Sarapan pagi yang hening seperti biasa. Pagi ini masih dengan kemalasan menyentuh benda-benda di dapur, Hira memilih membeli bubur ayam di depan komplek untuk sarapannya dan Harsa.
Hira pernah dengar dari Hera kalau Harsa itu lumayan pemilih dalam hal sarapan, biasanya ia hanya memakan roti dengan selai dan secangkir kopi, atau sereal jika sedang malas. Hira masih ingat bagaimana Hera bangun jam lima pagi untuk menyiapkan bekal untuk Harsa agar bisa menyuapinya di mobil. Semua masih segar dalam ingatan Hira dimana sebenarnya itu tidak berguna, hanya semakin membuat dirinya kesal saja.
Tapi untuk bersiap, Hira tidak mau peduli meski susah payah. Ia tidak bertanya Harsa ingin sarapan apa, bahkan sejak Harsa menegurnya karena pulang larut minggu lalu itu, Hira jadi tambah pasif. Ia tidak bicara dan hanya menjawab Harsa sesekali
"Saya sudah minta tolong mama buat cari asisten rumah tangga" Hira berhenti mengunyah, meskipun ia tidak memasak dan hanya membeli makanan dan Harsa sesekali memasak, tapi pekerjaan rumah masih Hira handle. Ia membersihkan rumah, mencuci bajunya dengan mesin cuci kecuali milik Harsa karena pria itu punya orang kepercayaan yang akan mengambil pakaian kotor Harsa tiap hari minggu untuk di cuci di laundry.
Mereka memang tinggal serumah bahkan satu kasur, tapi sikap Harsa yang seolah memasang tembok tinggi membuat Hira ragu untuk mendekat. Ia mempertahankan sikapnya yang acuh pada Harsa seperti dulu.
Pria itu yang memintanya belajar menerima pernikahan, tapi dia sendiri bahkan tidak berusaha. Hira tau apa tentang Harsa selain ia dosen? Harsa yang belakangan pulang larut pun sama sekali tidak di pahami Hira.
Seharusnya, kalau memang ia ingin berusaha dengan pernikahan ini, kenapa dia tidak mencoba dengan membuka diri terlebih dahulu?
"Terserah kamu" Hira sebenarnya tidak terlalu butuh, tapi karena ini rumah Harsa dan tentu saja Hera, terserah dia saja.
"Saya minta pendapat kamu sebagai nyonya rumah" Harsa menatap Hira yang fokus mengaduk bubur di mangkuknya. Nada suaranya yang tegas setiap kali berbicara pada Hira sudah biasa
"Terserah kamu, kalau kamu maunya gitu yaudah." jawab Hira cuek, lama-lama hatinya pegal sendiri karena terlalu sering kesal. Ia kesal karena Harsa tidak jujur soal rumah ini, ia kesal pada fakta bahwa Harsa dan Hera sering menginap disini sewaktu mereka masih bersama, Hira kesal karena seluruh isi rumah ini masih menyimpan kenangan Hera, dan lebih kesal lagi pada Harsa yang bersikap seolah mereka hanya teman serumah. Hira tidak memiliki keinginan banyak, Hira tau Harsa tidak menyukainya dan tidak akan mencintainya, tapi setidaknya apakah tidak bisa pria itu ramah sedikit padanya? Tidak bisa dia bicara tanpa nada tegas dan penuh perintah? Tidak bisa Harsa membiarkannya berusaha menjadi istri yang baik meski itu sama saja membiarkan hatinya terluka?
"Nanti dia cuma datang buat masak sama beres-beres, pulang kalau udah sore dan kerjaannya beres" Hira mengangguk menanggapi Harsa yang tumben sekali mau mengeluarkan suara ketika sedang makan.
"Saya minta nomor rekening kamu" sebenarnya Harsa bisa saja memintanya pada Bunga misalnya. Tapi Harsa rasa, membangun komunikasi walaupun pelan adalah penting.
"Mau apa?" Hira mengerutkan keningnya, menatap Harsa sebentar lalu meminum airnya. Bubur di mangkuknya masih tersisa banyak tapi perutnya sudah kenyang.
"Nafkah" jawab Harsa singkat. Di tempatnya, Hira baru sadar bahwa bersamaan dengan statusnya yang telah berubah dari seorang anak menjadi seorang istri, juga berarti bahwa tidak ada lagi jatah bulanan dari Bunga.
Hira adalah perempuan yang boros, membeli barang-barang yang sebenarnya tidak penting dan tidak butuh dengan judul lucu adalah gaya Hira.
Membeli baju trend dan kekinian mengelilingi mall hingga betisnya pegal adalah kebiasaan. Bodohnya Hira yang baru menyadari pula bahwa saldo di rekeningnya hanya setara dengan dua kali naik taksi ke kampusnya.
"Nafkah ya?" Hira ingin bertanya mengenai uang kuliahnya. Tapi bagaimana cara memulainya ya? Hira juga sadar betapa menyebalkan sikapnya pada Harsa. Tapi memiliki istri yang masih kuliah wajib bagi Harsa membiayai nya kan? Itu tidak salah kan?
"Iya" Harsa menjawab pendek, menggeser mangkuk kosongnya sedikit menjauh dari tangannya.
"Lahir atau batin?" Tanya Hira tidak nyambung lebih kearah bodoh.
"Keduanya" Hira melotot menatap Harsa dan tenangnya yang luar biasa, mengapa Harsa terlihat santai sekali di tempatnya? Oh Hira tau, Harsa pastinya telah membahas ini sebelumnya pada Hera kan?
"Sekarang?" Pancing Hira lagi, Harsa bukan pendiam, Hira tau. Hera juga sering menyangkal kalau ada yang bilang Harsa itu kaku apalagi pendiam.
"Boleh kalau kamu gak keberatan bolos hari ini"
Shit!
Menyebalkan sekali Harsa pagi ini, Hira berdehem untuk mencairkan suasana
"Gimana?"
"APANYA!?" Hira nyaris teriak, merasa aliran darahnya hanya berpusat pada kedua pipinya dan membuatnya memerah.
"Nomor rekening Hira" jawaban Harsa yang sudah dengan nada halus itu membuat Hira tersadar
"Nanti aku WhatsApp"
"Sekarang" pria itu menyodorkan ponselnya pada Hira, menampilkan beranda aplikasi transfer uang. Dengan hati-hati Hira mengetik nomor rekeningnya disana setelah melihat ponselnya sendiri lalu kembali menyodorkannya pada Harsa
Hening kembali lagi, Hira memilih beranjak mengambil mangkuk serta gelas miliknya dan Harsa lalu mencucinya sebentar. Tidak tau kalau Harsa memerhatikan tindakannya dalam diam
"Aku berangkat dulu" Hira mengambil ponsel dan tasnya
"10 untuk keperluan rumah, 20 untuk kamu, 20 lagi untuk kuliah kamu" kata Harsa ikut berdiri mengambil tas kerjanya menatap Hira yang kebingungan.
"Beli apapun yang kamu mau, bayar biaya kuliah kamu, beli bahan buat bibi masak dan jangan minta apapun lagi ke orang tua kamu" sambungnya, Hira belum keluar dari bingungnya saat keterkejutan itu datang, Harsa mendekat lalu mengecup pipinya sebentar sekali.
"Saya pergi dulu, kamu hati-hati di jalan" Hira tidak merespon, apa yang baru saja terjadi?
Itu Harsa kan?
Hira merasa oksigen di sekitarnya menjadi berkurang, ia memegangi dadanya yang tiba-tiba berdentum keras. Efek sebuah kecupan di pipi seorang Harsa bahkan seolah membekukan otaknya.
Hira cepat-cepat meraih ponselnya membuka notifikasi m-banking di ponselnya
50 juta
Hira tau bagi sebagian orang 50 juta mungkin bukan apa-apa, tapi bagi Hira yang mendapat uang jajan 4 juta perbulan tentu saja kaget. Dengan entengnya Harsa bilang 10 juta untuk keperluan rumah, 10 juta untuk keperluan rumah dia mau beli apa?! Memikirkannya saja sudah membuat kepala Hira pusing.
______________________
"Menurut lo, kalau punya uang 10 juta dan lo harus beli keperluan rumah tangga tuh kira-kira lo bakal beli apa?" Sera yang sedang fokus pada dosen di depannya mengangkat bahunya acuh
"Lo istri sekarang, mikir sendiri dong" jawabnya cuek dan tetap memandang ke depan.
"Mas Harsa ngasih gue 10 juta buat keperluan rumah, gue bingung" katanya lagi, sengaja Hira berbisik karena kelas sedang hening dengan dosen yang menjelaskan materinya
"Lo liat dirumah lo lagi perlu apa bego! Apa yang habis, lo mau masak apa hari ini besok dan seterusnya!" Sera menjawab dengan nada gemas, gemas ingin menarik rambut Hira sampai rontok.
"Sumpah gue bingung" Hira berbicara sendiri, tidak ada sedikit pun materi kuliah yang masuk ke kepalanya hari ini padahal ini sudah kelas keduanya.
"Beli lingerie aja, seneng tuh suami lo" Sera tertawa-tawa, berbanding terbalik dengan Hira yang terdiam
Apa Hira coba saja ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
FEEL BLUE
ChickLitDia itu seperti air, aku tidak bisa tanpanya, tapi juga bisa mati karenanya.