Gerimis yang melanda ibu kota di sore hari membuat siapapun tak akan berniat untuk keluar dari selimutnya. Jika dingin yang dirasa masih bisa dihangatkan oleh selimut, namun bagaimana dengan hati yang terasa dingin oleh sakitnya? Bahkan kehadirannya belum tentu bisa membuat bahagia itu ada, hanya ada dua kemungkinan, semakin sakit karena hadirnya atau memilih untuk berpura-pura bahagia meski dalam hati menjerit?
Tubuh gadis kurus, tinggi itu menggigil kedinginan tapi itu tak berarti apa-apa karena yang dirasa sekarang lebih dari itu. Matanya tertuju pada setiap sudut rooftop, untuk yang kesekian kalinya hari ini Aoi berdiri di atas sana mencari sesuatu yang tak kunjung ia temukan.
Rasanya ingin menyerah tapi ia ingat kalau seseorang pernah berkata bahwa ketika kamu menginginkan sesuatu dan kamu sudah sangat yakin bisa mendapatkannya sebesar apapun rintangannya jangan pernah mundur. Aoi meluruhkan tubuhnya, mendongak pada langit yang semakin deras menurunkan bulir-bulir air.
“Maaf, Ma, Yaya nggak bisa ngejaga barang pemberian Mama,” gumam Aoi.
Untuk beberapa waktu Aoi duduk di sana menikmati air hujan yang mengguyur tubuhnya. Sekolah sudah sepi dan ini sudah sore beranjak malam tapi rasa-rasanya ia belum mau mengangkat kakinya menjauh dari sana.
Kalung pemberian terakhir ibunya hilang dan terakhir kali Aoi lihat saat ia dan sahabat-sahabatnya sedang bercanda ria di atas rooftop. Seluruh area sekolah yang dirasa ia datangi sudah dicari tapi tak kunjung ia temukan.
Mencoba untuk berusaha ikhlas, Aoi berdiri menuruni setiap anak tangga yang sudah gelap, koridor yang sepi menghasilkan tempat gelap yang terkesan horror. Tapi apalah arti takut kalau sedang patah hati? Ibaratnya hantu itu menampakkan wujudnya pun tak akan takut karena sakit yang dirasa. Jika kemarin-kemarin Aoi sakit karena merasa kehilangan Athala, maka hari ini Aoi lebih sakit lagi karena kehilangan benda yang berharga, yang selalu dijaga selama bertahun-tahun.
Helaan nafas berat terdengar untuk yang kesekian kalinya, sebelum akan menyebrangi lapangan yang masih terkena gerimis Aoi memilih kembali berdiri di koridor. Suara ketukan sepatu yang kian terdengar datang tak ia hiraukan, jangankan untuk perduli sekedar menoleh pun Aoi merasa sangat enggan.
Saat tepukan terasa nyata dibahunya Aoi langsung menoleh dengan terkejut. Senyum manis yang tercipta dari bibir Aneska mendadak terlihat menyebalkan di mata Aoi. Ditepisnya tangan Aneska sedikit kasar.
“Mau coba ngagetin gue? Nggak lucu!” sentak Aoi yang mana membuat Aneska langsung merasa tak enak hati.
“Lagi apa sampai sore di sekolah begini?” meski sudah diperlakukan dengan tak ada perasaan tapi nada suara Aneska masih terdengar lembut saja.
“Perlu banget gue jawab? Nggak usah sok peduli deh. Orang-orang modelan kayak lo ini munafik, sebenarnya nggak suka tapi jadi pura-pura suka!”
Mendadak Aoi menjadi sensi. Entah karena perasaannya yang sedang tidak baik-baik saja, juga karena Aoi merasa marah dengan dirinya sendiri.
Aoi tak menghiraukan Aneska dan berlari menjauhinya. Tak ada yang bisa Aneska lakukan selain tersenyum memandangi kepergian seorang Aoi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHALA [SGS#2]
ספרות נוערSegal series 2 Kita dilahirkan berbeda untuk bisa saling menyempurnakan.