dekaepta

3K 442 321
                                    

"Paspor sama visa udah disiapin? Terus nanti di sana tinggal di mana? Cari makannya gimana? Bahasanya bahasa Inggris kan? Berarti kalau belajar matkul kode etik psikologi, itu pakai kode etik internasional?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Paspor sama visa udah disiapin? Terus nanti di sana tinggal di mana? Cari makannya gimana? Bahasanya bahasa Inggris kan? Berarti kalau belajar matkul kode etik psikologi, itu pakai kode etik internasional?"

Seungmin mengernyit, "Kok lo lebih tau matkul gue daripada gue sendiri, Fik?"

Pertanyaan Seungmin membuat empat pasang mata lain memandang ke arah Hyunjin, beberapa dengan alis terangkat dan senyum lebar menggoda.

Sunwoo bersiul jahil. "Iya, kenapa tuh, Fik?"

Hyunjin hanya tertawa, melambaikan tangan santai. "Gue ini kan aslinya pinter, cuma males doang. Kalian semua aja yang selalu suudzon kalo ama gue mah. Seandainya gue rajin nih, yang dipanggil juara umum ntar gue, nggak enak ah kalo ntar gue jadi terlalu terkenal. Udah ganteng, berbakat, pinter lagi."

"Mulai dah mulaii," Felix memutar bola mata namun diam-diam mengulum senyum, karena dia tahu Hyunjin sengaja mencari tahu tentang jurusan yang akan digeluti Seungmin itu dengan tujuan supaya saat mereka mengobrol, Hyunjin bisa mengerti. Dia sendiri menjadi saksi dan membantu Hyunjin saat pemuda itu menemukan kata-kata susah dan sedang tak ada orang di rumahnya yang bisa dimintai bantuan untuk memberitahunya bagaimana cara membacanya; Felix membantunya dengan mengirimkan voice note cara membaca kata-kata tersebut. Kalau dilihat dari senyum penuh tahu Sunwoo, sepertinya Hyunjin juga pernah meminta bantuan yang sama padanya.

"Nanti di sana kerja part time apa gimana, Sa?" Jisung memutuskan dia merasa kasihan melihat Hyunjin digodai dan memutuskan membantunya mengalihkan pusat pembicaraan darinya dengan mengganti topik. "Ngekos?"

"Ada asramanya, kok. Buat biayanya, Fik, textbook ditanggung sepenuhnya sama pemerintah, masuk ke dana beasiswa itu. Dapet uang saku juga, ditambah transferan dari orang tua gue. Tapi kayaknya kalo bisa gue juga bakal part time itung-itung buat biaya mendadak, tapi nggak tau di keadaan pandemi gini mau part time di mana."

"Hebat banget anjir Esa udah buat rencana sekomplit itu. Emang lo udah niat dari lama buat kuliah ke luar negeri, ya?" Sunwoo berdecak. "Segitu nggak enaknya suasana rumah?"

Seungmin tertawa, "Ya gimana, udah hukum alam kan. Hidup sama ortu bayarnya pakai mental health dan sanity."

Yang lain tertawa rikuh, antara hendak menertawakan candaannya namun merasa tidak enak karena meski mereka tak tahu dengan jelas, mereka setidaknya mengerti secara garis besar apa yang membuat Seungmin bertekad tidak melanjutkan pendidikannya di universitas manapun di kota mereka, meski dia sudah pasti mendapat tempat.

"Masih nggak nyangka banget Esa bakal ninggalin kita secepat ini, anjir."

"Fik, gue cuma mau ke luar negeri, bukan mau mati." Seungmin tertawa, kemudian membuka kedua tangannya lebar. "Udah sini peluk biar nggak mewek. Ntar kalo lo nangis susah, harus dibujuk pakai saham BUMN."

Demesne [1/2] +JilixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang