Incomplete 16

536 65 0
                                    

GUE POST ULANG SOALNYA SALAH POST 😭 KALO PART PERTENGAHAN KURANG NYAMBUNG, KARNA ADA YANG GUE REMIX ULANG. SEMOGA CERITANYA BISA DIMENGERTI YA. NTAR GUE REVISI ULANG DAH.

Arini berjalan dengan setengah berlari masuk ke dalam panti. Ia mencari sosok Bu Ratih yang ternyata sedang sibuk mematahkan kacang panjang yang nantinya siap dioseng untuk menu makan siang nanti.

Ia berkali-kali mengusap sudut mata dan pipinya yang basah karena air mata yang terus menerus luruh tanpa henti. ”Bu,” seru Arini. Bu Ratih pun menoleh dan mendapati mata Arini yang memerah karena menangis.

Arini pun segera berhambur di pelukkan Bu Ratih. Sebagai seorang ibu bagi anak-anak pantinya, Bu Ratih pun mengulurkan tangannya mengusap punggung Arini yang sedikit bergetar. ”Ada apa nak? Hm? Cerita sama ibu,” ucap Bu Ratih semakin membuat tangis Arini kian menjadi.

Arini tidak tau harus memulai ceritanya dari mana. Bu Ratih merenggangkan pelukannya kemudian mengusap kedua pipi Arini yang basah dengan kedua tangannya yang sudah mulai keriput.

”Ma-mas E-elang bu,” gumamnya terisak-isak.

”Iya, Elang kenapa nak? Hm?” tanya Bu Ratih lemah lembut.

”Mas Elang gay bu,”

Bu Ratih diam sejenak mendengar penuturan Arini. Beliau tau kalau ayahandanya pun juga seorang gay yang menikah dengan pasangan gaynya pula. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya dan pepatah itu benar adanya.

Bu Ratih tersenyum maklum. Sebagai seorang ibu beliau tidak pernah sekali lun memaksa anak-anaknya untuk memilih. Tugas dari seorang ibu ialah mendidik anak ke jalan yang benar, sisanya anak itu sendirilah yang memilih.

Arini heran mengapa Bu Ratih tersenyum seolah tidak terpengaruh sama sekali dengan apa yang dikatakan olehnya barusan. ”Ibu nggak marah?” tanya Arini kini isakannya mulai mereda.

”Nak, ibu harap kamu nggak akan pernah benci Elang.” ucap Bu Ratih menasihati seraya menggenggam kedua tangan Arini. Bu Ratih takut kalau-kalau Arini melakukan perbuatan yang tidak-tidak karena gelap mata.

“Ibu tau kalau Mas Elang gay?” tanya Arini memastikan. Bu Ratih hanya tersenyum seraya mengelus sayang surai rambut Arini yang lembut dan berkilau.

”Ibu tau semua hal yang ada di diri anak-anak ibu, nak.”

”Ibu nggak marah? Jijik?”

”Kenapa harus jijik? Elang dan kalian semua anak ibu.”

”Tapi..,”

”Selama Elang tidak merugikan orang lain ibu nggak akan pernah ngehalangin keputusannya. Jadi, ibu harap kamu juga begitu Arini.”

Bu Ratih pun mengajak Arini untuk keluar sebentar. Keduanya pun berdiri di ambang pintu. ”Lihat,” cetus Bu Ratih meminta Arini untuk melihat pemandangan yang ada di depannya saat ini. Ya, disana Elang tersenyum bahagia seolah tanpa beban sambil bermain bersama anak-anak. Bagian mana dari dirinya yang terlihat menjijikkan, kecuali fakta orientasi seksualnya?

Jawabannya tidak ada. Sampai saat ini Elang selalu berkontribusi dalam pengembangan panti asuhan yang ia tinggali. Tidak hanya menyumbangkan sejumlah uang, bahkan ia terjun langsung untuk menjadi relawan dan mengabdikan hidupnya disini.

Senyuman itu yang penuh arti bahagia, siapa yang tega melukainya? Lalu, apa yang harus Arini lakukan? Mengikhlaskannya begitu saja atau bagaimana? Entahlah. Ia sendiri tidak tau.

Fendy duduk di sofa sambil menghela nafas panjang pertanda dirinya yang kelelahan sehabis bekerja seharian. Ya, ia baru saja pulang dari kantor. ”Yank?” serunya yang tidak mendapati istrinya menyambut kepulangannya seperti biasa.

Incomplete [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang