Pukul delapan malam dimana harusnya gadis itu sudah tiba sejak jam lima sore tadi malah belum muncul juga. Harsa bukan ingin menjadi gila hormat, tapi sebagai istri harusnya Hira sudah dirumah bahkan sebelum dirinya tiba dirumah kan? Hira juga tidak memberi kabar apapun mengenai keterlambatannya. Harsa kira, Hira semestinya sudah paham bahwa dirinya bukan lagi seorang mahasiswi yang bebas dan tidak memiliki tanggung jawab lain diluar kuliah. Bagaimana pun juga, meski pernikahan ini terjadi diluar rencana, Harsa tetap menginginkan pernikahan yang berhasil. Ia telah dalam tahap belajar menerima keadaan sekarang.
Harsa tau jam dan jadwal kuliah Hira, tentu gadis itu pasti sudah tidak di kampus sekarang. Lalu dia dimana? Kenapa tidak mengabarinya sama sekali?
Harsa yang sedang duduk diruang tamu dengan segelas teh hangat yang ia buat sendiri, sengaja menunggu Hira. Hampir jam sepuluh malam, mobil Hira terdengar memasuki pekarangan, Hira masuk dengan diamnya meski ia lihat Harsa sedang duduk di salah satu kursi ruang tamu.
"Duduk, saya mau bicara" Hira yang baru akan menaiki tangga menghela nafasnya pelan, sengaja ia tidak langsung pulang berharap emosinya mereda. Tapi sayangnya tanpa sadar harsa justru memancingnya. Baiklah mari kita lihat, seberapa pandai Hira dalam mengendalikan emosi
"Duduk" Hira patuh, ia duduk jauh dari Harsa tanpa kata.
"Dari mana jam segini baru pulang?" Pertanyaan Harsa dengan suara beratnya itu membuat Hira merasa sedang di interogasi dosen
"Rumah teman" Hira menjawab pendek
"Teman yang mana?"
"Aku kasih tau juga kamu gak bakal kenal" Harsa diam, dan itu membuat Hira jadi berfikir. Apakah ia keterlaluan?
Tapi keterlaluan mana dia atau Harsa yang tidak jujur soal rumah ini? Sia-sia sudah usaha Hira melupakan itu. Hira berusaha menganggap ini bukan masalah dan bukan apa-apa meskipun sulit.
"Kenapa gak ngabarin saya?" Harsa menatap lurus Hira yang menoleh setelah pertanyaan Harsa terdengar.
Sebelah alisnya terangkat menatap bingung pada Harsa, sama seperti pertanyaannya yang membingungkan
"Kenapa harus di kabarin?" Harsa mengerutkan kening, pertanyaan apa barusan?
"Saya suami kamu" kata pria itu dengan tekanan, kenapa katanya? Mengapa pertanyaan itu seolah Hira lupa kalau mereka ada dalam ikatan? Mereka suami istri. Sudah sewajarnya bagi Hira yang harusnya meminta izin Harsa sebagai suaminya kemana pun dia ingin pergi kan?
"Kalau kamu merasa kamu suami aku, terus kenapa kamu gak jujur soal rumah ini?" Ok here we go. Hira sudah tidak sanggup menahan rasa penasaran yang membuatnya merasa sesak ini.
"Maksud kamu apa? Kenapa sama rumah ini?" Benar, kenapa dengan rumah ini? Kalau pun memang rumah ini adalah milik Harsa bersama Hera lalu kenapa? Apakah tidak membuang-buang uang jika membeli atau bahkan membangun rumah lain? Rumah ini milik Harsa, dan justru karena itu ia berada disini.
Hira merasa gemas sekaligus kesal dengan sisi lain dari pikirannya sendiri, ia mengigit bibirnya sendiri lumayan keras.
"Jangan di gigit, nanti berdarah" Hira memundurkan kepalanya cepat, menghindari sentuhan tangan Harsa yang menyentuh bibirnya tiba-tiba. Ia juga tidak sadar kalau Harsa memerhatikan tingkahnya sedari tadi.
"Kenapa sama rumah ini? Ada yang gak kamu suka? Kita bisa ubah kalau kamu memang gak suka" Hira masih saja diam, pikirannya kembali bercabang, Harsa tidak memiliki maksud lain. Ia murni membawa Hira kerumah ini karena memang hanya ini yang ia punya. Harsa bahkan bersedia mengubah apapun disini jika memang Hira mau. Benar begitu?
"Enggak sayang? Mbak Hera kan yang udah desain rumah ini?" Hira memang nekat, seperti sedang mencari masalahnya sendiri disaat bahkan pernikahannya belum sampai sebulan, Hira melihat dengan jelas bagaimana mata tenang itu membulat namun hanya sangat sebentar.
Harsa sudah tau, lambat laun Hira juga akan tau mengenai rumah ini namun ia tidak menyangka bahwa akan secepat ini.
"Ini rumah kita sekarang, kamu bebas mau mengubah apapun" Harsa dan tenangnya memang sialan. Hira merasa dirinya lah yang berlebihan. Tidak juga, harusnya di awal Harsa jujur saja kalau memang rumah ini adalah untuk Hera.
Hira sedang memakai bekas Hera sekarang, bahkan Harsa sekalipun.
"Gak usah" Hira berdiri, obrolan ini melelahkan dan membuat kepalanya terasa pusing jadi sebaiknya tidak usah di lanjutkan. yang jelas, Hira sudah bersiap-siap. Jika suatu hari nanti Hera kembali dan meminta apa yang harusnya menjadi miliknya. termasuk juga Harsa.
"Kita sudah menikah Hira, kamu harus belajar terima itu. Dan saya minta kamu untuk gak membahas Hera dan apapun soal dia" Hira batal melangkah, ia kembali menatap Harsa yang masih duduk tenang.
"Kenapa? Takut gak bisa move on?" Harsa harusnya marah, ya. Andai saja dia tidak ingat dengan janjinya pada Bunga dan ibunya sendiri, ia sungguh tidak masalah pernikahan nya batal atau mempermalukan dirinya sendiri. Pertanyaan Hira sungguh memancing dirinya untuk merasa tersinggung
"Saya dan Hera sudah selesai, kamu ingat itu baik-baik" Hira merinding, Harsa yang menatap tajam padanya memang hal baru yang Hira temui. Apakah kali ini ia benar-benar keterlaluan?
Harsa berdiri, berhadapan langsung dengan Hira yang terdiam.
"Lain kali kalau mau pulang malam, kasi tau saya. Jangan lupa kalau kamu sudah bukan mahasiswi bebas lagi. Saya gak akan membatasi kamu, kamu masih bisa seperti dulu tapi dengan batas yang ada. Izin sebelum pergi bukan hal sulit untuk di lakukan" lalu setelah kalimat panjang itu selesai, Harsa meninggalkan Hira dan rasa bersalahnya.
Belajar terima pernikahan ini katanya? Memangnya mudah? Meski Harsa adalah pria yang ia sukai bertahun-tahun, tidak begini mau Hira.
___________
Setelah obrolan alot itu, Hira yang merasa lapar sekaligus lelah memilih duduk di ruang tengah. Menyalakan televisi meski ia tidak tau acara apa yang sedang berlangsung. Hira sedang sibuk berfikir. Hera meninggalkan Harsa dan segala kenangan mereka karena apa? Kenapa Hera tiba-tiba saja menghilang? Sehingga Hira jadi ikut terseret.
Hira sebenarnya lapar tapi malas memasak di dapur, semua yang di dapur itu milik Hera.
Ya lalu kenapa?!
Hira juga sebenarnya lelah ingin masuk kamar, mandi, lalu tidur. Tapi ada Harsa disana dan bertatap muka dengan pria itu setelah kejadian tadi sama saja dengan mempermalukan dirinya. Hira menghela nafas, memilih membaringkan dirinya di sofa yang sebenarnya muat untuk dirinya. Baiklah malam ini saja ia tidur dengan keadaan lapar seolah di rumah ini tidak ada makanan, besok Hira janji akan memakan semua yang tersedia di kantin
"Kenapa tidur disitu?" Belum lima detik Hira memejamkan mata, suara Harsa yang entah kapan datang itu membuatnya membuka mata kembali.
Hira diam saja, menatap Harsa sebentar lalu mengangkat lengannya untuk menutupi kedua matanya.
Terserah Harsa dan pikirannya saja. untuk malam ini, pembahasan selesai.
Harsa tidak lagi mengatakan apapun, ia beralih menuju dapur. Mengambil spaghetti bolognese yang ia buat beberapa jam lalu, memasukkannya ke oven selama 2 menit bahkan membuat jus mangga sekalian. Meletakkan keduanya di meja makan lalu kembali ke ruang tengah
"Bangun" katanya, menurunkan lengan Hira dari wajah gadis itu.
Hira dengar entah Harsa sedang melakukan apa di dapur, tapi ia terlalu gengsi untuk bangun dan cari tau.
"Hira saya tau kamu gak tidur, bangun sekarang." Hira berdecak, memandang sinis pada Harsa yang juga sedang menatap kearahnya
"Kenapa liatin saya begitu?"
Kenapa nyenyenye...
Karena Hira yang tiba-tiba menjadi enggan berbicara, Harsa meraih tangan Hira membawanya duduk di meja makan meski Hira sempat menolak.
"Makan, habis itu mandi ganti baju lalu tidur. Besok kuliah pagi" kata Harsa, mengambil piring dan spaghetti untuk Hira yang menatapnya heran bercampur kaget
"Kamu tau dari mana aku ada kelas pagi?" Hira saja tidak tau dan tidak cari tau soal pekerjaan atau kesibukan Harsa di luar
"Makan" Hira mendengus, menatap spaghetti yang masih mengepul itu lamat-lamat. Ia tidak lupa bahwa Harsa memang pandai memasak. Lihat kan? Bagaimana kuatnya ingatan Hira saat dulu Hera bercerita tentang betapa Harsa romantis karena sering memasak untuknya. Hira memang tempat curhat paling baik untuk Hera.
KAMU SEDANG MEMBACA
FEEL BLUE
ChickLitDia itu seperti air, aku tidak bisa tanpanya, tapi juga bisa mati karenanya.