14

76 21 0
                                    

Hyejun mengetuk-ngetuk kelima jarinya seirama di atas meja. Sepertinya gadis berpostur tinggi itu sedang galau.

Alin menepuk bahu teman sebangkunya itu. "Galau mulu, Neng. Ada apa?"

Hyejun tersenyum tipis. "Nggak ada apa-apa, kok."

"Bohong. Kamu pasti lagi mikirin sesuatu. Bilang aja sih, ada apa?"

Hyejun menghela nafas. Diliriknya sekitar. Aman. Di dalam kelas hanya ada dirinya dan Alin saja.

"Sebenarnya, aku agak down gara-gara nggak kepilih jadi wakil sekolah ini kemarin. Ya hasilnya emang lebih baik dari waktu aku ikut sih, tapi aku nggak tau kenapa aku kayak merasa gagal. Padahal perlombaan kemarin cukup penting juga buat menambah nilai akademikku. Tapi-- ah sudahlah. Udah berlalu juga."

Alin mengusap-usap punggung sahabatnya itu dengan lembut. "Udah, jangan terlalu dipikirin. Masih banyak kok jalan lain buat menambah nilai. Aktif di klub juga bisa kok. Kamu kan juga tergolong pintar, yakin sih nilaimu masih terselamatkan."

"Iya sih, tapi--"

"Udah, semangat dong. Jangan sedih mulu. Mau aku traktir siomay?"

Mata Hyejun langsung berbinar. "Mau!"

"Oke. Kamu tunggu di sini, ya? Aku beliin dulu di kantin."

"Iya..."

Setelah Alin pergi, muncullah Dawit bersama Hina. Dawit meletakkan sekaleng jus di atas meja Hyejun.

"Ini ya Jun, buat menenangkan pikiran," ucap Dawit sebelum kembali ke bangkunya.

"Makasih!" ucap Hyejun setengah berteriak.

Hina hanya bisa menatap miris. Apalagi dilihatnya tadi Dawit tersenyum maniiiis sekali pada Hyejun. Hina jadi teringat soal tipe idaman Dawit.

Jangan-jangan Hyejun ini cewek yang disuka sama Dawit?, batin Hina.

Atensi Hina tertuju pada secarik kertas yang terjatuh dari tas Hyejun ketika gadis itu mengeluarkan laptopnya.

"Jun, itu ada kertas jatuh," seru Hina.

Hyejun lalu memungut kertas berwarna hitam itu. Raut mukanya sedikit terkejut ketika membuka lipatan kertas itu. Seperti sebelumnya, kertas hitam dengan gambar tengkorak dan huruf D.

"Kertas apa?", tanya Hina.

"O-oh, bukan apa-apa kok, Na. Cuma kertas catatan rumus aja," jawab Hyejun gagap.

Hina tak percaya, tapi diabaikannya sajalah. Tiba-tiba Hyejun kembali menoleh.

"Na, aku boleh pinjam hp mu sebentar nggak?"

"Buat apa?"

"Ada lah... Bentar doang kok. Boleh ya?"

"Ya,,, boleh sih. Paketanku masih banyak. Baterai juga masih banyak. Pake aja. Tapi jangan buka folder D ya?"

"Iya..."

Sebenarnya Hina heran, untuk apa Hyejun meminjam ponselnya. Tapi sekali lagi, diabaikannya sajalah. Atensi Hina pun teralihkan pada Chowon yang muncul dan membawakan batagor untuknya.

**

Alin mengetuk-ngetuk pintu rumah Hyejun, bermaksud meminjam novel. Cukup lama Alin menunggu, tapi tak ada sahutan.

"Hyejun ke mana, ya? Padahal tadi dia udah janji mau minjemin. Apa dia tidur?", gumam Alin.

Perlahan, Alin memutar kenop pintu yang tidak dikunci. Alin biasa sih keluar-masuk rumah Hyejun soalnya mereka bersahabat sejak kecil. Hyejun sendiri juga sering main ke rumah Alin.

Jam segini, biasanya orangtua Hyejun belum pulang.

"Hyejun? Aku masuk ya?"

Karena masih tak ada sahutan, Alin terus berjalan masuk ke kamar Hyejun. Dan gadis yang juga berpostur tubuh tinggi menjulang itu terkejut ketika melihat tubuh sahabatnya itu tergeletak di lantai. Di lehernya terdapat bekas cekikan, dan di pergelangan tangan kiri gadis itu terdapat luka sayatan. Darah segar mengalir dari luka itu.

"Hyejun!!!"

Alin bermaksud menghampiri tubuh Hyejun yang diyakininya sudah tak bernyawa itu, tapi dia tak ingin malah dia yang dituduh sebagai pelakunya. Akhirnya Alin menelepon orangtua Hyejun, meminta mereka segera pulang.

Saat sedang menelepon, atensi Alin tertuju pada selembar kertas yang tergeletak di sebelah Hyejun. Akhirnya Alin memungut kertas itu. Rupanya kertas itu adalah kertas hitam dengan gambar tengkorak dan huruf D.

"Nggak mungkin..."

**

Acara pemakaman Hyejun hanya dihadiri okeh keluarga terdekat. Tidak ada satupun teman Hyejun yang menghadirinya, bahkan Alin pun tidak. Mereka hanya berkumpul di kafe dekat sekolah.

"Aku nggak nyangka banget Hyejun pergi secepat ini," ucap Woonggi.

"Perasaan kemarin siang kita masih ketemu dia di sekolah," sahut Minseo.

Alin menghela nafas. "Kemarin dia malah masih kubelikan siomay kesukaan dia. Dia juga janji mau pinjemin aku novel. Tapi ternyata--"

Dawit bangkit dari duduknya, kemudian berjalan menuju rooftop kafe.

Dawit menyondongkan tubuhnya di tepian rooftop. Sedikit melamun, sampai dia tidak menyadari kalau ada Hina yang menyusulnya.

"Dawit?"

Dawit tersentak, hampir saja sandarannya oleng.

"Oh, maaf, aku mengagetkanmu?"

Dawit menoleh sekilas, kemudian pandangannya kembali lurus ke depan.

"Ada apa, Na?"

Hina berdiri di sebelah Dawit. "Kamu kepikiran Hyejun, ya?"

Tak ada jawaban dari Dawit.

"Nggak jawab? Berarti jawabannya iya? Dawit, apa Hyejun adalah cewek yang kamu suka? Dia tipe idamanmu?"

Lirih, Dawit akhirnya menjawab, "Iya..."

Hina tersenyum pahit. Ditepuknya pelan bahu Dawit yang jauh lebih tinggi darinya itu. "Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Lebih baik sekarang fokus ke sekolah saja. Dan,,, mencari pelaku pembunuhan Hyejun."

Kedua alis Dawit bertaut. "Maksudmu?"

"Kamu pasti nggak tau ya kalau tadi Alin bilang kalau ada kertas catatan aneh itu lagi di dekat mayat Hyejun."

"Kertas aneh?"

"Itu, lho... Yang ditemuin juga di dekat motor Kak Heeseung. Yang Kak Yerim sama Kak Minjeong juga dapet itu. Sebenarnya kemarin aku sempat liat Hyejun kayak kaget habis ada kertas aneh jatuh dari tasnya. Waktu aku tanya, dia bilang cuma catatan rumus sih..."

"Jadi, Hyejun dibunuh?"

"Mungkin? Karena kita nggak tau alasan logis apa yang membuat Hyejun harus bunuh diri. Tapi kita juga nggak tau sih kenapa dia harus dibunuh."

Kedua tangan Dawit terkepal. Sedikit tersirat kemarahan di wajahnya.

"Ayo, kita temukan pembunuh itu!!!"

#####

Black NotesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang