Baru buka si oren ternyata daftar chapter di judul ini mendadak jadi acak. Jadi, buat yang baca tolong perhatikan nomornya, ya. 🙏🙏🙏
Setiap cerita pasti bermula mulai dari tahap perkenalan hingga ber-ujung pada tahap penyelesaian. Setelah melalui beberapa tahapan seperti klimaks dan antiklimaks. Terlepas dari se-berapa besar konflik yang ada. Bukankah akhir yang bahagia adalah harapan dari tiap pembaca? Begitu juga seorang Chen. Gagang pintu di genggaman tangannya bagaikan penentu keseluruhan jalan cerita yang ia buat. Chen sejenak memejamkan matanya diiringi hembusan nafas yang membekas.
Gagang pintu yang ringan itu terasa berat di tangannya. Chen mengerti akan segala konsekuensi yang kan ia terima. Bisa jadi alurnya berubah sebagian—atau mungkin seluruhnya. Chen melihat sosok pria pang berambut putih se-dada itu tengah melepas stelan jas bagian luarnya, lalu ia letakkan di atas sofa. Tingginya yang menjulang serta dada bidangnya membuat orang lain menggambarkan dirinya sebagai sosok yang hebat, dan tak bisa dilawan oleh kejahatan rudal kebencian sekali pun.
“Bang—“
“Kamu liat sendiri foto yang ada di atas meja. Inget, perasaan kamu ke Hendro bisa aja berubah setelah kamu liat foto itu. Pikirin baik-baik sebelum kamu mutusin buat liat fotonya.“
Robert bukan tipikal orang yang dapat berbasa basi seperti orang kebanyakan. Terjun langsung ke inti masalah lebih baik daripada membiarkan masalah tersebut berlumut disapu oleh air laut yang asin. Kedua tangannya mendadak gemetaran, tetapi ia jauh lebih penasaran akan selembar foto yang kini telah berada di genggamannya. Robert tak acuh. Robert pun menikmati segelas anggur merah sembari memandangi keindahan kota Jakarta di malam hari. Inget, Chen, alur cerita yang kamu buat bisa aja berubah, huft, batin Chen.
Tiba-tiba seluruh persendiannya se-akan copot semua tatkala melihat beberapa lembar foto hitam-putih di genggamannya. Di sana terdapat foto seorang perempuan yang tengah mengandung di usia tujuh bulan-an mungkin? Seorang pria yang tak lain dan tak bukan ialah Hendro—pun duduk berjongkok sembari mencium hingga mengusap perut perempuan itu yang membesar, karna tengah mengandung. Lalu, juga ada foto; di mana Hendro menggendong seorang bayi yang mungil dan cantik dengan penuh rasa cinta.
Sejurus kemudian tanpa babibu Hendro pun masuk ke dalam tuk menghampiri Robert. Hendro yang ingin segera menghajarnya dengan bogem mentah itu pun harus dihentikan sebelum beraksi oleh Robert. Robert memiliki kepekaan tingkat tinggi. Langkah kaki yang terdengar oleh telinga ia yang tajam itu memberi sebuah arti jikalau lawan ingin segera menyerang. Robert pun membalikkan badan, lalu menodongkan pistol tepat di depan wajah Hendro.
“Jangan coba-coba ngehasut Chen, dan bilang yang nggak-nggak ke dia, Rob.“
Hendro tersulut api amarah, sebab ia mengira bahwa Robert telah menghasut Chen, dan mengatakan yang tidak-tidak soal dirinya. Robert pun tersenyum miring dengan posisi jari telunjuknya—yang siap tuk menarik pelatuknya.
“Aku cuman ngasih tau kebenarannya aja ke Chen. Bukan mengada-ngada.“
Chen tertegun melihat pertengkaran dua orang dewasa di hadapannya kini. Kedua matanya pun membola tatkala Hendro sengaja mengarahkan ujung pistol tersebut ke dahinya sendiri.
“Kamu mau mati gitu aja? Hah? Cih!“
Robert pun menurunkan pistolnya, lalu meletakkannya di atas meja.
“Jangan ketipu sama muka polos kek dia. Dia bisa aja nusuk kamu dari belakang. Jangan biarin dia manfaatin rasa simpatik kamu, meskipun kamu udah dapetin hak kamu di situ. Dan satu hal lagi. Kamu nggak tau apa-apa soal cewek yang ada di foto itu, Dru. Karna apa uang kamu lihat bukan lah yang sebenarnya. Itu pun kalo kamu beneran sayang sama Chen, karna aku cuman mau ngasih tau kamu dari sekarang.“