HIRA.42

19.5K 1.5K 29
                                    

Sebenarnya jam pulang Hira masih setengah jam lagi, tapi kedatangan Harsa yang memaksanya pulang membuat Hira terpaksa meminta izin pulang duluan. Sebenarnya juga, Harsa benar. Ia tidak perlu bekerja karena Harsa itu anak tunggal kaya raya. Tapi bekerja bagi Hira tidak hanya soal uang. Di kafe ia tidak merasa bosan karena banyak teman mengobrol disana. Ia belajar banyak hal yang dulunya bahkan tidak pernah ia lakukan. Meracik kopi dan menghiasnya misalnya.

"Kita boleh mampir ke apotik gak?" Harsa menolehkan kepalanya pada Hira beberapa detik

"Kamu sakit?" Hira menggeleng, ia menunjukkan room chat nya dan Fiona

"Fiona nitip obat pereda nyeri, dia lagi mens kali." Harsa tidak menjawab lagi, ia belokkan mobilnya kearah apotik yang dekat.

Hira batal turun karena Harsa menahan lengannya, ia mengambil tangan Hira dan memberinya kartu kredit.

Kartu kredit?

"Belinya pake cash mas harsa" info Hira, siapa tau Harsa tidak tau bahwa membeli dua butir obat saja ia biasanya pakai uang tunai.

"Iya saya tau, itu buat kamu." Hira menatap kartu platinum yang di berikan Harsa padanya. Dari kartu ini saja, Hira semakin sadar. Kaya sekali pasti pria ini.

"Bukannya selama ini kamu ngasihnya cash?" Iya, selama ini Harsa kalau memberinya uang selalu uang tunai atau transfer seperti pertama kali.

"Mulai sekarang berhenti kerja, kamu bisa beli apapun dengan itu, saya udah ngomong sama pemilik kafe tadi. Malam ini terakhir kamu kerja." Ucapan itu membuat Hira melongo, kapan? Kapan Harsa bertemu dengan pemilik kafe?

"Emang kenapa sih aku harus berhenti kerja?"

"Emang kenapa sih kamu harus kerja?" Hira mendengus, lalu segera turun setelah menatap sebal pada Harsa.

"Ke rumah ibu?" Harsa melajukan mobilnya menuju rumah Bunga. Ia menoleh menatap Harsa menunggu pria itu menjawab

"Ada tamu dirumah" jawab pria itu singkat, dan Hira tidak mengerti. Tamu agung mana yang datang sampai mereka juga harus turut menyambut?

Di halaman rumah Bunga ada satu mobil yang Hira tidak kenal, ia masuk lebih dulu dan menemukan semuanya berkumpul di ruang tamu.

Ada Hera, ada Bunga, juga Fiona yang duduk di sebelah Bunga. Dan satu pria asing yang menatap Hira beberapa lama tadi

"Duduk" Harsa menyusul masuk, mendorong pelan punggung Hira untuk ikut duduk. Hira duduk di sebelah Harsa, berhadapan dengan pria asing tadi.

"Hira..dia Reza" Hira melotot, ia berdiri dari duduknya dan merasa Hera menahan tangannya agar tidak mendekat maju pada Reza. Hera mengerti, raut jengkel pada wajah Hira jelas sekali.

"Jadi elo orangnya? Gila, gue pikir ganteng banget sampe sok-sokan gak mau tanggung jawab." Fiona hampir tertawa mendengarnya, tapi Bunga meliriknya tajam.

Reza yang di katai begitu tidak menjawab, ia menundukkan kepalanya.

"Duduk dulu Hira" Hira menuruti ucapan Bunga, ia kembali duduk di samping Harsa. Entah bagaimana cara Randy si asisten Harsa berhasil membawa Reza kesini.

"Saya...mau minta maaf secara pribadi, orang tua saya besok akan kesini." Kata Reza, dengan matanya yang menatap Hera dan Bunga secara bergantian. Ia sepertinya gugup karena wajahnya sekarang sedang berkeringat, padahal pendingin ruangan baru di ganti kemarin. Tidak mungkin dia kegerahan kan?

"Mbak mau nikah sama orang ini?" Hira tanpa takut menunjuk Reza, yang Harsa langsung menurunkan tangannya dan membawa tangan Hira ke pangkuannya.

Hera di tanya begitu, ia diam beberapa detik dan melirik pada Bunga. Reza datang beberapa menit lalu entah tau dari mana alamatnya, ia bersimpuh di bawah kaki Hera dan Bunga untuk meminta maaf. Ia mengaku menyesal dan tidak tenang.

"Kalo gak mau jangan di paksa mbak" Hira berucap lagi, ia tidak mau di masa depan ada kejadian tidak diinginkan karena Hera menikah dengan laki-laki yang tidak dia cintai.

"Tenang, kamu tenang." Harsa mengusap sepanjang punggung Hira pelan-pelan. Ia merasa Hira terlalu mendesak Hera

"Saya kabur karena saya gak tau mau ngapain, saya juga perlu memperbaiki hidup saya setelah di tinggal keluarga saya. Saya bersalah, tapi sekarang__

"Gak tau mau ngapain? Lo cuma mikirin diri lo sendiri? Lo gak mikirin keadaan mbak Hera gimana? Bagus keluarga lo pergi__

"Hira" Harsa kembali menegur, kali ini lebih tegas. Hira terpaksa memilih diam, ia melipat kedua tangannya di dada dan bersandar. Tatapan tajamnya tetap mengarah pada Reza

"Saya mau tanggung jawab__

"Karena sekarang kamu gak punya apa-apa dan siapa-siapa?" Hera tau niat busuknya, Reza sudah jatuh miskin bahkan tidak punya tempat tinggal. Mobil diluar itu adalah pinjaman temannya, itu yang di kabarkan asisten Harsa padanya. Kalau mereka menikah, hidupnya akan terjamin. Begitu?

"Lo mau manfaatin mbak gue nyet?" Tapi ternyata Hira tidak tahan untuk berdiam diri terlalu lama, Harsa sampai mencengkram paha Hira karena gemas sendiri melihat Hira tidak mau diam.

"Aku gak mau menikah dengan kamu atau siapapun saat ini, aku bisa besarin anak ini sendirian dengan keluarga aku. Tapi kamu tenang aja, dia pasti bakal tau ayahnya karena itu memang hak nya. Aku gak akan menutupi apapun." Reza kembali menunduk, niatnya ingin kembali yang memang tidak tulus ternyata sudah dibaca duluan oleh Hera. Dan pasti atas bantuan Harsa yang punya banyak koneksi ini, Reza menatap pada Harsa beberapa detik, tatapan yang di balas tanpa takut oleh Harsa.

"Nanti kalau dia udah lahir, kamu boleh jenguk dia kapanpun. Aku gak akan larang." Lalu Hera beranjak dari sana menuju kamarnya. Hira puas sekali mendengar jawaban Hera, ia ikut menyusul Hera sampai ke kamarnya. Memeluk kakaknya itu yang juga sedih mengetahui fakta bahwa kembalinya Reza tidak benar-benar karena ia ingin bertanggung jawab. Tidak karena dia merasa bersalah. Tapi memang Harsa yang berhasil memaksanya dan keluarganya untuk minta maaf pada Hera.

____

"Randy ngapain, kok Reza bisa sampe kesini sih?" Ucap Hira pertama kali ketika masuk ke kamarnya sendiri. Ada Harsa yang sedang duduk di tepi kasur Hira. Kalau Harsa sudah masuk kamar, berarti mereka akan menginap.

"Ya di suruh pulang" jawab Harsa, yang hanya memberi Randy perintah untuk membawa Reza kemari dengan cara apapun asalkan nyawanya tidak di hilangkan.

"Hebat loh Randy, keren banget dia__

"Gak usah puji-puji cowok lain depan saya." Harsa menatap tajam, dan Hira refleks diam dengan wajah cemberut.

"Sekarang mending kamu istirahat, besok kita di undang mama ke rumah." Hira kehilangan semangat mendengarnya. Mertuanya itu kenapa hobi sekali mengadakan acara sih? Apalagi kali ini?

"Ada apa emangnya?" Harsa berdiri, membuka kemejanya berniat menghilangkan gerah sebelum mandi.

"Papa ulang tahun" Hira menghela nafas, bukan dia tidak suka ayah mertuanya. Tapi perasaan baru kemarin mereka bikin acara.

"Berarti harus beli kado dong?" Harsa mengangguk, mengambil handuk dan menyiapkan baju gantinya sendiri.

"Kalo sempet beli, kalo gak yaudah." Jawab Harsa enteng, ayahnya memang bukan orang yang gemar di beri hadiah. Di ingat dan di ucapkan saja syukur. Tapi ini pertama kali Hira bergabung di acara ulang tahun ayahnya. Harsa tau Hira malas kerumah karena masih ada Riska dan mamanya.

Tapi Hira menantu satu-satunya dan kesayangan Dheana, dia pasti akan mencari Hira kalau dia tidak datang.

"Aku males banget ketemu Riska" iya, Harsa tau, tapi Dheana sudah membujuk untuk datang.

"Kita gak lama kok" Harsa mengusap pelan pipi Hira lalu masuk ke kamar mandi.

FEEL BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang