"mau kemana?" Cerelia mengernyit mendapati Hira sudah rapi. Mungkin bisa dibilang, sejak hampir sebulan belakangan ini Hira sudah tidak pernah keluar dari apartment. Apartment Cerel yang ia berikan kepada Hira untuk gadis itu tinggali. Sementara ia kembali ke rumah orang tuanya.
Cerel tidak bisa membantu banyak. Sebulan belakangan sudah ia saksikan sendiri bagaimana hancurnya Hira. Ia bahkan mengganti ponselnya agar tidak ada kenangan disana. Maka, demi agar Hira mengerti ia sangat bersimpati, Cerel memintanya tinggal di apartment nya sampai kapan pun Hira mau.
"Ke rumah sakit" Hira merapikan blazernya kemudian duduk di samping Cerel, yang pagi ini mampir mengambil beberapa barang yang tertinggal.
"Siapa yang sakit? Lo sakit?" Cerel tidak akan kaget jika itu benar. Melihat pola hidup Hira yang makan hanya ketika ingat, tidur hanya karena ketiduran, tidak pernah olahraga bahkan tidak keluar untuk sekedar kuliah.
"Ibu" jawab Hira lesu, selama hampir sebulan ini. Ia tidak melakukan komunikasi apapun dengan keluarganya. Tidak Bunga, tidak Hera dan tentu tidak juga Harsa. Hanya Fiona yang rutin menanyakan kabarnya melalui sosial media karena Hira sengaja tidak membagi nomor telpon barunya pada siapa-siapa.
Fiona mengiriminya pesan semalam kalau Bunga masuk rumah sakit karena kurang istirahat. Hira tidak mengerti kenapa dia kurang istirahat padahal Bunga tidak mengerjakan apapun yang berat-berat dirumah, dia juga tidak bekerja karena ayah meninggalkan banyak warisan. Atas permohonan Fiona, Hira akan menyempatkan diri untuk datang menemui Bunga sebelum menemui Dheana yang juga sudah lama ingin menemuinya tapi Hira tolak.
"Hira, kalau gue boleh usul, nyokap lo enggak salah. Lo mungkin marah karena dia rahasiain ini, tapi posisinya ibu lo enggak salah. Dia udah tua Hira, udah berapa lama lo enggak ketemu dia coba?" Terakhir kali bulan lalu dirumah sakit, Hira menemani dalam diam selama dua hari.
"Gue masih kecewa, ibu tau tapi diem aja." Ucap Hira menatap lurus tv di depannya.
"Dia mau ngomong Hira, tapi bingung caranya gimana. Apalagi yang terlibat dua anaknya. Dia mau belain siapa?" Hira tidak menjawab. Tapi sampai detik ini, Hira masih percaya pada pikirannya sendiri.
Kalau Bunga memang menyayangi kedua anaknya sama rata, kenapa menyembunyikan kebusukan Hera? Kenapa membiarkannya tersakiti? Kalau memang dia tau, kenapa tidak memberitahukan padanya dan mereka bisa bicara bersama. Kenapa harus di rahasiakan darinya? Dia memang sangat menyayangi Hera tentu saja.
____
Hira tiba dirumah sakit dan langsung bertemu Fiona, sepupunya itu memeluknya erat karena juga sudah lama tidak berjumpa. Ia mengerti perasaan Hira yang rumah tangganya justru di hancurkan oleh kakak sendiri.
Hira duduk di sofa ruang rawat Bunga, yang kini nampak terbaring tidak jauh di depannya.
"Dokter bilang kelelahan, asma nya juga jadi sering banget kambuh." Ujar Fiona menjelaskan kondisi Bunga.
"Hira?" Hira menoleh, menatap Fiona yang duduk tepat di sampingnya.
"Kamu jangan kemana-mana dulu sampai ibu bangun, bisa?" Sebenarnya tidak, karena Dheana juga meminta bertemu dengannya hari ini. Namun, Hira akan sempatkan untuk beberapa menit. Hira tidak bisa bohong, dia masih marah dengan apa yang terjadi.
Namun, Hira benar disana hingga Bunga bangun. Ia memeluk Hira erat selama beberapa menit, menanyakan banyak hal yang tidak semuanya Hira jawab, memintanya pulang untuk bicara tapi Hira bilang belum siap.
Sampai akhirnya Hera datang, ia sempat bertemu pandang dengan Hira namun hanya beberapa detik. Kemudian mendekat pada Bunga dan menanyakan keadaannya.
Hira memilih menepi, ia keluar dan duduk di kursi panjang dekat ruangan Bunga. Beberapa menit disana, hingga Hera datang bergabung duduk di sampingnya.
"Kamu tinggal dimana sekarang? Ibu khawatir karena kamu enggak pulang." Hera berucap lebih dulu, apalagi Hira nampaknya bahkan tidak sudi untuk sekedar melihat kearahnya.
"Aku baik-baik aja" Hira menjawab cuek.
"Aku enggak mengambil apapun dari kamu Hira" ucapan Hera tiba-tiba dengan nada nya yang terdengar lebih tegas.
"Aku sama mas Harsa ngelakuin ini sebelum kita lamaran resmi waktu itu, ini anaknya dan dia memang harus tanggu jawab" Hira mengangguk, ia membenarkan itu. Hera memang tidak mengambil apapun darinya. Memang dari awal, Harsa itu adalah miliknya. Mereka saling memiliki hingga sebentar lagi mereka akan punya anak.
"Terus kenapa waktu itu kabur? Harusnya mbak ngerti dong, kalau mbak memang punya potensi untuk hamil setelah berhubungan itu" Hira memberanikan diri untuk bertanya.
"Ya karena aku belum siap buat nikah, lagi pula ini terjadi juga karena Harsa maksa." Harsa memaksa, dia memaksa Hera untuk melakukan hubungan sebelum menikah begitu?
"Selama ini mas Harsa masih tinggal dirumah kalian, dia cuma ke aku beberapa kali, kalau aku minta sesuatu, atau butuh sesuatu, mas Harsa pasti datang. Tapi Hira, aku enggak bisa besarin anak ini sendirian, mas Harsa ayahnya, aku minta maaf, aku egois, tapi dari awal, mas Harsa harusnya sama aku kan? Aku salah karena aku kabur, tapi___
"Mbak!" Hira memotong ucapan panjang Hera dengan satu kali bentakan.
"Mending kamu urus surat perceraian kamu secepatnya, dan tolong bilang ke mas Harsa untuk enggak kaya gini ke aku!" Tapi Hera tidak tinggal diam, ia kembali bersuara dengan nada tegas yang sama.
"Soal perceraian, itu pasti mbak. Tapi soal sikap mas Harsa ke mbak, itu bukan urusan aku." Ucap Hira lalu mengambil tasnya dan bergegas pergi dari sana. Dheana mengiriminya pesan dan mengatakan dia sudah di lokasi yang mereka pilih untuk bertemu dan berbicara.
Hera meminta maaf, tapi entah kenapa ia tidak merasakan rasa bersalah Hera. Permintaan maaf itu hanya formalitas, itu tidak tulus. Hira tau.
Hira menangis bertepatan dengan terbukanya lift, bersamaan dengan adanya Harsa yang kini berhadapan dengannya. Hira segera membuang pandangan, melangkah pasti keluar lift menghiraukan keberadaan Harsa.
Ia baru akan memasuki mobilnya saat Harsa justru menahan tangannya. Ia ternyata mengikuti Hira hingga parkiran rumah sakit yang sedang lenggang di jam sembilan pagi.
"Saya rasa cukup bagi kamu untuk lari Hira, saya juga punya hak untuk bicara." Harsa berucap tajam, tangannya memegang erat pergelangan tangan Hira.
"Membicarakan apa? Soal kamu dan mbak Hera yang sex before married? Or what?" Hira menjawab sarkas, menatap tajam Harsa dan melepaskan tangannya secara paksa.
"Hira___
"Aku udah daftarin surat perceraian kita ke pengadilan, dan sebentar lagi surat itu pasti akan sampai ke kamu" Harsa mengepalkan tangannya mendengar itu. Harsa tau ia harus tanggung jawab pada apa yang terjadi pada Hera, namun tidak bisa di pungkiri, Harsa juga tidak mau melepaskan Hira. Dia mencintai Hira, bukan lagi Hera.
"Saya salah, kita___
"Dasar brengsek, kenapa harus maksa mbak Hera buat ngelakuin itu?!" Hira membentak Harsa yang kini menatapnya kebingungan.
"Memaksa apa? Hira kamu harus tau kalau dalam hubungan itu enggak pernah ada pemaksaan, itu terjadi karena keinginan kita berdua" Hira sakit hati mendengarnya, padahal dari dulu juga dia sudah tau kalau Harsa dan Hera memang pernah menginap bersama. Dirumah yang pernah ia tinggali bersama Harsa.
Harsa masih mengingat dengan jelas, bahwa kejadian itu terjadi atas dasar kemauan bersama, tidak pernah ada pemaksaan.
"Hera bilang ke kamu kalau saya memaksa dia?" Kalau iya, Hera benar-benar sangat keterlaluan.
"Mas, silahkan urus urusan kamu sendiri, kita udah udah enggak ada hubungan apapun mulai sekarang!" Hira memasuki mobilnya dan bergegas pergi dari sana.
Harsa melihat itu dengan sedih yang tidak bisa ia tahan, ia rindu Hira dan kebersamaan mereka. Namun semuanya sirna karena kebodohannya sendiri.
Pria itu mengambil ponselnya dari sakunya, mendial nomor asisten pribadinya.
"Saya punya pekerjaan penting buat kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
FEEL BLUE
ChickLitDia itu seperti air, aku tidak bisa tanpanya, tapi juga bisa mati karenanya.