HIRA.34

20.6K 1.2K 16
                                    

Bukan hanya kepala Bunga yang mengharuskannya untuk menginap dirumah sakit. Kondisi Bunga juga mengalami penurunan, semalam saja Bunga mengalami demam dan terus mengeluh kedinginan. Kondisi itu pula yang membuat Hira memilih menetap. Ia baru saja selesai menelpon Athar meminta izin dan menjelaskan alasannya ketika entah dari mana-, Harsa datang mendekat.

Hira tidak menghiraukan, ia masih fokus pada telponnya menunggu Athar merespon ucapannya karena pria itu kebetulan sedang sibuk.

"Ok, makasih ya Athar." Ucapnya kemudian menutup panggilan itu, hendak kembali masuk ke ruangan Bunga saat Harsa menahan tangannya, yang lekas Hira lepas karena tidak ingin Hera melihat dan semakin marah padanya.

Ngomong-ngomong, tadi Hera sempat melampiaskan kesalnya pada Hira karena Harsa tidak bisa di hubungi. Seolah itu mau Hira dan ada campur tangannya disana. Bukan urusannya kalau memang Harsa secuek itu pada kakaknya.

"Sebentar, saya mau ngomong." Ucap Harsa, yang untuk pertama kalinya muncul kembali karena Hera mengirimkan pesan berisi kondisi kesehatan Bunga.

"Ngomong ya ngomong aja, gak usah pegang-pegang." Hira menjawab ketus, menghempas sekali lagi tangan Harsa dari lengannya.

"Kenapa? Kamu istri saya" dan Hira menatap Harsa tajam atas ucapannya barusan

"Kalau lo mulai lupa pak Harsa, kita udah cerai." Ucap Hira yang menekankan setiap katanya.

"Kita enggak cerai, enggak akan pernah cerai, jadi tolong perbaiki cara bicara kamu." Hira beberapa detik terdiam mendengar kalimat Harsa. Jelas-jelas pengacaranya sendiri sudah menjelaskan dan mengatakan kalau ia dan Harsa sudah resmi bercerai.

"Terserah" tapi biarkan Harsa berbahagia dengan pendapatnya sendiri. Hira berusaha melepaskan lagi tangannya.

"Kenapa enggak pernah kuliah?" Dan sekuat Hira berusaha melepaskan diri, Harsa akan jauh lebih kuat mencengkeramnya.

"Biar uang lo yang di pake bayar kuliah, bisa di tabung buat biaya lahirannya mbak Hera. Gimana? Baik banget gak sih gue?" Ini rumah sakit, Hira hanya tidak tau bahwa kendali dirinya semakin hari semakin terkikis akan perubahan Hira.

"Berhenti dari pekerjaan kamu, kamu harusnya kuliah. Bukan kerja" Hira menatap Harsa dengan bola matanya yang membesar. Tentu saja dia terkejut. Harsa memata-matai nya kah selama ini? Dari mana dia tau soal kerjaannya?

"Kerja atau kuliah itu urusan gue, lo udah gak berhak ngatur." Jawab Hira yang Harsa perhatikan, makin hari makin berani membantah semua ucapannya.

Harsa terdiam, matanya menatap lekat pada Hira yang ikut diam. Jujur saja, tatapan Harsa padanya sekarang juga membuatnya takut.

Tapi kenapa? Harsa bukan lagi suaminya. Sudah tidak ada aturan yang patut ia taati jika itu soal Harsa.

"Sampai saya berhasil membuktikan semuanya Hira, saya janji kamu akan nyesel karena udah bicara setidak sopan ini sama saya." Harsa berucap pelan, tapi nada tajam disana tetap sampai pada pendengaran Hira.

Hira penasaran dengan pembuktian yang Harsa maksud, tapi sudah di katakan. Harsa bukan lagi suaminya dan tidak ada urusan darinya yang harus Hira ketahui.

"Bodo amat ya Harsa, gue___

Hira hampir saja berteriak, tapi suaranya tidak keluar karena Harsa membungkamnya. Pria itu mendorong tubuh Hira ke dinding. Terjebak diantara tubuh besarnya mengurung Hira dan memegang kuat tekuknya agar tidak bergeser seinci pun. Ia merasakan pukulan kuat dan dorongan Hira pada dadanya, namun itu tidak membuatnya berhenti. Harsa tetap mencium Hira dengan gerakannya yang kasar. Orang lain boleh berucap sarkas tajam dan membentaknya, tapi tidak dengan Hira yang bahkan hanya menyebut namanya saja membuatnya tidak suka. Hira boleh marah, dia juga boleh kecewa, Harsa juga akan terima di maki kalau memang dia salah, tapi tidak dalam keadaan ternyata dia juga hanya di jebak namun belum memiliki bukti yang kuat. Kemana dia selama ini? Dia sibuk, sibuk mencari tau akar masalah Hera yang membuat hubungannya dan Hira menjadi retak, sudah tidak peduli kah dia dengan anak yang ada dalam kandungan Hera? Maka dengan lantang Harsa akan bilang iya, karena memang dia sendiri tidak yakin itu anaknya. Dia memang pernah berbuat, ia mau bertanggung jawab, tapi adanya Leo malam itu membuat pikirannya seolah tercerahkan setelah nyaris tiga bulan seperti jalan buntu.

FEEL BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang