Suasana di hutan pinus ini sungguh amat sangat terasa sejuk sekali. Elang baru pertama kali ini jalan-jalan keluar setelah sekian lama. Uh, rasanya Elang seperti terlahir kembali. “Kasian banget, ya? Lumpuh kek gitu ya ampun,“ ucap beberapa orang—yang lewat sambil berbisik-bisik. Hah, mau bagaimana pun, Elang tetap saja mampu mendengar kata-kata mereka. Robert kesal mendengar cibiran orang-orang—yang sama sekali terlihat tidak berpendidikan itu. Robert jengah. “Elang, kamu taruh tongkat kamu di sini,“ ucap Robert.
Elang pun menoleh. “Hm? Ta-tapi aku nggak bisa jalan kalo nggak pake tongkat, Robert,“ ucap Elang. “Kamu taruh aja di sini. Biar saya gendong kamu,“ ucap Robert. Elang terdiam. Gendong? Gimana caranya dia gendong aku? Yang ada Robert malah encok, patah tulang, atau lebih parah lagi dari itu, batin Elang ragu. Robert menghela nafas. Ia pun meraih tongkat Elang dan menaruhnya di samping jembatan, lalu menahan tubuh Elang dan menggendongnya ala bridal style. Eh? Elang tertegun. “Turunin aku, Rob. Diliatin orang,“ ucap Elang merasa risih dan tidak enak hati. Terlebih saat banyak pasang mata memicing tajam ke arah sini.
Robert tidak perduli. Lalu, ia pun mulai melangkahkan kaki dengan santai. Bagi Robert, menggendong tubuh Elang seperti ini sama sekali tidak ada apa-apanya. Berat? Oh, sama sekali tidak. “Kamu tau nggak? Hal apa yang bisa bikin saya marah besar. Lebih dari kehilangan satu perusahaan?“ tanya Robert sembari menatap Elang sesaat. Elang mana tau, dan dia lebih memilih diam. “Kamu Elang. Saya bakalan marah banget kalo ada yang gangguin dan nyakitin kamu. Lebih dari apapun. Saya marah banget, Elang,“ ucap Robert.
Setelah berjalan beberapa waktu, akhirnya Elang dan Robert pun tiba di ujung jembatan sana. Elang heran. Bagaimana bisa seorang Robert tidak terlihat kelelahan sama sekali? Bahkan dia tidak terlalu banyak berkeringat. Ini sangat aneh. Padahal badan aku berat banget, batin Elang. Robert pun mendudukkan Elang di bantu hutan pinus ini. Di sini bangku-bangku tersusun rapi dengan bentuk melingkar. Sangat indah, bukan? “Kamu haus?“ tanya Robert. Elang menggelengkan kepala pelan.
“Bentar, saya mau foto-foto dulu,“ ucap Robert tersenyum. Elang memandangi Robert—yang tengah asyik memotret pemandangan di hutan ini. Bagaimana dia bisa keliatan ganteng cuma dari punggungnya doang?, batin Elang menelan ludah. “Ro-Robert,“ gumam Elang pelan sekali. Robert pun memutar badan ke belakang. “Kenapa?“ tanya Robert. Elang terkejut bukan main. Elang berbicara begitu pelan, dan mungkin hampir tidak bisa didengar oleh orang lain sama sekali. Tapi, bagaimana bisa pendengaran Robert setajam itu?
“Siniin hp kamu. Biar aku yang motoin kamu,“ ucap Elang. Oh, tentu saja Robert memberikan hpnya kepada Elang dengan senang hati. Satu dua tiga. Lebih dari sepuluh foto berhasil dijepret oleh Elang. “Hm, lumayan,“ ucap Robert puas dengan hasil foto tersebut. “Saya nggak nyangka kamu bisa motoin saya sebagus ini, Elang,“ ucap Robert memuji kepiawaian Elang dalam memotret sambil menatap Elang lamat-lamat tepat di kedua matanya, dan mengusap pucuk kepalanya. Elang mendadak gugup ditatap Robert seperti itu.
Di sebuah hotel bintang lima. Verdian dan Vikal saling bekerja sama satu sama lain untuk membuat hidangan terlezat. Sesuai dengan permintaan hotel—yang meminta keduanya untuk membuat hidangan utama pasta serta steak dengan berbagai macam jenis saus. Itulah alasan mengapa Verdian meminta Vikal untuk membantu dirinya. Di sela-sela kesibukan Verdian. Tiba-tiba hp nya berdering. Itu adalah panggilan video call dari sang putera semata wayang, Billi. “Halo sayang?“ sapa Verdian. “Halo papa!“ sapa Billi antusias dari seberang sana. Di sana juga ada Finna, sang istri.
Vikal sempat mengerling. Ia tidak menyangka, jikalau Verdian juga memiliki keluarga yang bahagia dengan kehadiran seorang putera. Di dalam sana. Jauh di dalam sana. Vikal merasakan sakit—yang luar biasa tanpa ia sadari. Bukan karna ia iri, karna Vikal telah memiliki seorang putera. Itu dikarenakan Vikal telah bersama dengan wanita lain hingga memiliki buah hati. Hah, Vikal menghela nafas berat. Ia jadi kesal tanpa sebab. Leena duduk di ujung kursi—yang jauh dari acara di hotel ini. Dan yang terpenting, Verdian masih bisa dijangkau oleh pandangan matanya.
