Lampu yang terang benderang dan rasa lapar lah yang membangunkan Hira. Perempuan itu menoleh pada jendela raksasa yang gordennya transparan memperlihatkan gelap yang sudah menyapa. Sudah malam dan Hira rasanya belum puas istirahat.
Hira bangun dan duduk diatas kasur super empuk kamarnya, membenarkan rambutnya yang bagai singa di hutan Afrika sembari tetap menjaga agar selimutnya tetap di dada. Harsa memerhatikan itu dalam diam di sisi kanan tempat tidur, di sofa luas yang ia duduki menunggu Hira bangun setelah ia buat begadang hingga berjam-jam-, sembari mengecek kerjaannya di laptop yang kini telah mati karena kehabisan daya.
Melihat Hira yang sedang berusaha bangkit, Harsa yang sudah memakai celana kain yang nyaman untuk tidur tanpa atasan itu buru-buru mendekat. Melingkarkan tangannya di bahu Hira yang terkejut
"Sini saya gendong aja" ia mengangkat tubuh Hira dengan mudah.
Hira menurut tanpa suara, ia kesal atas tindakan Harsa, namun energinya sudah tidak tersisa banyak untuk melampiaskan itu untuk sekarang.
Harsa sudah meminta bibi untuk membawakan makanan ke kamar sebelum pulang, Harsa dengan telaten membasuh tubuh Hira dengan air hangat, mengikat rambutnya hati-hati serta memakaikan Hira baju dengan lengkap.
"Mau makan dulu?" Harsa bertanya lembut setelah mendudukkan Hira kembali keatas kasur, sedangkan yang ditanya hanya mengangguk lalu kembali berbaring, membelakangi Harsa yang menyebalkan sekali di matanya.
Harsa ikut naik keatas kasur, memakaikan Hira selimut lalu tangannya menelusup masuk untuk memijat pelan paha perempuan itu. Perempuan yang sepertinya sedang marah padanya. Harsa merendahkan sedikit badannya untuk mencium sisi kepala Hira
"Bagian mana yang sakit?" Tanya Harsa dengan suaranya yang halus dan pelan.
Hira enggan menjawab, lebih memilih fokus untuk tidur sembari memeluk guling.
Hira memekik menghempas tangan Harsa yang semakin naik membuat Hira was-was
"Tangan kamu awas!" Bentakan kecil Hira membuat Harsa terkekeh.
"Maaf, balik sini saya pijitin" Hira bodo amat meski hatinya ketar-ketir saat Harsa terus mencium rambutnya serta tangannya yang kini mengelus pelan pahanya yang pegal.
"Makanya jangan cari gara-gara" ucap Harsa terdengar seperti menasehati anak-anak
Hira berbalik dengan emosi, mendongak menatap Harsa yang posisinya setengah berbaring
"Karena tadi kamu udah ambil jatah banyak dan rakus kayak hewan yang lagi mempertahankan teritorial sebulan ke depan kamu puasa" perumpamaan Hira membuat tawa Harsa berderai.
"Kenapa kamu yang atur?" Harsa menjawab kalem, raut wajah Hira yang marah tidak berpengaruh untuknya
"Ya iyalah! Badan kan badan aku! Kalau gak suka sama Audi aja sana!" Hira berbalik lagi, menarik ucapannya dalam hati semoga saja tidak terjadi dan tidak boleh terjadi.
"Kenapa Audi?" Harsa mengernyit heran, ia teringat kejadian tadi siang
"Audi itu anaknya temen papa, kebetulan saya juga cukup dekat sama beliau" jelas Harsa tanpa Hira minta, Hira kemudian bangkit duduk diatas kasur dengan kasar.
"Terus?! Kamu nolak pergi bareng aku karena harus sama Audi gitu? Gak mau aku ada diantara kalian berdua? Kamu seneng di bawain bekal sama dia?" Harsa ikut duduk, merasa obrolan mulai serius. Padahal niatnya ia ingin menjelaskan pada Hira tadi siang tapi keburu dia emosi karena kedekatan Hira dan Gio juga panggilan Hira padanya.
"Gak begitu" Harsa masih menyahut dengan tenang
"Kemarin-kemarin kamu juga sama dia kan? Sampai diantar ke kelas lagi kek anak TK aja!" Hira saja tidak pernah tuh diantar sampai kelas
KAMU SEDANG MEMBACA
FEEL BLUE
ChickLitDia itu seperti air, aku tidak bisa tanpanya, tapi juga bisa mati karenanya.