Hira.38

25K 1.4K 25
                                    

Selepas Harsa berangkat bekerja tadi, Hira langsung pamit pada Dheana untuk menemui Bunga. Tadi pagi Fiona menelpon, ia mengabarkan bahwa Hera berulah lagi.

Maka tanpa pikir panjang, Hira bergegas ke rumah Bunga.

"Ibu mana?" Tanya Hira pada Fiona yang duduk di ruang tengah

"Ada di kamar" Hira kemudian memasuki kamar Bunga, Bunga disana sedang duduk diatas ranjangnya.

"Ibu kenapa? Sehat kan?" Bunga mengangguk, Hira mengambil duduk di tepi kasur berhadapan dengan Bunga.

"Mbak Hera kemana? Masih males keluar kamar?" Dari informasi yang ia dapat dari Fiona, sejak kebohongan itu terbongkar, Hera juga jadi jarang keluar kamar. Kalau bukan Bunga yang paksa, Hera juga kadang tidak mau makan.

"Ibu enggak ngerti, padahal kita udah bilang kalau kita mau nerima dia dan anaknya. Ibu mau terima cucu ibu, tapi mbak Hera kayak gak peduli sama kehamilannya." Ucap Bunga, ekspresinya menampilkan kesedihan. Pernah satu waktu ia meminta Hera untuk ke rumah sakit, melakukan pemeriksaan rutin pada kandungannya, namun Hera menolak. Kandungannya itu sudah besar, mungkin sudah enam atau tujuh bulan. Tapi Hera sendiri belum pernah memeriksa jenis kelamin anaknya. Sudah Bunga katakan, Hera sepertinya tidak peduli dengan kehamilannya.

"Ibu enggak usah terlalu mikirin itu" karena kesehatan Bunga yang di khawatirkan kembali menurun. Hera juga, kenapa lagi dia?

"Nanti biar aku yang coba ngomong sama mbak Hera" Bunga mengangguk, membiarkan Hira pamit untuk menemui Hera.

Hira naik ke lantai dua dimana kamar Hera berada, mengetuknya beberapa kali namun tidak ada sahutan.

"Mbak? Aku mau ngomong sebentar, boleh?" Tidak ada jawaban, entah kenapa tapi perasaan Hira menjadi tidak tenang. Ia mengintip ke bawah berniat memanggil Fiona. Namun hingga berulang kali ia berteriak, Fiona tidak muncul. Mungkin dia keluar

"Mbak?" Hira berusaha membuka pintu yang ternyata di kunci itu. Dengan panik, ia berlari menuruni tangga, membongkar kasar laci nakas di dekat dapur untuk mencari kunci cadangan. Lalu kembali ke kamar Hera dan membuka pintu buru-buru.

Kamar Hera gelap, ketika ia menyalakan lampu, sampah-sampah yang berserakan menyambutnya. Sangat berantakan juga berdebu, bagaimana selama ini Hera tahan tidur disini?

"Mbak Hera?" Hira masuk lebih dalam, kamar ini seperti tidak terurus juga tidak berpenghuni.

"Mbak! Mbak Hera!" Hira berteriak kaget, berlari meraih tubuh Hera yang tergelatak di lantai kamar mandi.

"Mbak?" Hira menepuk pelan pipi Hera, air matanya mendesak keluar seiring rasa panik yang mendera. Baju Hera terangkat, menampilkan perutnya yang penuh goresan benda tumpul yang entah di dapat dari mana.

Dengan cepat Hira meraih ponselnya di saku blazer yang dia pakai, menelpon satpam komplek untuk membantunya membawa Hera ke rumah sakit.

________

Hira duduk sendirian di ruang tunggu, berhadapan dengan Bunga yang menangis serta Fiona yang mengusap pelan bahunya. Fiona yang agak merasa bersalah karena keluar rumah saat-saat Hira membutuhkan bantuannya.

Hera masih di dalam, perawat membantu menggantikan baju Hera yang sekarang belum sadarkan diri. Kandungan Hera tidak di katakan sehat, ia kekurangan nutrisi karena memang Hera tidak memenuhinya. Luka-luka yang ada di perutnya berasal dari gunting yang Hira yakin bahwa Hera sengaja melakukan itu. Kenapa bisa-bisanya Hera menolak juga membahayakan anaknya sendiri?

"Kenapa sih dia lakuin itu?" Bunga berucap di sela-sela tangisnya. Ia merasa dua kali lipat lebih gagal jadi ibu dari sebelumnya.

Pertanyaan itu tidak mampu Hira jawab karena ia juga tidak tau jawabannya. Beberapa jam kemudian, Hira memilih masuk lebih dulu untuk menemui Hera yang katanya sudah sadar.

FEEL BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang