Fiona menelponnya dengan nada panik yang menular pada Hira. Ia mengatakan bahwa Bunga dan Hera bertengkar. Hira sebenarnya agak tidak percaya itu, karena bukannya Bunga dulu sangat menyayangi Hera hingga membentaknya saja ia jarang?
Namun karena khawatir terjadi apa-apa, Hira tetap melajukan mobilnya menuju rumah Bunga. Di jam tujuh malam selepas ia bekerja
"Fiona?" Teriak Hira pertama kali tanpa mengucap salam apapun, Hira langsung membuka pintu dan menerobos masuk.
Hira berhenti di ruang tengah, terdiam menatap apa yang sedang ada di depannya ini.
Hera, Harsa, Bunga juga Fiona sedang disana. Duduk dan memandang Hira. Namun yang paling mencolok adalah Bunga yang menangis. Hira mendekat pada Bunga, mengabaikan tatapan tajam Hera ataupun Harsa yang juga tak putus melihat kearahnya.
"Kenapa bu? Kok nangis?" Tanya Hira, berdiri di hadapan Bunga yang duduk di sofa tunggal.
"Hera maksa mau jual rumah ini" Fiona yang menjawab, suaranya terdengar marah.
"Kamu orang luar! Sebaiknya jangan ikut campur!" Hera membalasnya dengan teriakannya yang lantang.
"Maksudnya? Kenapa harus di jual?" Tatapan Hira beralih pada Hera. Rumah ini adalah rumah peninggalan ayah mereka. Tempat ia dan Hera lahir juga tumbuh dewasa, kenapa tiba-tiba harus di jual?
Hera dengan tatapannya yang menghunus, berdiri berhadapan dengan Hira. Harsa yang melihat itu ikut berdiri dari duduknya.
"Kamu kenapa egois banget sih Hira? Kamu mau anak aku lahir tanpa ayah?!" Bentaknya keras, Hira hampir tertawa mendengarnya.
"Egois? Aku egois?" Tanya Hira yang tentu tidak terima di cap begitu. Bukannya ia juga sudah berupaya mengakhiri pernikahannya dengan Harsa? Itu semua dia lakukan karena tidak ingin egois ingin memiliki Harsa sementara ada Hera yang sedang hamil anaknya. Lalu, atas dasar apa Hera menyebutnya begitu.?
"Mas Harsa gak mau tanggung jawab gara-gara kamu!" Hera mendorong bahu Hira hingga termundur beberapa langkah.
"Bukan Hera, saya gak mau menikah dengan kamu bukan karena Hira. Karena kalau memang dia anak saya, ada enggak adanya Hira saya pasti tanggung jawab." Harsa ikut menimpali, mulai geram dengan tingkah Hera yang masih berpura-pura.
"Maksud kamu apa sih mas?! Ini anak kamu!" Hera menangis, namun suara teriakannya itu masih begitu kuat.
"Mbak Hera, aku gak mau tau soal hubungan kalian, yang aku mau tau adalah kenapa rumah ini harus di jual?!" Hira kembali mengambil alih atensi, dia sudah mencoba tenang. Tapi nyatanya ia emosi juga melihat Hera.
Hera tidak menjawab, ia melihat pada Bunga yang enggan menatap kearahnya.
"Kenapa sih ibu gak mau bantu aku?" Tanyanya, terdengar pilu seolah sangat di sakiti.
"Karena kamu salah Hera, ibu gak bisa bantu apa-apa." Bunga menjawab tegas, ada Fiona di sebelahnya mengusap bahunya menenangkan.
"Ini soal utang kamu itu ya?" Tebak Hira, dan diamnya Hera adalah jawabannya.
"Aku gak ngerti kamu berutang buat apa mbak, tapi itu masalah kamu! Jangan bawa-bawa ibu dan maksa mau jual rumah ini!" Hira membentak, dan Hera merasa emosinya makin terpancing mendengar itu.
"Kamu gak punya hak buat ikut campur__
"Utang kamu sudah saya lunasi Hera, saya sudah ketemu Leo dan bicara sama dia." Harsa berucap tenang, menatap Hera yang langsung diam dan juga terkejut. Bukan kah dia sudah bujuk Leo untuk tidak dan jangan sampai bertemu dan mengiyakan ajakan pertemuan Harsa?
Leo memang tidak bisa di percaya, kenapa Hera lupa itu.?
"Ibu juga sudah tau" ucap Harsa lagi, dan memang itulah penyebab Bunga menangis. Ia memang marah dan sedih Hera meminta rumah ini untuk di jual dan membayar utangnya, namun apa yang di sampaikan Harsa padanya kemarin lebih membuatnya sedih. Ia merasa telah gagal mendidik anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FEEL BLUE
ChickLitDia itu seperti air, aku tidak bisa tanpanya, tapi juga bisa mati karenanya.