03. Hukuman Satu Malam

2.7K 190 26
                                    

Jantung Angel berdetak dua kali lebih cepat. Seluruh bagian tubuhnya bergetar, dengan pupil mata melebar. Lagi-lagi, dia berada di situasi seperti ini. Berada dekat dengan pria asing, dengan tatapan kosong dan ekspresi yang tak bisa dibaca.

Entah apa isi pikiran Sean. Namun, ketika bola mata keduanya bertemu, Angel tak bisa berkata-kata. Dia tenggelam dalam ketakutan, tetapi sebagai sisi jiwanya penasaran tentang apa yang ada di pikiran Sean.

"Kerjakan pekerjaanmu sesuai dengan apa yang sudah dibagikan kepala pelayan, dan jangan campuri urusanku," ungkap Sean.

Setelah mengatakan hal itu, Sean langsung melepas wajah Angel. Dia berbalik, berniat mengambil kembali handuk dan air hanya yang sudah disiapkan. Namun, lagi-lagi Sean berhenti melakukan kegiatannya. Hal itu disebabkan oleh kelinci kecil, yang bercicit di belakangnya.

Angel menundukkan kepala. Dengan jantung berdetak dua kali lebih cepat, Angel bergumam, "Aku bukannya ingin mengurusi urusanmu. Hanya saja, aku pikir kau terluka. Jadi, sebagai pelayanmu, aku ingin mengobatimu."

"Tapi ternyata, itu bukan darahmu. Melainkan darah orang yang baru saja kau bunuh."

Detik pada jam masih berdetak. Begitu pula dengan detak jantung Angel, yang masih berdetak kencang. Wanita itu ketakutan, tapi dia juga ingin membela dirinya sendiri. Sampai akhirnya, Sean berbalik ke belakang. Pria itu bertanya, "Jika kau begitu peduli pada luka seseorang, kenapa kau tidak mencoba mengobati mantan kekasihmu itu?"

Angel terdiam beberapa saat, dia melihat ke arah jendela kemudian menjawab, "Ayah dan ibuku seorang dokter. Keduanya memang senang mengobati orang yang sedang sakit. Begitu pula aku. Aku sensitif, melihat luka."

"Tapi, Leo? Pria b*jingan itu pantas m*ti."

Ucapan Angel tiba-tiba membuat Sean menatap lurus ke arahnya. Pria itu melangkahkan kakinya ke depan, sampai langkahnya bisa Angel dengarkan dengan jelas. Setelah itu Sean mengernyitkan kening. Dia bisa melihat dengan jelas seluruh tubuh Angel bergetar, tetapi kelinci kecil itu masih bisa bersuara.

Sean tiba-tiba menjulurkan telapak tangannya ke depan Angel. Darah segar bertetesan dan jatuh ke lantai. Bersamaan dengan mata Angel yang memelotot. Wanita itu mengernyitkan kening, ternyata sebelah tangan Sean yang lain memang terluka. Hal itu membuat jari jemari Angel tergerak untuk mengobati Sean, tetapi akhirnya Angel mencoba menahan tangannya sendiri.

"Kau lihat darah ini? Ini darah mantan kekasihmu. Aku baru saja membunuhnya, dan orang-orang mencapku sebagai pria b*jingan. Apa keinginanmu untuk mengobati seseorang sudah musnah sekarang?" tanya Sean.

Angel menggelengkan kepala. Meskipun dia tak berani untuk menatap Sean secara langsung, tetapi Angel menjawab, "Aku mengobati orang yang ingin aku obati. Apalagi orang yang memberiku uang."

Semakin Angel bersuara dengan suara bergetar, semakin Sean merasakan sebuah magnet yang memancing rasa penasarannya. Pria itu akhirnya melangkah menuju kursi. Dia memanggil beberapa pelayan untuk mengambil obat, kemudian memerintah Angel, "Obati aku."

Satu perintah, yang langsung membuat Angel bergerak cepat dan mengambil kotak obat. Untuk saat ini, Angel mengesampingkan rasa takutnya. Keinginan untuk mengobati seseorang lebih besar daripada rasa takut. Gadis itu membuka kotak obat. Jemari tangannya memilih beberapa obat dan perban untuk dikeluarkan dari kotaknya. Setelahnya dia merampas handuk yang Sean pegang.

"Pertama, aku ingin membersihkan lukamu dulu," ucap Angel dengan kepala menunduk.

Tak ada sedikit pun keraguan, saat telapak tangan Sean bersentuhan dengan telapak tangan miliknya. Angel begitu fokus membersihkan luka Sean. Dia tidak takut pada darah sang mantan kekasih, yang mengotori air pada wadah. Karena tujuan Angel untuk mengobati Sean, lebih utama dari apa pun.

