Incomplete 12

626 63 0
                                        

Beberapa hari ini hubungan Wira dan Ray semakin memburuk. Tidak ada satu pun di antara mereka yang mau mengalah akan perasaan masing-masing. Di sisi lain ada Ray yang keras kepala tidak ingin membuka hatinya sedikit pun untuk sekedar mendengarkan penjelasan Wira. Di sisi lain ada Wira yang juga keras kepala yang membuatnya selalu gerak cepat, namun ujung-ujungnya malah membuat hubungan keduanya semakin memburuk.

Di sela kesibukannya Wira berpikir sejenak. Ia menyadari kalau dirinya terlalu memaksakan kehendaknya sendiri tanpa memikirkan apa yang Ray kehendaki. ”Hah,” Wira menghela nafasnya. Jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul satu siang. Itu artinya sebentar lagi Ray pulang sekolah.

Ia pun berinisiatif menjemput Ray dan menitipkan sisa pekerjaannya kepada sekretarisnya. Mobil melaju pelan karena Wira bukan tipe orang yang suka ngebut kalau bukan untuk hal yang sangat mendesak. Menurutnya menikmati jalanan kiri dan kanan itu perlu.

Dinyalakannya musik di radio mobilnya untuk memecah keheningan. Ia bersyukur jalanan tidak terlalu macet sehingga ia bisa sampai tepat waktu ke sekolah Ray. Ia pun tiba di sekolah SMAN 3 Bandung. Masih tersisa 40 menit lagi sampai menunggu bel pulang sekolah berbunyi.

Wira menunggu dengan sabar, ia berharap hari ini hubungannya dengan Ray sedikit membaik. Tidak terasa bel sekolah pun berbunyi pertanda siswa dan siswi akan segera pulang ke rumah masing-masing setelah pelajaran berakhir.

Wira turun dari mobil melihat satu per satu siswa dan siswi yang berlalu lalang. Wira tidak mempedulikan teriakan para siswi yang memuji ketampanannya, karena yang ia cari saat ini adalah Ray.

”Ray!“ panggil Wira ketika ia melihat sosok Ray di antara teman-teman lelakinya.

Ray menatapnya dengan tatapan yang dingin meskipun teman-temannya terlihat menggoda Ray dengan menyenggolkan lengan kiri dan kanan. ”Cie cie cihuy ada pangeran berkuda yang jemput nih critanya eak,” goda Prima. Ray acuh saja karena kini sorot matanya terfokus pada sosok Wira yang teramat dibencinya.

Wira menghampiri Ray dan menyapa teman-temannya. ”Boleh saya duluan sama Ray?” ucap Wira meminta izin dan teman-temannya pun dengan senang hati mengizinkannya. Bagaimana pun tata krama itu harus dijunjung tinggi dimana pun dan kapan pun.

”Gue naik taksi aja,” ucap Ray dingin dan membuang muka.

”Kamu lupa? ATM kamu disita dan uang saku kamu dipotong?” ucap Wira mengingatkan.

Ray pun mendelik tajam. Semua ini gara-gara Wira yang hadir ke dalam hidupnya. Tidak ada satu pun hal baik terjadi semenjak kedatangannya. ”Gue nebeng Ri,“ cetus Ray pada Prima. Prima cukup memahami situasi yang ada sehingga ia pun memberikan seribu alasan jitu untuk menolak permintaan Ray.

”Kampret lo Ri!” makinya kesal.

”Gini-gini gue sahabat lo kali, udah ah gue mau cabut lo ama om lo aja deh bye.” ucap Prima segera menstarter motornya dan berlalu pergi begitu saja.

”Ayo Ray,” ajak Wira kemudian membukakan pintu mobil untuk Ray. Tidak ada pilihan lain lagi dan dengan terpaksa Ray pun masuk ke dalam. Ia tidak tau kemana Wira membawanya pergi, karena jelas sekali rute yang dilaluinya bukanlah jalan menuju rumahnya.

”Lo mau nyulik gue?” tanya Ray.

”Iya,“ jawab Wira singkat.

Kurang lebih sudah satu jam berlalu. Ray dibuat heran oleh Wira yang membawanya entah kemana. ”Lo mau bawa gue kemana sih!?” tanyanya dengan kedua alis saling bertautan. Wira hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Ray tanpa berkata sepatah kata pun.

Wira dan Ray berjalan beriringan lebih tepatnya Ray lah yang berjalan lebih dulu di depan. ”Hati-hati,” ucap Wira memperingatkan ketika Ray berjalan tidak seimbang. Sejenak Ray terhipnotis akan pemandangan hijau yang terhampar indah. Dari sini ia bisa melihat dengan jelas perkebunan teh yang begitu hijau dan asri.

Incomplete [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang