Hira terbangun agak lebih siang dari tiga hari yang lalu. Semalam ia kesulitan tidur, sebenarnya bukan hanya semalam. Sudah tiga hari ini jam tidurnya sangat berantakan. Hira beranjak dari kasurnya menuju kamar mandi, menatap dirinya di depan cermin besar yang terpajang disana. Matanya bengkak. Lagi.
Hira membasuh wajah dan menggosok giginya kemudian menuju dapur. Mengambil handuk kecil dan air hangat di wadah kecil. Membasahi handuk tadi lalu mengompres matanya yang seperti habis di tonjok saking bengkaknya.
Ini semua karena Harsa! Hira mengumpat sendiri. Tidak akan ada yang melarangnya. Cerel juga sedang tidak di Jakarta sejak kemarin. Apartment ini sedang ia kuasai.
Menangis selama tiga hari meratapi pernikahannya yang berantakan ternyata tidak cukup membuatnya puas apalagi ikhlas. Padahal, Hira sudah jauh-jauh hari mempersiapkan diri, namun tetap saja rasanya sakit sekali.
Banyak sekali pertanyaan di kepala, seperti misalnya sejak kapan Harsa dan Hera berhubungan hingga akhirnya Hera hamil? Atau kenapa Harsa tidak jujur saja dan Hira tidak perlu sekaget ini? Atau kenapa Bunga harus turut andil? Kenapa semuanya bekerjasama membuatnya kecewa?
Selama tiga hari ini, Hira memutuskan menginap di apartment Cerelia. Ia mematikan ponselnya. Menolak mengetahui apapun bahkan sekedar pesan pun. Lagi pula semuanya jelas. Harsa masihlah menjadikan Hera pemenang untuk hatinya. Masih segar diingatan bagaimana Harsa lebih memilih Hera daripada dirinya yang terlanjur terluka. Harusnya ia tidak sesedih ini karena sudah bersiap, tapi dengan kejam Harsa malah memberinya kejutan yang akan ia benci sepanjang masa.
Ia bukan tidak terima anak dari mereka berdua, Hira hanya benci bagaimana cara mereka menyampaikan padanya. Kenapa harus begitu?
Tapi mau sampai kapan? Bukan, Hira bukan mau kembali dan memperbaiki. Justru ia harus kembali dan menyelesaikan semuanya. Harus.
Dengan setengah hati, Hira menyalakan ponselnya yang ia matikan total selama tiga hari. Tentu, banyak pesan dan panggilan tidak terjawab. Bahkan Sera juga.
Harsa sepertinya juga menelpon Sera menanyakan keberadaannya seperti yang ia lakukan pada Cerel.
Bunga menelpon dan mengiriminya banyak pesan yang belum ingin ia buka, Hera juga ternyata menelponnya namun Hira tidak penasaran. Fiona juga menelponnya berulang kali. Dan yang paling mencolok, Harsa menelponnya sebanyak sembilan puluh kali. Hira tertawa sinis, mau bilang apa lagi dia?
Hira memilih membuka pesan Cerel yang sedang di Singapura karena kakaknya akan menikah disana. Tadinya Hira diajak, tapi tidak dalam keadaan suasana hatinya masih buruk.
Pak harsa nelpon gue, bahkan sempet ngancem gue karena nyembuyiin elo
Gimana nih?
Dia kayaknya marah banget
Tentu, karena orang terakhir yang bersamanya memang hanya Cerelia. Harsa tentunya akan menekan Cerel paling kuat.
Dia gak akan ngapain-ngapain elo, gue janji. Bilang aja elo gak tau dan lagi di Singapura.
Hanya itu yang Hira balas, Harsa akan dapat pelajaran darinya jika sampai berani menyentuh Cerel sejengkal saja.
Penasaran dengan isi pesan Fiona yang terletak paling atas karena baru masuk semalam, Hira membukanya. Dan membaca tiga chat terakhir.
Hira kamu dimana? Baik-baik aja kan?
Ibu masuk rumah sakit, asmanya kambuh.
Kita dirumah sakit biasa, kalau kamu baca tolong temuin ibu ya.
Hira memejamkan matanya sejenak, bohong jika ia tidak khawatir. Tangannya bahkan gemetaran meletakkan ponselnya sedikit menjauh dari jangkauannya.
Hira tau rumah sakitnya, rumah sakit yang kebetulan dokternya adalah teman almarhum ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FEEL BLUE
ChickLitDia itu seperti air, aku tidak bisa tanpanya, tapi juga bisa mati karenanya.