HIRA.11

18.9K 1.1K 3
                                    

Hira sudah pernah mengatakan di awal bahwa dia mulai menjauh dari Harsa semenjak pria itu menjalin hubungan dengan Hera. Hira juga tidak pernah bertanya dan peduli pada hubungan Harsa dan Hera. Apa saja yang mereka lakukan atau bagaimana gaya pacaran mereka atau soal kesibukan Harsa selama ini, Hira sudah menolak untuk tau. Hira akui ia bodoh, bisa-bisanya menyukai Harsa bertahun-tahun seolah hanya Harsa saja pria di bumi ini.

Itu juga yang mengakibatkan Hira buta akan pekerjaan Harsa, yang ia tau Harsa itu dosen entah di kampus mana tapi perusahaan keluarganya juga menjadikan Harsa sebagai wakil direktur disana. Wakil ayahnya sendiri. Itu yang Bunga pernah cerita yang hanya Hira anggap angin lalu

Pagi-pagi sekali, rumah sudah kosong. Entah Harsa berangkat jam berapa karena ia sudah tidak dirumah sejak Hira terbangun dan mengenakan pakaian rapih untuk kuliah

Di ruang tengah, paket itu masih disana. Masih terbungkus dengan rapi. Sepertinya Harsa belum mengecek isinya.

Penasaran, Hira mendekat dan membuka paket itu dengan kasar. Menarik plastik pembungkus paket itu seolah sedang menarik rambut Harsa yang menyebalkan itu

Ya, sebuah furniture. Entah akan di letakkan dimana atau pilihan siapa yang jelas modelnya pasaran sekali. Hira menendangnya pelan lalu berdecih.

"Harsa bego" Hira merasa, kehadiran Hera dirumah ini benar-benar sangat terasa. Awal masuk kerumah ini Hira belum detail memperhatikan semuanya hingga baru sadar sekarang kalau ternyata semua barang, desain bahkan pilihan warna pada setiap tembok itu benar-benar menggambarkan Hera sekali.

Hira mengenal Hera hampir seumur hidup, Hera itu orang yang terbuka. Ia telah dan sering menceritakan kesukaan kesedihan bahkan masalahnya pada Hira. Makanya Hira hafal dan ingat betul apa-apa saja yang kakaknya itu suka dan gemari. Semua itu, dapat di temukan di rumah ini.

Lalu, Hira harus bagaimana agar rasa penasaran ini bisa terpuaskan? Hira harus bagaimana agar kecurigaan ini bisa terbuktikan?

Hira memutuskan keluar rumah, berdiri menatap halaman yang tidak terlalu luas sejenak, ia berfikir apa yang baiknya ia lakukan agar pikiran-pikiran mengenai Hera bisa enyah dari kepalanya?

Menatap layar ponselnya yang menunjuk angka sembilan, Hira rasanya akan mati kebosanan jika tetap berada dirumah ini sendirian. Maka Hira memutuskan mengambil tas dan kunci mobilnya, membuka pagar rumah yang berat itu saat salah satu tetangga menyapanya

"Mbak yang tinggal sama mas Harsa ya?" Hira sebenarnya bukan orang yang nyaman mengobrol dengan orang asing. Termasuk pada wanita yang kiranya berusia tiga puluhan tahun ini, yang Hira tau tinggal di sebelah rumahnya-ralat-rumah Harsa

"Iya mbak" Hira memberi senyum, kembali mendorong pagar agar terlihat sibuk dan wanita di sebelahnya ini peka lalu pergi

"Kalo boleh tau, mbak siapanya mas Harsa?" Hira yang sedang membelakangi tetangganya itu memutar bola matanya, ternyata orang-orang disini punya tingkat kepo yang luar biasa. Dan apa tadi? Mas? Panggilan itu terdengar sok akrab di telinga Hira

"Saya istrinya mbak" dan Hira memilih mengaku, lagi pula bisa jadi masalah dan mbak-mbak di depannya ini akan berfikir macam-macam kalau Hira menjawab lain. Walaupun sebenarnya RT dan RW setempat sudah tau ia dan Harsa beserta hubungannya.

"Oh mbak istrinya?" Hira yang baru akan pamit agak heran melihat wanita di depannya ini terkejut

"I-ya, kenapa ya mbak?" Di kepala Hira sekarang sedang siaga satu, Hira seperti merasa ada sesuatu yang sebentar lagi akan membuatnya tidak nyaman.

"Saya kira bukan, soalnya mas Harsa dulu kenalin ke saya pacarnya lain. Waktu pantau pembangunan rumah ini juga ceweknya kalo gak salah namanya Hera. Saya akrab loh mbak sama dia" Hira tidak mau peduli akrab tidaknya mereka adalah sebuah informasi penting atau tidak, yang Hira tau kecurigaannya ternyata memang benar.

Hira tersenyum tipis, menyamarkan pancaran amarah di matanya agar mbak di depannya ini tidak curiga

"Mas Harsa sama pacarnya dulu sering kesini?" Wanita bernama ami itu mengangguk, rasanya hampir tiap hari memang ia melihat mereka.

"Malah, kayaknya mereka sering nginap bareng mbak" wow, Hira luar biasa tidak menyangka. Walau sebenarnya itu bukan masalah baginya. Toh, Harsa dan Hera atau hubungan mereka adalah bukan urusannya, seberapa mesra atau seberapa intimnya pun hubungan mereka. Yang membuat kepala Hira rasanya mendidih adalah, mengapa Harsa harus membawanya kemari? Dirumah yang harusnya milik mereka berdua a. k. a Hera Harsa? Dimana mungkin di setiap penjuru atau bahkan sudut rumah ini telah pernah mereka jadikan tempat bermesraan? Bisa jadi kan? Menginap berdua antara pria dan wanita terlebih mereka sepasang kekasih tidak mungkin hanya sebatas nonton film dan mengobrol kan? Memangnya mereka anak smp?

"Kalau gitu saya pamit mbak" Ami mengangguk lalu menyingkir dari sana, Hira rasanya ingin berterima kasih karena telah diberi informasi.

----------------

Lepas kelas pertama selesai, Hira segera menyusul Sera yang sudah lebih dulu duduk manis di salah satu meja kantin.

Perlu diketahui bahwa antara Hira dan Sera sudah nyaris tak ada rahasia, dan akhirnya itu menjadi kebiasaan. Hira atau Sera selalu tidak absen saling memberitahu masalah masing-masing atau curhat dari hati ke hati.

Beruntungnya juga, Sera itu dewasa. Hira tidak pernah sia-sia menceritakan masalahnya pada Sera yang selalu memberinya solusi sekaligus membantunya memusnahkan segala pikiran negatif dan asumsinya sendiri.

"Kenapa lo?" Kata Sera melihat Hira memasang ekspresi keras

"Baru berapa hari nikah udah tertekan aja lo gue liat" Hira membenarkan dalam hati, rasanya ia memang tertekan.

"Menurut lo, gue harus gimana setelah tau kalau ternyata rumah yang gue tinggalin sekarang harusnya di tempati mbak Hera dan mas harsa?" Sera yang sedang memakan seblak super pedas itu mengangkat pandangan menatap Hira, sebelah alisnya terangkat?

"Tau dari mana lo nyet?" Respon Sera

"Tetangga disana lumayan akrab sama mbak Hera dulu" wajar sih. Di bandingkan dia, Hera memang jauh lebih supel dan easy going. Mudah bagi Hera untuk mendapat teman di dukung public speaking Hera juga bagus. Maka wajar Hera punya teman di semua kalangan.

"Sebelumnya suami lo ada ngomong gitu?" Hira menggeleng, justru itu akar masalahnya. Kenapa Harsa tidak mengatakan apa-apa? Memangnya ia tidak peduli dengan perasaanya? Bahkan mengetahuinya dari orang lain sudah cukup membuat Hira sakit hati. Kali ini, entah bagaimana lagi cara Harsa menghindar.

"Pastiin dulu aja sama suami lo" mereka mengobrol dengan suara rendah, Sera masih ingat pesan Hira yang tidak ingin statusnya terbongkar

"Dia gak mau kasi tau, dia pasti bakal menghindar"

"Ya lo paksa. Cari caranya dong. Hubungan berhasil itu juga ada karena komunikasi" andai ini Hera mungkin akan mudah. Masalahnya, Hira perlu memaksa Harsa bagaimana? Mereka tidak dekat meski suami istri. Bagaimana mau komunikasi kalau Harsa saja tidak menerimanya sebagai istri? Bagaimana akan berhasil hubungan ini kalau hanya Hira yang cinta?

"Gue gak tau deh Ser, pusing" Hira mengusap wajahnya kasar. Andai bukan karena kedua keluarga, Hira sungguh lebih memilih menolak menikah dengan Harsa.

FEEL BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang