"kamu pulang hari ini?" Hira terlebih dulu memutar bola matanya lalu berbalik menatap Riska.
"Iya mbak, kenapa?" Jawabnya sehalus mungkin, meski sebenarnya Hira ingin sekali mencakar wajahnya.
"Aku denger dari tante Dheana, kamu tinggal dirumah mas Harsa ya? Yang harusnya di tinggalin sama Hera?" Hira dengan senyum tipis mengangguk, ia sudah tidak lagi terpancing emosi jika mengenai rumah itu.
"Iya, kenapa emangnya?" Masalah buat lo? Ribet banget jadi orang.
"Gak sih, aku cuma nanya." Hira kembali melanjutkan kegiatannya membuat kopi untuk Harsa. Ini hari sabtu, Harsa biasanya tidak bekerja. Bekerja juga kadang-kadang tapi pulangnya cepat. Kalau sekarang Hira tidak tau karena belum bertanya.
"Kalau enggak kuliah, terus kamu ngapain?" Berat sekali rasanya menahan diri untuk tidak menyiram air panas ke wajah Riska yang sedang duduk sarapan sendirian di kitchen island. Dia sarapan terlambat karena baru pulang olahraga, yang agak membuat Hira dongkol, ia mau olahraga ketika melihat Harsa pamit untuk olahraga tadi. Hira curiga, Riska tidak menyukai sepupunya kan? Terlebih, Harsa kan suaminya.
"Kerja" Hira menjawab singkat, meracik cepat-cepat kopi Harsa agar ia segera pergi.
"Oh ya? Kamu kerja dimana? Di kantornya Harsa ya?" Boro-boro, Hira bahkan tidak tau dimana letak kantor Harsa.
"Bukan" Hira masih menjawab singkat dan cuek
"Kenapa gak disana aja? Setidaknya disana kamu bisa kerja walaupun pendidikan kamu gak seberapa. Toh itu punya suami kamu." Hira menghentikan kegiatannya mengaduk kopi. Pendidikannya tidak seberapa? Iya memang, kuliahnya memang tidak selesai. Tapi kalimat Riska barusan agaknya sengaja agar ia terpancing emosi.
Hira berbalik, meletakkan kasar kopi panas itu diatas meja berhadapan dengan Riska. Hira merendahkan tubuhnya, kedua tangannya bertumpu pada meja. Dan Riska menyadari amarah yang terpancar jelas dari kedua matanya.
"Maksud lo apa sih? Langsung aja ke intinya, lo mau hina gue kayak gimana lagi sih emang? Lo ngerasa sempurna banget ya?" Meski nadanya tidak tinggi, harusnya dari sana saja Riska sudah paham bahwa Hira sudah diambang batas.
"Maaf Hira kalau kata-kata aku bikin kamu tersinggung, aku cuma__
"Gue mau wisuda kapan, punya anak kapan, tinggal dimana, atau mau kemana arah hidup gue, itu urusan gue. Lo siapa sih kayaknya pengen banget ikut campur?" Hanya pada keluarga Harsa lah sebenarnya Hira mampu bersabar sejauh ini. Biasanya ia mengamuk kalau memang tidak suka.
"Kok kamu marah sih__
"Ya jelas gue marah!" Hira membentak, bersamaan dengan turunnya Harsa dari lantai atas.
"Mas, bilangin istri kamu untuk sopan sedikit__
"Emang dari kemarin lo sopan Riska? Lo ngaca dong! Mending lo urus aja urusan lo sendiri!" Hira tau agaknya suaranya mulai makin tinggi, tapi terserah! Hira hanya ingin marah untuk sekarang.
"Hira udah" Hira menoleh menatap Harsa dengan tajam, kenapa malah dia yang di suruh diam? Dia juga tau dari kemarin Riska yang menyebalkan.
"Padahal tadi aku cuma nanya baik-baik lo mas." Riska terdengar mengadu, ia berdiri dari duduknya dan berdiri di sebelah Harsa. Hira makin muak saja dibuatnya.
"Riska, gue gak pernah nanya kenapa sampe sekarang lo belum nikah- nikah juga padahal udah tua kan? Jadi lo juga harusnya gak usah kepo sama urusan gue." Riska menatap nyalang pada Hira. Ia maju selangkah
"Maksud kamu apa ngomong kayak gitu?!" Riska juga ikut meninggikan suaranya
"Marah kan lo?! Makanya gak usah mancing, urus aja__
KAMU SEDANG MEMBACA
FEEL BLUE
ChickLitDia itu seperti air, aku tidak bisa tanpanya, tapi juga bisa mati karenanya.