Sorry kalo bahasa Inggris gue jelek soalnya pake translate doang 🐱
Satu hari menjelang hari pernikahan tak lantas membuat Elang ataupun Robert disibukkan dengan kegiatan tuk mempersiapkan pernikahannya. Dibandingkan mengadakan pesta bujang besar-besaran yang bagi calon suaminya alias Robert hanyalah membuang-buang waktu saja; Robert pun memutuskan untuk mengadakan barbeque-an se-keluarga di rumah pribadi—yang kan menjadi rumah masa depannya bersama Elang. Di mana ia juga mengundang Hendro, Chen, Laco, dan Steve. Elang penasaran apakah Robert juga mengundang Efendi dan George? Sebab sedari tadi ia tak mendengar dua nama itu disebut sama sekali.
“Papa Efendi sama Papa George diundang juga, nggak?“ tanya Elang.
Elang pun menoleh ke belakang yang di mana Robert tengah berdiri di depan kulkas sambil minum air.
“Diundang lah masa nggak?“ sahut Robert.
Hubungan antar ayah dan anak yang masih memercikkan api permusuhan itu pun membuat Elang sangsi. Dua raga yang diibaratkan minyak dan air—yang sulit tuk bersatu. Bagaimana bisa dipertemukan bak tak pernah terjadi apapun antar keduanya? Robert sudah gila atau apa? Jangan bilang jikalau dirinya tengah menyusun rencana tuk menghancurkan hubungan Efendi dan Hendro hingga hancur lebur seperti batu-batu yang dipukul dengan kalu godam?
Robert pun tersenyum miring. Dari raut wajah saja sudah bisa terbaca. Elang diam-diam menaruh rasa curiga. Bagai akan mendung yang tipis. Sekali pun hanya bayang-bayangnya saja, Robert tetap dapat melihatnya dengan jelas, bahkan jikalau dia berada di antara tumpukan akan yang tebal. “Hubungan pernikahan tanpa dilandasi kepercayaan serta kesetiaan itu cepat atau lambat pasti bakalan hancur, Elang.“ ucap Robert. Elang mendelik setelah mendengar suaranya yang terdengar dingin.
Robert hanyalah manusia biasa yang memiliki segumpal daging nan merah. Penghinaan terbesar bagi dirinya ialah tatkala sebuah ketulusan dibakar dengan kecurigaan yang membakar kepercayaan yang seharusnya ada kalau pun hanya secercah saja. Bagaimana bisa Elang se-tega itu membiarkan rasa curiga membakar sebagian dadanya—yang seharusnya hanya terisi oleh kepercayaan akan cinta tuk saling menjaga? Tidakkah dia seharusnya belajar dari masa lalu? Lupakan soal masa lalu. Tidakkah dia seharusnya berpikir bagaimana caranya agar hatinya hanya tertuju pada asa yang nyata di depan mata?
Robert melamun sangat lama hingga rasanya benaknya telah dicekoki narkotika yang membuat pikirannya berkelana tak karuan. Tiba-tiba lamunannya pun buyar oleh suara benda terjatuh. Bukan! Itu bukanlah suara benda yang terjatuh melainkan Elang! Dia berusaha keras agar bisa berdiri, lalu menghampiri Robert. “Elang!“ Robert berteriak. Sungguh teriakannya bagaikan gulungan petir yang menggelegar. Elang yang mendengarnya pun sampai tertegun. “Kamu nggak papa? Elang, kalo kamu pengen sesuatu bilang ke saya. Ok?“ ucap Robert. Suaranya yang sarat akan rasa cemas dan khawatir membuatnya terhenyak.
Elang se-akan lupa jiplkalau Robert merupakan pria yang begitu tajam perasaannya. Elang se-akan lupa jikalau dosanya di masa lalu mungkin jauh lebih besar bak gunung yang menggapai langit. “Rob, a-aku nggak ada maksud buat nggak percaya sama kamu, da-dan aku juga nggak ada maksud buat ngeraguin kamu sedikit pun. Rob..,“ gumam Elang sembari memegang lengan Robert erat-erat. “Ja-jangan tinggalin aku,“ gumam Elang dengan mata yang berkaca-kaca. Sungguh tiada maksud di hati tuk menodai kemurnian cinta yang Robert beri padanya. Elang hanya khilaf saja, karna telah berpikir yang tidak-tidak.
“Suami mana yang ninggalin istrinya gitu aja?“ ucap Robert.
Elang mengerutkan alis.
“Suami? Kan aku sama kamu belum nikah?“ ucap Elang.
Robert pun tersenyum sembari membantunya bangkit, lalu duduk di sofa.
“Nikah itu cuma formalitas. Hidup bareng trus saling cinta. Udah cukup buat jadiin status suami-istri.“ sahut Robert.