HIRA.5

21.1K 1.2K 5
                                    

Sera memperhatikan Hira yang saat ini sudah cantik dengan makeup naturalnya. Tidak berlebihan tapi mampu membuat pangling. Sera saja sempat tidak mengenali Hira karna temannya yang sebentar lagi jadi istri orang itu termasuk jarang, bahkan hampir tidak pernah menyentuh alat kosmetik. Kecuali mungkin sun screen atau lip balm.

"Gue masih gak percaya sih" kemarin saat diberi tahu secara dadakan saja kalau Hira akan menikah, Sera sudah hampir kena serangan jantung, lalu gadis itu menceritakan kalau pria yang akan ia nikahi adalah calon-ralat- mantan calon suami Hera, Sera hampir pingsan di tempat.

Berlebihan memang, tapi nyatanya ia memang se-kaget itu.

"Si harsa itu kerjanya apa?" Mereka sedang berdua saja dikamar Hira, perias pengantin sudah menyelesaikan segala tugasnya dan sekarang ijab sudah hampir di laksanakan.

"Yang sopan dia lebih tua dari kita" tegur Hira, tidak taukah Sera betapa Hira sangat gugup sekarang? Degup jantung dan telapak tangannya yang terus saja berkeringat sudah sangat menggambarkan betapa dia gugup.

Hari dimana seharusnya ia mungkin semakin patah hati karna Hera akan menikah dengan Harsa, justru sekarang diisi olehnya. Tapi Hira yakin bahwa Harsa mungkin dua kali lipat lebih sakit karna harus menikah dengan orang lain disaat isi kepalanya sudah menyusun rencana-rencana hidup bahagianya dengan Hera. Tapi maafkan karna justru Hira lah yang harus duduk bersebelahan dengannya diatas pelaminan.

"Dia kerjanya apa?" ulang Sera lagi, mencoba menetralisir rasa gugupnya berbicara dengan Sera mungkin solusinya.

"Kayaknya dia punya kantor, tapi gue gak tau jelasnya apa. Dia juga dosen" Sera mengangguk, pekerjaan yang bagus dan sangat mampu membiayai Hira dan anak-anak mereka nanti. Walau Hira juga sempat cerita kalau dia tidak ada rencana untuk punya anak.

"Acaranya mau di mulai, siap-siap" Bunga datang dan bergabung dengan Sera dan Hira. Walau wajahnya terpatri senyum karna putrinya sebentar lagi menikah. Nyatanya juga ada rasa sedih, karna sampai sekarang Hera belum muncul juga untuk sekedar meminta maaf atas ulahnya.

"Bu, maaf. Ini gak sesuai sama ekspektasi ibu" bagaimana pun juga, bayangan kebahagiaan yang Bunga inginkan antara Hera dan Harsa pasti sudah sempat terbayang, apalagi Hera memanglah anak kebanggaannya, tapi justru Hira yang ada. Namun ini juga bukan mau Hira, dia juga merasa jadi korban disini.

"Kok ngomong gitu, ibu yang minta maaf. Atas ulah Hera kamu yang harus tanggung jawab" Hira menahan untuk tidak menangis, makeup-nya sudah rapi. Sayang kalau harus diulang lagi.

_________

Dalam satu tarikan nafas, kalimat Harsa selesai dalam satu kali percobaan. Maka itu juga berarti resmi lah Harsa menjadi suaminya. Mengingat itu membuat Hira merasa merinding. Lalu setelah ini apa?

Sesi pertukaran cincin, bahkan saat Harsa mencium keningnya dan Hira mencium punggung tangan Harsa keduanya sama-sama tidak mengeluarkan suara. Hira paham akan posisinya, ia mencoba mengerti sikap Harsa yang memang tidak pernah menyangka hal ini akan terjadi. Sama seperti Hira, tapi mungkin Harsa lebih parah, karna ditinggal oleh Hera saat tanggal pernikahan sudah di depan mata.

Definisi di tinggal saat sedang sayang-sayangnya

"Makasih ya sayang, kamu udah mau jadi menantu mama. Mama seneng banget" Hira hanya tersenyum tipis menanggapi kalimat Dheana. Melirik pada Harsa yang sedang mengobrol dengan Prayoga dan Bunga. Resepsi akan di gelar bersamaan dengan ijab seakan tidak ada hari esok, keluarga dari pihak Harsa yang memang datang dari daerah yang jauh meminta agar mereka bisa sekalian melihat. Dan keluarga Hira juga menyetujui.

Banyak dari mereka yang memandang Hira aneh sejak pertama kali bertemu, wajar saja dia ini Hira bukan Hera.

"Saya denger-denger, dia ini adiknya Hera" bisikan yang berasal dari kedua orang yang Hira tau adalah tante dari Harsa terdengar, mereka berbisik tapi tidak sadar kalau ada Hira di dekat mereka.

Inilah resikonya, Hira akan dapat sebutan baru 'gantinya Hera' menyebutnya dalam hati pun sedikit membuat hati Hira seakan di remas

"Jangan di dengarkan" Hira refleks menoleh pada Harsa yang entah datang darimana menyentuh punggung Hira berniat menenangkan

Hira mengangguk sekilas, melirik pada Sera yang mengobrol dengan Cerel yang baru ditemuinya lagi setelah sekian lama. Hira mengundang beberapa dosen yang cukup akrab dan berpengaruh di kampus agar setidaknya ada pihak kampus yang tau kalau dirinya sudah menikah. Untungnya Harsa tidak bertanya kenapa teman yang datang hanya Sera dan Cerelia

Malam sudah semakin larut, Dheana mengantar Hira pada kamar Harsa yang terletak di lantai atas setelah tadi Bunga dan Fiona-sepupu Hira- yang akan menemani Bunga selama dirumah, sudah pulang untuk istirahat.

"Tungguin Harsa disini aja ya, capek kalau mau nunggu di bawah" Hira mengangguk, setidaknya Dheana dan Prayoga menerima kehadirannya dengan baik dan tangan terbuka.

"kamu mandi dulu, biar capeknya berkurang"  benar, punggung serta kaki Hira adalah yang paling pegal, seakan tulang-tulang pada tubuhnya rontok semua. Setelah Dheana keluar, Hira segera mengambil piyama dari dalam koper yang sudah bunga siapkan beserta perlengkapan yang lain dan segera masuk ke kamar mandi. Supaya ia bisa langsung tidur sebelum Harsa datang agar tidak perlu ada acara basa-basi yang disertai rasa canggung.

Hira keluar sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk, dengan terpaksa ia memakai shampo bahkan sabun Harsa karna ternyata Bunga tidak menyiapkan alat mandinya. Untungnya lagi, ada sikat gigi baru di kamar mandi Harsa.

Hira terperanjat menemukan Harsa sudah duduk di pinggiran kasur, pria itu sudah melepas jasnya. Rambutnya pun sudah tidak tertata seperti tadi

"Maaf aku..pake sabun sama__

"Gak papa, kamu bebas pakai apapun" Hira harus merasa nyaman. 

Bagaimana pun juga, Hira adalah orang yang menyelamatkan wajah orang tuanya.

"Tidur, pasti capek." Hira mengangguk patuh lalu berjalan ke sisi lain kasur. Hira lelah, sangat lelah. Tapi ia ragu untuk tidur malam ini karna kamar dan kasur ini milik Harsa. Seumur hidupnya, tidak ada kamar lelaki yang pernah Hira masuki bahkan sampai mandi juga.

"Hira" Hira menoleh padahal sudah siap memakai selimut saat Harsa kembali menyebut namanya.

"Sini handuknya" dengan tangan agak gemetaran, Hira memberikan handuk itu pada Harsa. Kenapa juga Hira membawanya? mau tidur dengan handuk yang berada di bahu? Lucu sekali!

Harsa masuk ke kamar mandi, dan saat itulah Hira memejamkan mata sembari mengacak-acak rambutnya yang setengah basah. Disini tidak ada hairdryer. besok Hira harus pulang dan mengambil beberapa lembar baju, sepatu, beberapa tas, dan juga dua botol skincare karna meski Hira tidak tau caranya merias wajah, Hira masih pandai dalam merawat kulit.

Hira tidur dengan posisi membelakangi tempat Harsa, selimut naik hingga sebatas dagu. Hira juga merasa bingung sebenarnya dia ini takut apa?

"Saya akan tidur di sofa kalau kamu gak nyaman" astaga, bukan begitu. Hira tidak memikirkan itu sama sekali

"Gak mas, tidur disitu aja gak papa" tidak sopan sekali kalau sampai Harsa si tuan kamar malah harus tidur di sofa yang pendek dan sempit itu.

Detik selanjutnya, Harsa sudah naik dan ikut berbaring di sebelah Hira. Mereka sama-sama diam dan sama-sama ribut di kepala. Memikirkan hidup masing-masing atau berfikir kiranya besok mereka harus bersikap bagaimana. Tidak pernah terlintas dalam pikiran Harsa sebentar pun kalau suatu hari dia akan menikah dengan Hira yang sudah dia anggap sebagai adik. Namun Harsa jelas harus menerima dan ia wajib menjaga perasaan Hira yang sudah mau menikah dengannya yang dibuang oleh pasangan ini.

FEEL BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang