Cewek tinggi dengan rambut dikepang itu melangkahkan kakinya menuju tempat dimana orang-orang biasa mengambil air. Bukan karena haus tapi karena kebelet ingin pipis.
Decakan kasar terdengar dari mulutnya.
"Sial." dilihatnya sepatu yang sedang digunakam ternyata robek.
Ia tidak bisa menyalahkan sepatu yang digunakan karena nyatanya sepatu itu juga sudah lama dan sudah saatnya diganti.
Aoi membuka sepatu itu dan dilempar kesembarang arah. Kedua tangannya memegang pinggang sambil menatap sebelah kakinya yang kini hanya terpasang kaos.
Kata nggak apa-apa diucapkan untuk menenangkan dirinya agar ikhlas melihat sepatu kesayangannya dibuang begitu saja. Dilanjutkan perjalanan untuk mengambil air.
Tapi baru beberapa langkah Aoi sudah meringis karena ternyata di sana ada banyak benda tajam yang siap menyakiti kakinya.
"Aduh," ringis Aoi langsung duduk memastikan keadaan kakinya.
Dilihatnya sebuah batu kecil menempel di sana. Untuk berjalan lebih jauh tanpa memakai sepatu sepertinya Aoi tidak akan sanggup, apalagi di depannya ada banyak macam benda-benda tajam yang tak akan ia ketahui.
Seseorang dengan sepatu berwarna hitam duduk di depannya. Aoi mendongak dengan terkejut ketika ia melihat kehadiran Athala di depannya.
Athala hanya tersenyum manis sembari membuka kedua sepatunya. Selanjutnya Athala meraih kaki Aoi untuk dicek dan dipakaikan sepatu miliknya.
Aoi tak habis fikir pada cowok seperti Athala, "Lo mau caper?"
"Kalau hatinya lo lagi terluka seenggaknya jangan nambahin luka lewat fisik."
"Lo bikin gue makin yakin, Tha, kalau semua cowok itu sama. Padahal lo sendiri yang ngeyakinin gue kalau lo nggak sama kayak mereka, tapi kemarin? Gue nyesel pernah muji lo." Aoi terkekeh sinis.
Athala berdehem, "Perasaan gue udah tiga tahun, Yi, dan lo datang tiba-tiba berhasil ngambil tanpa gue tau. Kalau gue ragu wajar kan? Ternyata untuk jatuh cinta sama lo, gue cuma butuh waktu sesingkat itu."
"Gue kecewa sama sikap lo yang tiba-tiba berubah gitu. Seenggaknya kalau memang nggak ada niat untuk memperjelas nggak usah ngasih harapan kan?"
"Karena waktu itu gue anggap lo udah kayak sahabat gue sendiri tapi lama kelamaan gue makin yakin kalau perasaan ini udah lebih dari sahabat. Lo ngerti kan maksud gue? Lo nggak tau kan gimana tersiksanya gue saat harus bersikap seolah-olah nggak perduli sama lo?"
Aoi memalingkan wajahnya. Mendadak ia yang tadinya sudah menggebu-gebu perlahan melunak.
"Lo juga ada perasaan kan sama gue?" tanya Athala lagi.
"Kasih tau gue gimana caranya nahan perasaan kalau lo selalu bisa ngerubah cara pandang gue?"
Senyum manis lantas kembali tercetak dari Athala, "Gue nggak mau lo dimilikin sama orang lain."
"Terus lo fikir gue mau ngeliat lo sama orang lain?" balik Aoi bertanya.
"Jadi?"
"Tapi gue nggak mau ngeliat Aneska sakit karena kedekatan kita. Lo tau? Gue lebih baik sakit hati dari pada harus ngeliat orang sakit karena kedekatan kita, ngerti kan maksud gue?" Aoi memejamkan mata sejenak menahan sesak sebelum kembali mengeluarkan suara.
"Kita lupain apa yang pernah kita lakuin, hancurin perasaan ini kalau masih ada yang terluka diantara kita. Gue yakin kalau memang jodoh nggak akan pergi kemanapun, sejauh apapun kita lari bakal balik ke rumahnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHALA [SGS#2]
ספרות נוערSegal series 2 Kita dilahirkan berbeda untuk bisa saling menyempurnakan.