HIRA.39

14.2K 1.1K 25
                                    

Harsa adalah anak tunggal, dan tentu saja. Cucu hanya akan berasal darinya. Namun selama ini, Dheana atau Prayoga tidak pernah membahas soal anak diantara mereka. Terutama Dheana, dia bahkan tidak pernah bertanya hal-hal yang mengarah kesana. Entah memang dia mencoba menjaga perasaannya atau karena memang tidak ada paksaan untuk itu. Hira tidak tau dan dia sebenarnya baru menyadari itu.

Sebagai perempuan yang sudah menikah, terlebih setelah ucapan Riska kemarin membuat Hira agak kepikiran. Tidak. Bukan agak kepikiran, ia memang kepikiran.

Hingga itu berdampak pada moodnya yang menjadi berantakan dan semakin berantakan ketika tanpa sengaja dirumah sakit, di dalam ruangan Hera yang terlelap dan saat Bunga di toilet-, Riska mempertanyakan pada Dheana mengapa Hira belum juga hamil.

Pada dasarnya, Dheana memang orang yang baik. Hingga pertanyaan tiba-tiba itu di jawab Dheana hanya dengan kalimat lumayan panjang.

Anak adalah anugerah, tidak semua orang dapat. Dapat pun pasti membutuhkan waktu, jikapun memang belum, berarti memang belum waktunya. Jika kelak diberi kepercayaan, maka syukurlah.

Itu jawaban Dheana, kalau jawaban Harsa ia tidak tau karena tidak pernah bertanya.

"Mbak, minum dulu." Ini sudah hari ketiga Hera di rumah sakit, Hira membantunya minum menggunakan sedotan. Hera masih lemah, masih perlu di paksa makan dan minum obat. Juga masih sangat sensitif. Hera mudah sekali marah akhir-akhir ini.

"Ibu mana?" Tanyanya, ketika Hera mendapati hanya ada Hira di ruangannya.

"Pulang sebentar, di temenin Fiona." Kemudian hening lagi, Hira bingung mau mengobrol apa. Dia mau, tapi sudah di bilang, Hera gampang marah belakangan ini.

"Mbak, kamu... masih marah?" Hera yang berbaring menolehkan kepalanya pada Hira.

"Marah ke siapa?" Hera sadar sebenarnya, tapi ia tidak bisa mengontrol itu. Ia sedih, tapi juga sangat marah. Bahkan untuk hal yang tidak jelas

"Pada apapun yang membuat mbak menolak anak mbak sendiri" Hera terdiam lagi, matanya tidak lagi menatap pada Hira.

"Aku takut enggak bisa ngerawat anak ini sendirian" Hera mengucapkannya sembari membiarkan air matanya mengalir.

"Kamu enggak sendiri mbak, mau berapa kali di ulangi? Aku, ibu, sama Fiona. Kita semua di samping kamu. Mbak aja yang enggak mau lihat itu." Hira khawatir, anak dalam perut Hera lahir prematur karena ibunya tidak memenuhi kebutuhannya. Bahkan untuk sekedar makan saja, Hera harus di paksa.

"Aku..malu, sama kamu. Sama ibu." Berat rasanya membuka diri bahkan ketika Hira adalah adiknya. Hera sudah merasa tidak pantas untuk itu, ia khawatir Hira menganggapnya hanya minta di kasihani.

"Aku mau terima keponakan aku mbak, karena itu anak kamu. Kalau Reza enggak mau tanggung jawab, bukan mbak yang salah. Tapi dia yang brengsek." Hira membalas dengan nada tajam untuk kalimat terakhirnya.

"Gimana kalau nanti dia lahir, dia nanya soal ayahnya. Aku harus jawab apa?" Hera semakin menangis. Anak ini bahkan belum lahir, tapi pikiran Hera sudah jauh sampai sana. Fase itu pasti ada, suatu saat dia memang pasti akan bertanya. Tapi itu bisa nanti kan? Siapa tau di masa depan Hera bertemu dengan pria baik hati yang mau menerima Hera juga anaknya.

"Kalau mbak sayangi dia sepenuh hati, aku, ibu, Fiona. Maka dia enggak butuh ayah." Ujar Hira. Dia janji keponakannya tidak akan kekurangan kasih sayang.

"Mbak minta maaf, mbak bingung waktu itu. Gak tau harus gimana__

Hira beranjak dari duduknya, memeluk Hera yang semakin menangis, ia mengecup kepala Hera sembari ikut menangis. Ia ikut sedih atas apa yang terjadi.

FEEL BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang