Untungnya hari ini adalah hari minggu, dimana saat Hira bangun dalam keadaan kepala yang berat dan pusing ia masih sempat tersadarkan setelah melihat pakaiannya yang masih lengkap
Ini rumah cerelia, gumamnya dalam hati.
Dengan sempoyongan dan tangan kanan memegangi kepala, Hira masuk ke kamar mandi membasuh wajahnya dengan air dingin agar kesadarannya segera terisi penuh lalu melangkah keluar dimana Cerel sedang memanggang roti
"selamat pagi pemalas" katanya lalu meletakkan segelas kopi di hadapan Hira yang sudah duduk manis tanpa rasa canggung
Maklum, ini sudah bisa di sebut kebiasaan.
"udah jam sembilan, hp lo dari tadi bunyi terus" tidak perlu di tebak, itu pasti ibunya atau mungkin Hera kakaknya. Bukan satu dua kali Hira pergi di malam hari dan tidak pulang. Cukup sering dan Bunga sebagai ibu atau Hera sebagai kakak memang sudah ribuan kali menasehati. Tapi karna Hira merasa ia tidak melakukan kesalahan yang berlebihan, maka ini tetap jadi kebiasaan. Hira memang bukan Hera yang penurut dan hidupnya penuh keteraturan, Hira ya Hira. Gadis yang suka semaunya sendiri, keras kepala dan susah diatur. Itu salah, tapi Hira tetap pada dirinya sendiri.
"abis sarapan lo pulang deh, gak bakal di marahin. Gue udah atasi" enaknya tidur dirumah Cerel ya ini, gadis yang lebih muda dari Hira itu selalu tau caranya membuat Hira lepas dari masalah. Cerel sudah mengirim pesan pada bunga memberitahu kalau Hira ada dirumahnya. Kepercayaan Bunga pada cerel sudah tidak di ragukan lagi
"iya"
___________
Hira memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah, terimakasih pada Cerelia yang lagi-lagi berbaik hati menyuruh orang untuk mengantar mobilnya ke apartemen.
Andai saja Hira tau kalau dirumah sedang duduk manis Harsa di ruang tamunya, Hira akan memutuskan untuk tinggal lebih lama di apartemen Cerel. Bukan Hira benci pada Harsa, nyatanya mereka teman yang akrab tempo dulu. Tapi untuk sekarang, Harsa sudah bukan lagi berstatus sebagai temannya tapi juga pacar kakaknya.
Selama ini, memang selalu Hera yang teratas. Dalam segala hal, dan Hira tidak akan bohong kalau rasa iri itu selalu ada.
Dari dulu, bahkan Bunga cenderung menyuruh Hira untuk belajar pada Hera, bunga merasa apa yang ingin Hera lakukan harus juga di lakukan oleh Hira. Tapi tetap saja finalnya tetap sama, Hera akan lebih unggul. Selama dua puluh tahun nafas Hira, hidupnya memang sudah di bayangi oleh Hera.
Hera yang pandai, Hera yang rajin, Hera yang banyak tau, Hera yang pandai mengurus rumah, Hera yang pekerjaannya bagus, Hera yang gajinya tinggi. Semua hanya seputar Hera.
Bahkan, sekolah sampai kampus Hira sekarang pun adalah kampus yang sama tempat Hera pernah menimba ilmu. Karna bagi Bunga, jika Hera bilang bagus berarti memang bagus. Bunga tidak tanya apa mau Hira atau dia mau bagaimana. Seakan semuanya menjadi tidak penting jika sudah ada Hera.
Lalu Hira kembali merasa tertampar telak kala ia mengetahui bahwa Harsa pun memilih Hera. Sakit tapi tidak berdarah.
Inilah mengapa, Hira lebih suka berada di luar rumah dari pada dirumah sendiri meskipun Bunga dan Hera tidak pernah mengabaikan keberadaannya
"dari mana ra"? Harsa juga sebenarnya bukan masalah, justru Hira adalah orang yang perlahan mengikis kedekatan mereka. Karna sekarang sudah ada garis lain yang tidak bisa Hira lewati.
"dari rumah teman mas, aku permisi ke kamar" Harsa mengangguk singkat, seperti kemarin ia kembali berpapasan dengan Hera di tengah tangga. Kakaknya itu memang suka sekali memakai dress.
"nginep dirumah Cerel"? Hira mengangguk lalu kembali menaiki tangga, namun ucapan hera selanjutnya menghentikan
"awas ya kalau nanti kakak tunangan kamu gak dirumah" Hira berbalik, menghalau degup jantungnya yang tiba-tiba pesat.
"mas Harsa lamar aku" hera mengangkat tangannya, memperlihatkan cincin di jari manisnya yang sangat cantik walau Hira tidak melihatnya dari dekat. Di ruang tamu yang tidak jauh dari tangga, Harsa memperhatikan kedua saudara itu dalam diam
"oh, wow" reaksi yang tidak di terima oleh Hera, gadis dua puluh empat tahun itu cemberut.
"kok reaksi kamu cuma gitu" Hira mengatur nafas, melirik pada Harsa yang juga memandang kearah sini
"aku kaget mbak, selamat ya. Aku ikut senang" Hira memeluk hera, menyakinkan perempuan itu bahwa dia juga senang mengetahui ini
Karna sungguh, Hira sudah tau ini akan terjadi. Tatapan Harsa yang selalu menghujani Hera dengan penuh cinta, perhatian laki-laki itu yang tidak terhingga, atau caranya memperlakukan Hera memang tidak perlu di ragukan.
Sudut hati Hira seakan tambah kosong, otak dan hatinya kompak bertanya kapan dia bisa seperti Hera?
Hira tidak suka di samakan dengan Hera, di bandingkan dengan Hera, tapi kehidupan kakaknya ini terlalu sempurna dan Hira selalu ingin menangis mengingatkannya.
"ih, aku gak nangis masa kamu nangis" Hira menghapus air matanya, menatap wajah kakaknya yang memang sangat cantik. Jangankan Harsa, beberapa teman Hira saja ada yang pernah mengaku tertarik dengan hera.
"selamat ya kak, aku ke kamar dulu" Hera masih memanggilnya, namun Hira sudah terlalu masuk pada euforia kesedihannya hingga tidak sempat menoleh
_______________
Hira tidak tau tepatnya berapa lama Harsa dan Hera berpacaran, mungkin Hera pernah ingin cerita tapi Hira selalu menjauh. Hira selalu punya alasan kalau Hera ingin mendekatinya dan berbagi cerita. Tidak tau kenapa, Hira merasa bahwa ia tidak ingin terlalu dekat dengan Hera padahal dulunya mereka cukup dekat.
Jika di pikir ulang, dari dulu memang Harsa cenderung lebih dekat dengan Hera. Mungkin karna usia Hera dan Harsa tidak terlalu jauh. Mereka hanya berbeda tiga tahun, makanya mereka selalu cocok dalam hal apapun. Sialnya pada sampai hari ini Hira masih saja tidak bisa mengendalikan hatinya untuk tidak menyukai Harsa. Kenapa harus begini? kenapa harus selalu Hera?kapan Hira punya orang seperti Harsa? Atau kapan Bunga berhenti memuji Hera dengan berlebihan?
Makan malam bersama Harsa dan Hera memang tidak pernah menyenangkan. Terlebih karna adanya satu kabar bahagia dimana sebentar lagi pasangan serasi ini akan tunangan. Hira akan terima seandainya saja ada yang mengajaknya untuk mendaki gunung Bromo jika hari itu tiba. Supaya Hira tidak perlu ada dirumah. Tuhan seakan menyiksanya dengan selalu saja membuatnya harus bertemu dengan harsa padahal sudah susah payah ia menjauh.
"nanti konsep resepsinya mau seperti apa"? tanya Bunga di sela-sela makannya. Di saat-saat seperti ini Hira rasanya rindu ayahnya. Karna memang cuma ayah yang selalu membanggakan Hira.
"belum tau bu, masih di pikir-pikir" Hera menjawab. Tunangan saja belum, baru rencana, masa sudah bertanya soal konsep resepsi. Gerutu Hira dalam hati.
"Hira, kamu gak ada niat mau bawa pacar kamu kerumah"? sialnya Hira tidak punya, memang banyak yang mengajaknya berpacaran tapi dari mereka tidak ada yang membuat Hira tertarik. Tidak mungkin ia menarik sembarang pria untuk di bawa ke hadapan Bunga. Lagi pula kenapa ini harus dibahas? toh, Hira masih muda kuliah belum beres pekerjaan belum ada kenapa mau repot-repot pacaran?
"gak ada" jawab Hira tanpa minat, Harsa memang sudah biasa melihat Hira yang hanya akan diam saat makan.
"kenapa harus tanya Hira sih bu? dia kan masih anak-anak" kata Hera sembari tertawa kecil, Hera memang tidak pernah menyadari ya sikap enggannya Hira?
"nanti kalau kamu cari pacar cari yang seperti Harsa" lanjut Bunga lagi, memang sudah jadi kebiasaan dimana Bunga selalu menganggap Hira harus menjadikan Hera sebagai patokan. Kalau Hira mau sesuatu tapi Hera tidak bilang itu boleh atau bagus berarti memang Hira tidak akan punya kesempatan. Seakan Hira tidak tau caranya hidup atas pilihan sendiri. Dari sejak TK sampai kuliah Hira bahkan sekolah di tempat yang sama dengan Hera
Lalu soal pacar, Hira juga harus mengikuti hera?
"Harsa kan______
Hira meletakkan sendok dan garpunya cukup keras, menimbulkan suara yang tiba-tiba membuat Bunga berhenti berceloteh soal keunggulan Harsa dan Hera
"aku kenyang" kata Hira lalu bergegas meninggalkan ruang makan
Harsa yang melihat itu tidak mengatakan apapun. Mungkin mood Hira memang sedang tidak baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
FEEL BLUE
ChickLitDia itu seperti air, aku tidak bisa tanpanya, tapi juga bisa mati karenanya.