HIRA.6

19.7K 1.2K 3
                                    

Sudah dua hari setelah resmi menjadi istri Harsa, Hira selalu bangun lebih dulu dari pada laki-laki itu. Seperti sekarang, Hira memerhatikan wajah lelap Harsa yang damai.

Memang tidak ada pembatas di kasur mereka, mereka tidur sebagaimana orang sekasur, tapi memang Hira tidur sangat tenang dan tidak banyak gerak karna takut Harsa terganggu dan Harsa melakukan hal yang sama.

Pria yang menjadi suaminya ini benar-benar diam semenjak mereka menikah. Hira tau dengan jelas bahwa Harsa bukan orang yang diam saat dulu bersama Hera, tapi sekali lagi Hira ingin mengatakan bahwa dia ini Hira bukan Hera.

Wajar kalau sikap Harsa padanya berbeda.

Pria itu akan bangun, sarapan, meminum kopi yang Hira buat lalu ke kantor dan pulang kadang sore kadang malam kadang juga sangat malam, dan Hira tidak berani bertanya karna bahkan Harsa sebagai suami juga tidak punya inisiatif memberitahu Hira yang memang istrinya.

Hira bangun, mandi dengan cepat lalu turun dan menemukan Dheana sudah ada di dapur. Seperti biasanya

"Pagi Hira" senyum Dheana membuat Hira benar-benar merasa di terima. Di rumah ini yang paling terbuka dan suka cita akan hadirnya Hira dirumah memang cuma Dheana, suaminya juga, tapi Hira jarang terlibat pembicaraan.

"Pagi ma, mau masak apa?" Dheana orang yang hangat, Hira mendapatkan sosok ibu pada Dheana, bahkan Hira merasa Dheana seperti ibu kandungnya dari pada Bunga yang memang lebih dekat dengan Hera. Walau hubungan mereka juga masih di katakan baik-baik saja.

Iya baik, memang Hira yang menjauh.

"Masak nasi goreng aja, kamu bisa buat sup telur gak? hujan-hujan gini kayaknya enak"  iya, hujan memang deras sekali semalam. Pagi ini hanya tersisa rintik-rintiknya saja, tapi udara memang agak lebih dingin dari biasanya.

"Bisa ma, tapi gak tau rasanya enak apa gak" Dheana mengeluarkan semua bahannya dari kulkas

"Di coba aja dulu, soal rasanya urusan belakangan" Hira mengangguk lalu mulai memecahkan beberapa butir telur, Hira sebenarnya tidak terlalu mahir masak, tapi bukan berarti tidak bisa. Karna biasanya kalau Hira pulang tengah malam saat semua orang sudah tidur, Hira masak makanan untuk dirinya sendiri tanpa membangunkan orang lain.

Kebiasaan Hira yang hobi nongkrong dan pulang malam itu untuk sementara Hira hilangkan. Hira rasanya tidak sebebas itu disini.

Beberapa menit kemudian, nasi goreng dengan tambahan daging ayam dan juga sup telur itu sudah jadi. Hira sudah yakin sih sup telur itu sudah diberi bumbu dengan benar, Dheana juga sudah mencoba dan katanya sudah enak.

Harsa dan Prayoga bergabung kemudian, kebiasaan Harsa yang dua hari ini Hira perhatikan, pria itu lebih dulu meminum air putih baru makan.

Mungkin supaya bisa kenyang lebih cepat

"sup telurnya enak gak Harsa?" pertanyaan Dheana itu membuat kegiatan Hira yang sedang mengunyah terhenti. Ikut menunggu respon Harsa

"enak" hanya itu dan sedikit anggukan, ekspresi pria itu tidak menunjukkan apa-apa.

Hira memang paham, tentu Hira akan selalu sadar diri bahwa keadaan ini adalah keadaan yang tidak pernah Harsa bayangkan sebelumnya. Sulit untuk pria itu menerima

"enak ma, buatan mama?" reaksi Prayoga malah yang membuat Hira senang. Setidaknya membuat sup telur saja Hira masih bisa

"masakan Hira dong, dia pinter tau masaknya" Hira cuma diam, sebenarnya pujian itu terlalu berlebihan. Selama masak di rumah ini Dheana selalu mendampingi Hira masak.

Harsa kembali meminum air putih. Menyelesaikan makannya seperti biasa lalu akan berangkat ke kantor

"Hira, bisa ikut saya sebentar" Hira sampai tersentak, pamit lewat isyarat mata pada Dheana lalu mengikuti langkah Harsa yang menuju pintu depan.

Kenapa? apa sup telurnya tidak enak?

"Saya sudah bilang ke papa kalau akan bawa kamu untuk tinggal dirumah saya" Hira tertegun, baru tau kalau ternyata Harsa punya rumah.

"Kamu bilang ke mama, bisa?" karna Dheana sudah menolak usulan ini jauh-jauh hari waktu Harsa pertama kali bilang, entah kenapa ibunya itu menahan Harsa untuk membawa Hira pergi dari rumah ini. Mungkin memang Dheana sudah sesayang itu dengan Hira.

Karna Harsa juga mengamati, Dheana cepat akrab dengan Hira. Beda waktu dengan Hera dulu. Hera pernah sampai ingin menyerah karna Dheana tidak mudah disentuh.

"Lamu punya rumah?" Harsa mengangguki pertanyaan Hira, rumah yang memang disiapkan untuk masa depannya bersama Hera. Rumah itu bahkan di desain dan diisi sendiri oleh Hera, tapi demi menjaga perasaan Hira, Harsa tidak akan mengatakan itu padanya.

Sebenarnya Harsa mampu membeli atau membangun rumah lain, tapi rumah itu di bangun cukup membutuhkan waktu yang banyak dan uang yang sama banyak. Sayang kalau di tinggal begitu saja. Lagi pula tidak ada yang salah dengan rumah itu.

"Ada, kamu coba bilang ke mama" Hira mengangguk, meraih tangan Harsa untuk di tempelkan di keningnya. Kebiasaan Hira yang tidak akan Harsa temukan pada Hera

_________

Dheana sedang menyirami tanaman mawar-nya saat Hira datang selepas membereskan kamar, setelah Hira pikir-pikir, mungkin ada baiknya juga Harsa dan dirinya tinggal secara terpisah agar Hira juga bisa menjadi istri yang mandiri.

Lalu saat sudah selesai dengan segala urusan perpindahan, Hira bisa meminta Harsa untuk mengizinkannya masuk kuliah lebih awal. Di saat masa cutinya masih ada

Karna jujur saja, Hira merasa bosan dengan kegiatan istri ini. Bangun, masak, sarapan, mengobrol dengan Dheana sampai wanita paru baya itu lelah dan masuk kamar, menonton di laptop atau sesekali video call dengan Sera atau Cerel. Hira bosan dan butuh menghirup udara luar.

"Ma?" Dheana menoleh, menyapa dengan senyum keibuannya yang selalu Hira suka. Beruntungnya Hera memiliki mertua seperti Dheana tapi malah di sia-siakan.

"Kenapa sayang, mau ngomong sesuatu?" keterdiaman Hira mengundang Dheana untuk bertanya lebih dulu

"mas Harsa, ngajak aku pindah" Dheana dengan tenang meletakkan bunga mawar itu kembali pada tempatnya setelah ia sirami dengan air.

"Harsa nyuruh kamu ngomong ke mama?" Hira mengangguk, tautan tangan Hira yang berada di belakang tubuh menunjukkan betapa Hira gugup.

Sebelumnya Harsa memang sudah membicarakan ini bersama Prayoga juga, Prayoga setuju karna memang sudah seharusnya begitu dan Prayoga juga merasa bahwa Harsa sudah pasti bisa menghidupi dan membimbing Hira sebagai istri. Mereka memang harus belajar mandiri.

Tapi Dheana agak ragu. Sejak di tinggal Hera, Harsa jadi berubah semakin diam. Anaknya memang bukan orang ceria dan banyak bicara. Tapi Harsa juga tidak se-diam sekarang. Dimana menurut perhatian Dheana, hanya sesekali Harsa mengajak Hira bicara. Itupun kalau penting.

Dengan mereka tinggal berdua saja, Dheana takut Hira akan merasa sendirian dan tidak diinginkan karna sikap Harsa yang menyebalkan itu. Dheana sudah memintanya untuk bersikap lebih baik karna bagaimana pun juga, kalau bukan karna Hira keluarga besar pasti sudah dibuat malu termasuk juga Bunga.

"Kamu yakin?" tapi Dheana juga tau betul watak Harsa, pria itu tidak suka mengulang-ulang kalimatnya. Kalau dia mau dan merasa tindakannya benar maka dia tidak ingin dibantah

"Mas Harsa maunya gitu, aku istri kan harus ikut" benar kan? Hira hanya mau mencoba menjadi istri baik meskipun dia bukan anak yang baik

"Yaudah, asal kamu janji. Kalau ada apa-apa kamu bilang ke mama ya?jangan sungkan karna kamu itu juga udah jadi anak mama" Hira mengangguk lalu memeluk Dheana, beruntung sekali dirinya di pertemukan dengan Dheana.

Meski mereka sudah saling kenal sebelumnya, tapi tidak pernah sedekat ini.

FEEL BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang