HIRA.10

20.1K 1.2K 11
                                    

Pukul delapan pagi, Hira terbangun dengan keadaan kosong. Sisi tempat tidur di sampingnya tentu sudah kosong karena si pemilik sudah ke kantor. Bukan tanpa alasan, Hira sengaja bangun terlambat meski ia tau Harsa akan berangkat bekerja. Seperti katanya, Hira sebaiknya tidak usah repot-repot. Kenapa ia harus mengurus Harsa atau menjadi istri baik kalau Harsa saja tidak mau? Harusnya ia melakukan itu dari awal. Tidak usah sok mengurus Harsa.

Pria itu sempat membangunkan Hira bertanya apakah ingin ke kampus, Hira dengar dan memilih pura-pura tidur. Tidak masalah ia bolos kelasnya hari ini. Karena kuliah dengan mood yang berantakan itu tidak menyenangkan. Hira ragu dia akan fokus pada pelajaran

Setelah menghabiskan semalam suntuk untuk berfikir meski ada Harsa di sebelahnya, Hira menerima. Ia akan menerima sikap Harsa yang tidak ingin di ganggu itu. Mulai sekarang Hira juga akan berhenti. Ia hanya perlu fokus pada dirinya sendiri mulai sekarang. Pernikahan ini bukan yang diinginkan, ia hanya pengganti dan mereka berdua hanya bertugas untuk menyelamatkan wajah keluarga. Jadi jangan kaget jika suatu hari nanti mereka akan bercerai. Tidak apa, Hira akan mempersiapkan diri mulai sekarang.

Rambut Hira masih agak basah saat ia turun ke dapur. masih ada sisa sup daging yang semalam susah payah ia buat. Melihat itu emosi Hira rasanya kembali. Ia juga ingat kalimat Harsa semalam yang jujur saja seperti terngiang-ngiang di kepalanya. Hira mengambil mangkok kaca itu, membuang isinya ke tempat sampah dekat pintu belakang dapur. Sayang sekali, padahal dirinya tulus dan bersusah payah.

Dasar Harsa menyebalkan! Dia membuat Hira harus buang-buang makanan. Tapi mau bagaimana? Hira sudah tidak sanggup memakannya, jangankan makan. Lihat juga sudah tidak bisa

Bell berbunyi, Hira melirik pada jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh.

Dengan langkah malas Hira berjalan menuju pintu utama, menemukan pria dengan kardus besar di sampingnya.

"Paket atas nama Hera lavani"

"Apa?!"

Kurir itu tersentak kecil mendengar keterkejutan Hira, tapi bagaimana caranya dia tidak terkejut? Hera? Paket?

"Bapak gak salah alamat?" Nama Hera lavani jelas tidak hanya satu kan? Tidak mungkin Hera yang ia kenal adalah satu-satunya kan?

"Gak mbak, ini sudah benar alamatnya. Saya udah telpon dari beberapa hari lalu tapi gak aktif" Hira melirik kardus besar yang entah apa isinya itu. Tentu dia penasaran. Maka tanpa banyak kata, Hira menerima paket itu setelah membubuhkan tanda tangannya juga.

Dalam ruang tamu rumah Harsa, gadis itu berdiri dengan tangan melipat di dada. Sudah lebih dari lima menit ia memandangi kardus di depannya. Hira tau itu apa tanpa harus membukanya.

Itu sebuah nakas, nakas yang entah akan di letakkan di kamar mana, dari salah satu toko furniture terbesar Indonesia

Pertanyaannya adalah, kenapa Hera mengirim paket ini kerumah ini? Maksudnya apa? Kenapa bisa Hera juga tau rumah ini? Ada sekelebat pikiran yang berusaha Hira tepis. Ia sudah cukup sakit hati dengan sikap Harsa belakangan, dan apakah itu belum cukup? Hira benci dengan kejutan.

________

Pukul tujuh malam, tidak seperti biasanya Harsa sudah pulang. Hira sedang di dapur membuat segelas teh saat Harsa juga menghampiri meja makan dan mengambil air minum diatas meja. Tidak ada yang menyapa, dari dulu juga bukannya Hira memang sudah tidak akrab lagi dengan Harsa? Kenapa sekarang Hira harus repot-repot? Biarkan saja seperti dulu agar nantinya juga Hira tidak terlalu kecewa kalau-kalau dia dan Harsa bercerai nanti.

Namun mengenai paket itu, Hira jadi penasaran. Apakah dugaannya soal ini adalah benar? Ia perlu tau dan lihat sendiri bagaimana reaksi Harsa

"Ada paket" jeda, Hira memerhatikan Harsa yang meletakkan gelas bekasnya ke wastafel lalu beralih menatapnya dengan tanya

"dari mbak Hera" tidak usah kacamata atau ilmu tinggi, Hira jelas melihat bagaimana mata tenang itu membulat.

Oh, ternyata seperti ini bagaimana orang tenang ketika terkejut. Matanya memancarkan kaget yang sama namun Harsa masih dapat mengendalikan dirinya dengan baik.

"Kamu..sudah buka paketnya?" Harsa lupa mengantisipasi adanya kejadian begini, ia dan Hera memang masih menunggu kiriman barang lain yang masih dalam perjalanan untuk mengisi kelengkapan rumah ini.

Sementara Hira? Dalam hati ia mengumpat. Pertanyaan macam apa itu? Bukankah harusnya Harsa memberi kalimat penjelasan? Misalnya mengenai kenapa Hera mengirim sebuah nakas kerumah ini?

"Itu bukan paket aku, jadi aku gak akan buka" jika Harsa bisa setenang itu, maka Hira juga harus.

"Saya mandi dulu" ya, Harsa sadar bahwa apa yang ia lakukan memang salah. Ia yakin Hira tidak akan marah seandainya ia jujur mengenai Hera dan rumah ini atau alasan kenapa Harsa mengajak Hira tinggal disini. Komunikasi menjadi salah satu kunci dari hubungan yang berhasil. Harsa tidak pernah berniat untuk bermain, meski ia marah dan kecewa dengan sikap Hera, Hira tentu tidak tau apapun. Kesalahan selanjutnya adalah, saat dia memilih menghindar meski ia tau tanda tanya besar sudah bertengker di kepala Hira.

Sementara Hira masih bergeming, ia membiarkan Harsa pergi dari sana. Hira tidak akan menuntut apapun. Diawal ia hanya memikirkan Bunga dan nama baik keluarga saat Hira memutuskan untuk menikah dengan Harsa. Sayangnya, Hira lupa mempertimbangkan dampak dari apa yang ia lakukan. Nama baiknya rasanya ikut tercoreng, apa yang dilakukan Hera justru harus di tanggung olehnya. Semua hinaan dan sindiran dari kedua keluarga hanya salah satu.

Lalu, dia harus bagaimana sekarang?

___________

Harsa menghindar, Hira tau pria itu hanya beralasan ingin menyelesaikan pekerjaan. Nyatanya dia tidak punya jawaban atau mungkin belum siap menjawab jika saja Hira bertanya mengenai paket itu. Harsa memang terkejut, tapi hanya sebatas itu. Selebihnya Hira yakin Harsa sudah tau hal ini akan terjadi.

Pukul sebelas malam, Hira yang memang tidak bisa tidur memutuskan ke dapur dan meminum segelas air dingin. Mungkin dengan itu kepala dan hatinya bisa ikut dingin.

Bersamaan dengan itu, Harsa juga muncul. Ekspresinya biasa saja saat menemukan Hira berdiri dengan gelas di tangannya.

"Kenapa belum tidur?" dari tadi pertanyaan Harsa kenapa menyebalkan semua?

Hira diam. jujur saja rasa marah itu masih ada. Soal sup daging sialan yang menyebabkan dirinya harus instrospeksi diri habis-habisan. Lalu si paket menyebalkan yang ikut-ikutan muncul membuatnya susah untuk mengembalikan moodnya. Andai saja Sera dan Cerelia tidak sibuk, mungkin sekarang Hira sudah duduk manis di meja bar club' langganan.

Hira ingin sekali bertanya namun susah payah ia menahan. Harsa tidak ingin didekati. Hira menanamkan itu di kepalanya melafalkannya berulang-ulang dalam hati agar ia tidak goyah. Hira meletakkan gelasnya di wastafel lalu pergi begitu saja mengabaikan Harsa, demi hatinya sendiri Hira akan mulai siap-siap dari sekarang semisal Hera akan kembali.

"Hira" langkah gadis itu terhenti, hanya dengan satu kali Harsa menyebut namanya. Hira membiarkan Harsa menatapnya tepat di mata.

"Jangan pakai baju begitu kalau mau keluar kamar" alis Hira terangkat. Well, kebiasaan memang sulit diubah. Itu juga terjadi pada Hira dimana ia merasa sangat nyaman mengenakan kaos kebesaran saat dirumah. Baju itu hanya menutupi sedikit paha Hira yang memang mengenakan celana super pendek di bawahnya.

"Kenapa emang?" Tidak ada yang salah, kenapa Harsa harus melarangnya?

"Terlalu pendek" kata Harsa, seperti tanpa nada.

Hira sungguh tidak suka jika penampilannya di kritik. Tapi karena itu adalah Harsa, baiklah dia akan memilih menghiraukan saja.

Hira tidak menjawab, ia berbalik melanjutkan langkah namun kembali berhenti karena ucapan Harsa lagi. Yang ini terdengar jauh lebih serius dari sebelumnya.

"Apalagi saya laki-laki Hira. Kamu memakai baju sependek itu di depan saya, apa kamu gak takut?"

FEEL BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang