Hira libur hari ini, tapi baru kali ini ia tidak suka libur. Hira benar-benar ingin keluar rumah saja, agar tidak perlu bertemu dengan Hera. Jujur saja, meski semalam mereka sudah bicara dan Hera pun sudah mengutarakan maksud kenapa dia kabur waktu itu, tetap saja Hira merasa janggal. Hera sudah kembali, dan ternyata ia pergi karena belum siap menikah. Harsa yang tau Hera belum siap menikah tetap melamarnya. Kenapa di terima? Ya karena Hera mencintai Harsa pastinya.
Hira menghela nafas, Harsa sudah turun duluan dari setengah jam yang lalu. Pria itu pamit untuk berlari pagi di sekitaran komplek. Hira yang mulai jengah mengulur-ulur waktu akhirnya memilih turun. Di dapur sudah ada Fiona dan asisten rumah tangga yang baru di pekerjakan beberapa minggu lalu.
"Ra? Kamu kuliah?" Fiona melihat Hira telah rapi sepagi ini
"Gak sih kak, lagi rajin dandan aja" Hira memang sudah mandi, sudah memoles wajahnya dengan make up tipis dan memakai pakaian rapi. Hira memutuskan untuk pulang lebih cepat saja karena belum siap bertemu dengan Hera lagi.
"Iya, biar suami terpesona terus" Fiona tertawa kecil, menyajikan nasi goreng dan telur mata sapi diatas meja.
"Ibu belum bangun?" Biasanya Bunga sudah duduk manis di meja makan jam segini
"Belum, lagi ngobrol sama Hera di kamar" ucapan Fiona membuat Hira jadi bertanya-tanya. Kira-kira mereka sedang membicarakan apa? Hira ingin bergabung tapi tidak berani.
"Udah dari tadi?" Fiona mengangguk, anggukan itu bersamaan dengan datangnya Hera yang juga telah rapi
Tanpa suara, mengambil duduk di samping Fiona berhadapan dengan Hira yang hanya meliriknya sekilas. Hira merasa aneh dengan keberadaan Hera. Padahal dulu mereka dekat sekali
"Mau sarapan sekarang? Atau mau tunggu ibu?" Fiona menoleh pada Hera yang sedang menikmati tehnya
"Tunggu ibu aja, lagi mandi" Fiona mengangguk, memilih ke dapur untuk melakukan apa saja karena enggan berada lama-lama di tengah kecanggungan.
"Kamu sama mas Harsa tinggal disini?" Hera membuka obrolan, obrolan yang sebenarnya agak sensitif untuk dibahas.
Hira menggeleng, mengusap pelan cangkir teh depannya berharap gugupnya berkurang
"Tinggal di rumah mas Harsa" jawab Hira kemudian, ia mengernyit melihat tawa kecil Hira.
"Dirumah yang aku desain? Dirumah yang segala isinya adalah pilihan aku? Bahkan mungkin kamar kalian berdua juga aku yang desain" ucap Hera membuat Hira mengumpat dalam hati. Itu benar. Dan Hira benci fakta itu.
"Kamu gak keberatan, pakai bekas-bekas aku?" Hira tidak bisa untuk tidak menatap tajam pada Hera. Pada situasi ini rasanya ia butuh Fiona bahkan Bunga untuk melerai mereka.
"Gak penting tinggal dimana, yang penting bahagia. Mbak sendiri gimana? Happy ninggalin semuanya?"
Hira membalas sarkas, menikmati Hera yang terdiam. Sebenarnya Hira tidak suka situasi ini. Ia kira mungkin ia bisa meminta maaf pada Hera atas pernikahan nya dengan Harsa, atau Hera mungkin bisa meminta maaf atas tindakan kaburnya. Tapi tidak ada maaf dari Hera sama sekali, yang ada hanya sikapnya yang menyebalkan. Membuat Hira pun enggan beramah tamah.
Harsa datang sebelum Hera sempat membalas kalimat Hira, sementara Hira sangat bersyukur atas kembalinya Harsa. Pria itu berkeringat tentu saja, bajunya bahkan basah.
Harsa sempat melirik pada Hera sangat sebentar kemudian beralih pada Hira.
"Saya mandi dulu" Hira tidak menjawab dan Harsa tetap pergi, padahal dia maunya Harsa disini memisahkan jika kiranya ia dan Hera bertengkar.
KAMU SEDANG MEMBACA
FEEL BLUE
ChickLitDia itu seperti air, aku tidak bisa tanpanya, tapi juga bisa mati karenanya.