!“ ucap Ino ketus. Tito mengedikkan bahunya sambil tersenyum tipis. “No,“ gumam Tito, lalu memiringkan kepalanya, dan mencium bibir Ino sambil menahan dagunya. Ino terkejut hingga membuat kedua matanya membola sempurna. Saat Tito merasa Ino tidak memberikan respon sama sekali. Ia pun memberikan sedikit pergerakan di sana. Lama-lama Ino juga terbuai hingga ia pun perlahan-lahan memejamkan mata.
Tito memberikan sedikit hisapan mesra di sana. “Nghh,“ gumam Ino saat ciuman lembut itu semakin dalam. Tito pun melepaskan ciuman tersebut. Ia tatap Ino lamat-lamat. “No.. Gue beneran sibuk, ikut ini itu demi kebaikan gue sendiri. Lu jangan pernah ngerasa kalo gue ngejauhin lu, apalagi ngelupain lu, dan malah nongkrong bareng temen-temen gue yang lain. Nggak No nggak,“ ucap Tito. “Terserah lu,“ ucap Ino berusaha kabur dari sana karna salah tingkah. Namun, Tito malah menarik pergelangan tangan Ino, dan melingkarkan tangannya di pinggul Ino, lalu mendorongnya ke tembok.
