Incomplete 09

646 66 1
                                        

Ray mengayuh sepedanya santai. Saking ibunya gemas tidak mempercayainya yang akan pulang cepat, selama perjalanan itu pula Dian meneleponnya berkali-kali. Ray hanya bisa geleng-geleng kepala menghadapi sifat protektif sang ibu.

Ray pun tiba di halaman rumahnya dan memarkirkan sepedanya di tempat khusus parkiran di samping kanan. Disana sudah ada satpam yang biasa berjaga-jaga di depan rumahnya. ”Mari pak,” ujar Ray beramah tamah.

Dari luar terdengar suara gelak tawa ibunya bersama seorang pria. Ayah? Ah, tidak mungkin ayahnya pulang dari kantor jam segini. Biasanya kalau tidak sore ayahnya akan pulang agak malam.

”Mama selingkuh?” gumamnya membayangkan ibunya yang tengah berselingkuh di belakang ayahnya dan membawa pria lain masuk ke dalam rumah. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu Ray pun segera membuka pintu rumahnya.

Dua orang yang saat ini tengah duduk di ruang tamu pun menoleh. Betapa kagetnya Ray ketika melihat sosok seorang pria yang memiliki rambut agak panjang di atas pundak tengah tersenyum padanya.

”Ah, Ray? Sini nak,” ujar Dian menyuruh Ray untuk segera duduk di sampingnya. Dada Ray bergemuruh ketika kedua matanya bertemu dengan kedua mata pria yang ada di hadapannya kini.

Cih, dasar pembunuh, batin Ray menyumpahi pria itu. ”Ray?” panggilnya. Ray begitu membenci pria itu bahkan suaranya sekali pun. Tidak ada satu hal pun yang bisa membuat Ray menyayangi pria itu lagi layaknya seorang paman.

”Ngapain lo kesini?” satu kalimat sarkas yang keluar dari mulut Ray membuat pria itu terdiam seketika. Ia menatap Ray sedang Ray menatapnya penuh benci. Kedua alis pria itu saling bertautan. Kebingungan melandanya bagaimana bisa si kecil Ray yang dulu begitu memujanya membencinya setengah mati?

”Ray! Yang sopan kalo ngomong!” tegur Dian. Dian tidak pernah sama sekali mendidik Ray untuk berkata kasar kepada orang lain. Hari ini Dian melihat sisi lain dari Ray. Kilatan matanya serta dadanya yang naik turun dan kembang kempis menandakan amarahnya yang mulai memuncak.

Wira memberi isyarat kepada Dian untuk tidak memarahi Ray lebih dari ini. Wira ingin tau terlebih dahulu duduk perkaranya. Bagaimana dan mengapa Ray bisa begitu membenci dirinya.

Ia pun berjalan menuju kamarnya untuk menenangkan diri. Disana ia duduk di pinggiran ranjang sambil mengatur nafasnya supaya kembali stabil. Tidak ada satu hal apapun yang mampu membuatnya tersulut emosi kecuali meningat nama Wira Atmajaya.

”Aku mau nyusul Ray dulu,“ ujar Wira kemudian berjalan menuju kamar Ray. Ia ketuk beberapa kali tidak ada jawaban sama sekali hingga ahirnya ia pun memberanikan diri membuka knop pintu kamarnya. Syukurlah kamar Ray tidak dikunci.

Wira pun masuk ke dalam mendapati Ray yang tengah berbaring di ranjang dengan sebelah lengannya menutup kedua matanya. Wira sengaja mengunci pintunya supaya Ray tidak bisa pergi kemana-mana kalau-kalau Ray berontak ingin kabur.

Seulas senyum tipis terukir di bibirnya yang tebal namun seksi. Ia melihat Ray masih mengenakan seragam lengkap. Ia pun menghampiri Ray dan jongkok di hadapannya berniat melepas sepatu yang masih melekat di kakinya.

Ray tersentak ketika ia merasakan sesuatu menyentuh kakinya. Rupanya Ray terlelap sebentar karena kelelahan. Ray pun otomatis duduk dan mendapati Wira tengah melepaskan sepatu dan kaos kaki yang melekat di kakinya. Ray berusaha menarik kakinya namun Wira dengan kuat menahannya hinggga sepatu dan kaos kaki pun berhasil terlepas dua-duanya.

”Ngapain lo disini?” tanya Ray garang.

”Om mau bicara,” ujar Wira bersikap setenang mungkin.

”Nggak ada yang perlu kita bicarain.”

Incomplete [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang