Dua hari setelahnya, Harsa dan Hira akhirnya pindah. Tapi anehnya adalah, mereka langsung pindah saja, tanpa membeli barang apapun terlebih dahulu. Bahkan Hira hanya membawa baju-baju dan peralatan-peralatannya saja, Hira bahkan melihat Harsa hanya membawa sedikit baju.
Sampai di rumah yang Harsa maksud, kebingungan Hira terjawab karna ternyata rumah itu lengkap. Rumah itu sudah diisi dengan sangat lengkap bahkan di dapur pun sudah ada beraneka ragam bumbu untuk masak
Hira jadi penasaran, kapan Harsa menyiapkan semua ini? apakah pria itu terkadang pulang malam dan masuk kerja di hari libur adalah karna ini?
"Mas Harsa kapan nyiapin semua ini?" Harsa yang sedang membuka penutup sofa agar terlindung dari debu-menoleh sekilas
"Belum lama, biar bisa langsung di tempati" bohongnya, dan Hira tentu tidak menyadari itu. Yang ada sekarang ia senang karna itu berarti dia tidak perlu repot-repot walau sempat Hira berfikir memilih perabotan rumah dengan Harsa mungkin menyenangkan.
Hira berjalan kearah dapur yang berhadapan langsung dengan ruang tengah rumah, disana juga ada tv yang lumayan besar. Gadis itu membuka kulkas, terkejut menemukan kulkas sudah penuh dan rapi dengan segala macam bahan bahkan ice cream juga ada
Harsa pasti menyiapkan ini matang-matang karna begitu lengkap dan rapih. Hira saja belum tentu bisa melakukan ini.
"Mending kamu mandi" Harsa agak takut Hira curiga, karna memang sudah sempurna. Ia dan Hera menyiapkan ini beberapa bulan sebelum menikah. Bahkan pernah bermalam disini beberapa kali.
"Iya, mas mau makan apa nanti malam?" Jam yang melingkar di pergelangan tangan Hira sudah menunjukkan pukul tujuh, biasanya jam segini di rumah orang tua Harsa, dirinya dan Dheana sudah masak menyiapkan makan malam.
"Apa saja" Harsa tidak ingin menyusahkan Hira, sekarang saja Harsa sedang merasa bersalah karna telah berbohong. Ini masih terlalu awal.
"Oke, aku mandi dulu"
_________
Hira memasak sup ayam dan perkedel kentang, sebenarnya malam ini Hira bingung mau masak apa karna biasanya Dheana yang berfikir soal menu. Tapi setelah diingat lagi, Harsa tidak pernah protes soal menu makan malam. Dheana juga bilang begitu, katanya Harsa sama seperti ayahnya yang tidak rewel soal makanan
"Mas, aku boleh masuk kuliah besok?" seperti Harsa yang sudah mulai bekerja di dua hari selepas mereka menikah, Hira juga merasa ia sudah boleh, toh mereka sudah libur lama.
"Silahkan" entahlah. Hira tidak tau apakah Harsa memang pendiam saat makan atau bagaimana, Hira jadi kesal karna responnya hanya sebatas itu, membuat Hira harus susah payah berfikir kiranya apa yang harus di bahas.
Apakah harus begini terus?
Hira memilih diam, kehabisan bahan bicara karna sejak di perjalanan tadi Hira terus yang berusaha mengajak Harsa bicara. Apalagi jawaban Harsa tadi benar-benar membuat Hira kehilangan semangat untuk bicara
"Hira" Harsa sudah menghabiskan makannya, lumayan enak. Dan dari sini satu lagi yang membedakan Hira dan Hera, Hera selalu masak menu western untuk mereka. Beda dengan Hira yang menu khas rumahan.
Dan Harsa benar-benar harus berhenti membandingkan keduanya
Menanggapi panggilan Harsa, Hira hanya menoleh sekilas.
"Kamu gak perlu terlalu merasa di bebani dengan pernikahan ini" Hira menautkan alis
"Kamu masih muda, masih kuliah. Saya gak akan membatasi pergaulan kamu selama kamu tau batas" padahal Hira maunya di larang, Hira mau Harsa memberinya peraturan.
"Kamu masih bebas" Hira menunduk, sepertinya memang pernikahan ini tidak berpengaruh apapun untuk Harsa.
"Kamu gak harus selalu melayani saya, menyiapkan makanan atau memasak. Kita masih bisa pesan" Harsa jadi banyak bicara sekarang, tidak peduli Hira bungkam di tempatnya.
"Sabtu minggu akan ada orang yang datang untuk beres-beres rumah. Jadi kamu gak usah repot-repot" itu tugas istri, itu semua adalah tugas istri. Apakah Hira salah kalau dia mencoba menjadi istri yang baik dengan melakukan semua itu?
"Fokus pada kuliah kamu" sambung Harsa lagi, Hira meletakkan sendok dan garpunya. Selera makannya menguap entah kemana
"Jadi aku juga boleh pacaran?" Harsa terdiam dengan menatap Hira lurus tepat di bola mata
"Kenapa____
"Kamu bilang aku bebas kan, omongan kamu barusan secara gak langsung udah minta aku untuk gak perlu bersikap sebagai seorang istri" mata Hira terasa panas, namun sekuat tenaga ia menahan. Hira tidak mau menangis di depan Harsa.
Ini bahkan belum sehari mereka tinggal berdua tapi Hira sudah merasa sakit hati
Bagaimana kedepannya?
"Saya bilang asal kamu tau batas____
"Batas apa? Bukanya bebas itu ya tanpa batas?" Hira memotong ucapan Harsa lagi. Jika saja di depannya ini Hera, Harsa mungkin akan langsung meminta maaf karna telah membuatnya tersinggung.
"Mas juga bebas, oh astaga" Hira tertawa hambar, mendongakkan kepalanya sebentar menghalau air mata yang ingin turun.
"Selama kita nikah kamu kan juga udah bebas ya, aku gak tau kamu kerja dimana, kenapa pulang malam atau kenapa lembur, atau mungkin kenapa kamu tetap masuk kerja di hari libur. Aku gak tau karna aku gak berhak tau" kata Hira panjang, tapi sungguh bukan seperti itu maksud Harsa. Ia hanya tidak mau Hira kerepotan karna juga harus kuliah, Harsa tidak cerita memang karna dia belum terbiasa dan berfikir mungkin Hira tidak ingin tau.
"Hira jangan kekanakan!" tegas Harsa dengan nada tajam
"Kamu boleh pacaran kalau memang kamu udah gak waras, pacaran disaat kamu punya suami" Hira mengumpat dalam hati, Harsa ingin di dengar tapi tidak mau mendengar.
"Aku kenakan" Hira mengulang kalimat Harsa lalu berdiri
"Mas, aku bukan Hera. Tolong tanam itu di kepala kamu baik-baik. Aku tau nikah sama aku bukan hal yang kamu inginkan dan aku juga sama. Kita sama, kita sama-sama menyelamatkan keluarga" Harsa terdiam, dalam hati ia bertanya apakah Hira begitu terluka mendengar kalimat-kalimatnya tadi?
Selepas mengatakan itu Hira naik ke lantai atas, ia tidak masuk ke kamarnya dan Harsa melainkan masuk ke kamar lain. Bahkan Hira sudah ada rencana untuk mengambil barang-barangnya untuk di pindahkan disini.
Jika Harsa mau ia tidak bersikap layaknya istri dan tidak meninggalkan kebebasan, maka Hira akan turuti. Hira hanya mencoba untuk bersikap baik. Tapi bagaimana itu akan terwujud kalau Harsa saja masih tidak menerimanya?
Di dalam kamar, Hira membekap mulutnya dan menangis. Selama ia menyukai Harsa, Hira baru menangis dua kali.
Satu saat ia tau Harsa dan Hera ternyata pacaran, dua saat ia tau Harsa dan Hira akan menikah. Dan tiga adalah hari ini, saat ia tau Harsa sama sekali tidak menginginkannya.
Lalu untuk apa pria itu memohon mengajaknya menikah? Hira menepuk dahinya pelan, dengan air mata yang terus mengalir ia tersadarkan, tentu Harsa melalukan itu untuk apa lagi kalau bukan demi keluarganya?
KAMU SEDANG MEMBACA
FEEL BLUE
ChickLitDia itu seperti air, aku tidak bisa tanpanya, tapi juga bisa mati karenanya.