Keberanian kelinci di depan Sean, membuat Sean tanpa sadar menyangga salah satu pipi dengan tangannya yang lain. Dia memerhatikan Angel yang sibuk mengobati lukanya. Tak ada suara yang keluar dari keduanya. Hanya detak jantung Angel, dan suara napas Sean yang menghapus kesunyian di antara keduanya.

Angel membalut luka Sean dengan lembut. Setelah beberapa kali bersentuhan dengan Sean, Angel merasa terbiasa dan mulai tenang. Ternyata, Sean yang sedang diam dan memandanginya itu tak terlalu menakutkan juga. Walaupun Angel tak pernah bisa menyelam ke dalam pikiran pria itu, untuk mencari tahu apa yang sedang dia pikirkan.

"Selesai. Lukamu sudah aku obati," ungkap Angel tanpa melihat ke arah Sean sedikit saja.

Angel terburu-buru berdiri, dan berniat mengambil kembali handuk dan air yang sudah kotor oleh darah. Namun, sebelum Angel berhasil melaksanakan niatnya, tiba-tiba Sean menghentikan langkahnya. "Tunggu."

Sean menatap Angel dari bawah hingga ke atas. Pria itu masih setia menyangga salah satu pipinya dengan tangan. Kemudian menyelidiki penampilan Angel, dan berkomentar, "Sempurna."

Angel tak paham, apa yang sedang Sean lakukan. Gadis itu diam-diam mencuri-curi pandang, untuk mencari tahu apa yang sedang Sean lakukan. Namun, ketika bola matanya bertemu dengan Sean, dia langsung memalingkan wajahnya ke arah lain. Jujur, Angel masih takut melihat wajah Sean. Padahal tadi dia melakukan pekerjaannya dengan benar.

"Kau begitu menginginkan gelar dokter itu? Memangnya apa yang ingin kau lakukan setelah mendapatkan gelar doktermu?" tanya Sean, tanpa ekspresi yang jelas.

Angel menjawab, "Aku tak hanya menginginkan gelar dokter saja. Tapi aku menginginkan ilmu yang bermanfaat, untuk menyelamatkan nyawa manusia. Aku ingin menjadi seperti apa yang ayah dan ibuku inginkan. Mereka ingin menjadikanku dokter terhormat, tapi mereka malah meninggalkanku sebelum memenuhi keinginan mereka."

Angel tanpa sadar menjelaskan tujuan hidupnya pada Sean. Namun, sudut bibir Sean tidak turun atau pun naik. Pria itu masih diam, memandangi Angel dari bawah ke atas. Setelah menemukan jawabannya, Sean tiba-tiba memerintah, "Kemarilah."

Perintah pertama Sean diabaikan Angel, sampai akhirnya Sean memperingati, "Kau tahu, hukum tidak memenuhi perintahku di rumahku ini? Apa ka---"

Belum sempat Sean melanjutkan ucapannya, Angel langsung berjalan pelan menuju Sean. Dia hanya menggeser tubuhnya tanpa berniat berdekatan dengan Sean. Hal itu membuat Sean berkata, "Aku menyuruhmu duduk di sampingku, bukan memintamu melakukan gerakan ulat seperti itu. Cepat kemari."

Pada akhirnya, Angel menurut dan mendaratkan tubuhnya di samping Sean. Dia menahan napas dengan wajah berpaling ke arah lain. Namun, sentuhan Sean pada lengannya tiba-tiba membuat Angel tersentak kaget. Wanita itu ingin memperingati Sean, tetapi dia sudah lebih dulu merasakan Sean mendekat dan kembali tubuhnya seperti serigala.

"Kau, apa yang sedang kau lakukan?" tanya Angel. Angel bisa merasakan napas hangat berembus di sekitar leher. Sementara mata bulat Sean, memindai setiap bagian tubuh Angel. Angel yang dilihat seperti mangsa, langsung menyilangkan tangan di depan dada. Dengan suara bergetar dia memperingati, "Tuan. Sudah kubilang, apa pun akan kulakukan, asal kau tidak menjualku."

Sean menyentuh dagu Angel, setelah itu dia mengarahkan wajah Angel sampai bertemu dengan wajahnya. Tanpa sudut bibir melengkung ke atas, ataupun ke bawah, Sean tiba-tiba berkomentar, "Cantik, mulus, tanpa noda."

"Aku akan mengabulkan keinginanmu menjadi seorang dokter, asalkan kau mau menghabiskan satu malam bersamaku," tawar Sean.

•••

THE MAFIA'S HIDDEN SON [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang