HIRA.26

19.2K 1.2K 13
                                    

Sudah lebih dari empat jam, Hira masih duduk diatas kasurnya. Hari tentu sudah gelap, Hira sudah berganti pakaian. Sementara Harsa sedang di balkon kamar Hira menerima panggilan dari sekretarisnya yang Hira tidak tau sedang membahas apa. Hira sebenarnya tidak berniat turun mengetahui sudah ada Hera yang kembali dan siap menjelaskan semuanya, juga harusnya siap mengetahui apa-apa yang telah terjadi setelah dia pergi.

Tapi mengingat Harsa belum makan membuat Hira mempertimbangkan, apalagi tadi Fiona datang memanggil mereka untuk makan bersama. Mungkin sekarang Hera dan Bunga sudah makan duluan karena tadi Harsa beralasan masih ingin istirahat.

"Mas? Mau aku ambilin makan?" Ucap Hira langsung sesaat setelah Harsa selesai dengan telponnya

"Ayo turun aja, kamu juga belum makan kan?" Harsa meletakkan ponselnya diatas nakas, berjalan mendekat pada Hira lalu meraih tangannya.

"Aku gak lapar, kamu turun sendiri aja ya?" Harsa mengernyit, ia tau kalau Hira sedang berusaha menghindari Hera. Tapi apa yang perlu Hira takuti? Mereka tidak menikah diatas penderitaan Hera kan?

"Suami mau makan bukannya di layani malah di suruh ambil sendiri" tegur Harsa berpura-pura tersinggung agar Hira bersedia turun bersamanya

Hira mendengarnya menjadi makin cemberut.

"Aku gak siap ketemu mbak Hera, dia kayaknya gak tau kalau kita udah nikah" Hira merasa ia harus membagi ke khawatiran ini pada Harsa sebelum ia gila sendiri.

"Nanti juga pasti tau dan itu bukan masalah, ayo turun saya lapar" Harsa kembali menarik pelan tangan Hira

"Kamu gimana? Mbak Hera udah balik sekarang" nada suara Hira memelan, terdengar lirih dan sedih di pendengaran Harsa.

"Saya mau gimana memangnya? Kalau Hera balik apa pengaruhnya buat saya?" Jawaban Harsa tidak membuat Hira puas, jujur saja Hira butuh pengakuan. Ia butuh setidaknya satu saja kalimat penenang dari Harsa. Yakinkan dia kalau semuanya, mereka, dan pernikahan ini baik-baik saja.

"Mas aku serius." Hira menegaskan suaranya, melepas tangan Harsa kasar dari tangannya.

"Kenapa sih?" Harsa duduk di tepi kasur, berhadapan dengan Hira yang kini sedang menahan tangis. Mendengar Harsa bertanya halus, malah semakin membuatnya sedih

"Aku takut mbak Hera minta kamu balik" ucap Hira dengan air matanya yang perlahan mulai turun.

"Gak bisa, meskipun mungkin bisa, saya gak mau." Jawab Harsa dengan pasti, ia mengangkat dagu Hira agar menatapnya bertemu dengan netranya yang memancarkan keseriusan yang tidak akan pernah ia mainkan.

Mau bagaimana pun juga, Hira hanyalah pengganti untuk Hera. Dari dulu pun bukankah Hira telah sering berkoar-koar bahwa ia siap jika suatu saat nanti mereka berpisah dan Hera kembali? Tapi kenapa sulit sekali?

"Kenapa gak mau? Kamu udah gak cinta sama mbak Hera?" Hira dan pertanyaannya yang mengejutkan itu membuat Harsa bingung sendiri

"Kenapa saya harus kembali ke Hera, kenapa Hera harus kembali ke saya.?" Karena Hira sudah duluan memulai, mari dengarkan sampai selesai.

"Ya karena kamu cinta sama dia dan mbak Hera juga cinta sama kamu" ucap Hira menggebu, abaikan hatinya yang tidak terima.

"Memang iya" Hira terdiam, jawaban Harsa sudah menjelaskan segalanya.

"Terus kamu ngapain masih disini? Sana ke mbak Hera. Dia udah siap pasti buat ngejelasin ke kamu" kata Hira, kesal serta sedihnya bercampur menjadi satu.

"Kami memang saling mencintai Hira, tapi itu dulu. Saya sudah gak memiliki perasaan apapun ke Hera. Kalau Hera saya gak tau dan saya menolak untuk tau." sambung Harsa, kedua tangannya terangkat menghapus air mata Hira yang makin deras turun

FEEL BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang