Jarum jam masih berdetak, begitu pula dengan jantung hati Angel yang berdebar kencang. Angel tak bisa memikirkan apa pun, ketik Sean menariknya untuk duduk di atas ranjang. Itu pun tepat di samping Sean.
"Tuan?"
Sean menatap Angel beberapa saat, kemudian menyandarkan tubuhnya pada tempat tidur. Dia menutup kelopak matanya, dan menjauhkan pegangan tangannya pada Angel. Tanpa membuka kelopak matanya, Sean meminta, "Suapi aku."
Detik berubah menjadi menit. Angel mengernyitkan kening, mendengar permintaan Sean. Padahal pikiran gadis itu sudah terbang tak tahu arah. Namun kenyataannya? Sean sama sekali tak berniat melukainya. Pria itu hanya meminta Angel menyuapinya, di saat kepala Sean terasa sangat berat.
"Baiklah." Sesendok bubur sudah berada tepat di sendok yang Angel pegang. Untuk beberapa saat, pikiran Angel bertanya-tanya, alasan Sean menutup pintu kamar. Namun, pernyataan Angel langsung terjawab, karena Sean berucap, "Bagaimana kampus barumu?"
Kenyataannya adalah, Sean ingin mengetahui apa saja yang terjadi saat pendaftaran pendidikan kedokteran Angel. Angel langsung mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas. Dia menyuapi mulut Sean yang terbuka lebar, kemudian bercerita, "Hari ini sangat baik. Joshena membantuku bersiap-siap. Kepala pelayan bahkan ikut membelikanku pakaian baru. Semuanya berjalan lancar, berkat bantuanmu."
"Te... terima kasih," kata Angel gugup.
Sean membuka matanya, untuk melihat kedua sudut bibir Angel yang melengkung ke atas. Mata gadis itu menyipit, seperti bulan sabit. Namun, Sean masih bisa tenggelam dalam bola mata jernih Angel. Gadis itu memiliki mimpi yang tinggi, dan tak ingin Sean sia-siakan.
"Bagus, " komentar Sean.
Tak butuh waktu lama, bagi Sean untuk mengunyah bubur miliknya, kemudian membuka mulutnya kembali. Dia sengaja membiarkan Angel menyuapinya dengan tangan bergetar. Sean tahu, Angel takut berada di dekatnya. Namun, ketika Angel bercerita tentang kehidupan kampus barunya, Angel melupakan ketakutan. Dia bercerita tak ingat pada siapa yang berada di hadapannya.
Sampai akhirnya, Angel baru berhenti bercerita ketika merasakan jemari Sean menyentuh bibirnya. Pria itu menaruh jari telunjuknya di depan bibir Angel, seolah-olah memberi kode supaya Angel terdiam. Langsung saja, Angel menundukkan kepala, tak berani mengatakan sepatah kata pun.
"Kau terlalu banyak bicara," ungkap Sean.
"Maaf," kata Angel.
Sean menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Dia menyentuh dagu Angel, sampai akhirnya Angel bisa melihat jelas kedua lesung pipi yang muncul di wajah Sean. Hanya dalam hitungan detik saja, mata Angel memelotot. Ini kedua kalinya, dia melihat senyuman Sean.
"Aku memintamu untuk diam, bukan menunduk," ucap Sean.
Angel memalingkan wajahnya ke arah lain. Dia tiba-tiba merasakan jantungnya kembali berdetak kencang. Namun, perasaannya berbeda saat pertama kali dia masuk ke kamar ini. Ada sebuah keinginan yang memancing Angel untuk kembali menatap Sean.
Namun, ketika Angel terlalu lama melihat kedua lesung pipi sang Tuan, Angel merasa dirinya akan jatuh tenggelam pada senyuman langkanya.
"Tuan, jika kau sudah kenyang, aku ... aku ... aku permisi untuk pergi," pamit Angel.
Angel tak tahan berdekatan dengan Sean lebih lama lagi. Gadis itu terburu-buru mengambil mangkuk, kemudian berbalik menjauh dari Sean. "Tolong buka pintunya!"
Kepergian Angel malah membuat Sean tertawa kecil. Pria itu mengusap wajahnya sendiri, menyembunyikan sebuah tawaan kecil, yang mungkin hanya dia tunjukkan pada beberapa orang saja.
"Kelinci kecil itu berlagak sok berani, padahal dia ketakutan setengah mati. Sampai kapan dia akan bertahan di tempat ini?" tanya Sean.
Awalnya Sean memang meremehkan impian Angel. Namun, diam-diam pria itu mengambil laporan tes masuk Angel di atas nakas miliknya. Sean memperhatikan laporan itu dengan teliti, sampai kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. "Dia berhasil mencapai posisi pertama, dengan kemampuannya sendiri."
•••
Angel terburu-buru mengalahkan kakinya ke dapur. Dia tak bisa menahan napas lebih lama lagi, kemudian menarik dan mengeluarkan napasnya dengan cepat. Bayang-bayang saat kedua lesung pipi Sean muncul, tercetak jelas di dalam ingatan kepalanya. Angel tak bisa menyingkirkan senyuman Sean. Hanya dengan satu senyuman saja, semua gambaran menyeramkan Sean terhapus dari pikiran Angel.
"Astaga, apa yang sudah aku pikirkan? Aku tak boleh memikirkan Tuan Sean," kata Angel pada dirinya sendiri.
Tanpa mempedulikan apa pun, Angel langsung menaruh mangkuk dan gelas air di dapur. Setelahnya, dia terburu-buru pergi menuju kamar miliknya. Namun, langkah Angel tiba-tiba berhenti. Kening gadis itu mengernyit, melihat seorang wanita dengan gaun malam selutut, masuk ke kamar Sean. Tak hanya masuk saja, gadis itu bahkan menutup kamar Sean dengan sekali dorongan saja.
"Ingat Angel, Tuan Sean bukan pria baik. Senyumannya tadi bukan petanda baik. Dia tak seharusnya ada di pikiranmu," ucap Angel pada dirinya sendiri.
Angel mencoba untuk tidak peduli dengan apa yang dilakukan Sean dengan wanita tadi. Lagi pula, selama keduanya tidak mengganggu kehidupan Angel, apa yang harus Angel khawatirkan?
"Palingan mereka sedang bermalam bersama. Lebih baik aku menyiapkan diri untuk pergi ke kampus lagi," ucap Angel.
Angel bisa saja berniat akan membereskan peralatan sekaligus baju baru miliknya. Namun, langkahnya kembali terhenti, tepat di depan kamar Sean. Dia mendengar suara gelas pecah, bersamaan dengan jeritan seorang wanita. Jelas saja, seluruh tubuh Angel kembali menenggang. Dia bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di dalam?
Kata orang dibanding menyelidiki masalah orang lain, lebih baik kau tak mempedulikannya. Karena, jika kau sudah ikut campur ke dalam masalahnya, kau akan terseret ke dalam urusan yang seharusnya bukan masalahmu. Namun, tepat di depan mata Angel sendiri, pintu kamar terbuka, menampilkan seorang wanita dengan mata memerah dan air mata yang mengalir membasahi pipi.
Rambut wanita itu sudah tak teratur, bersamaan dengan luka pada punggung tangannya. Hal itu membuat Angel merasa iba. Dia ingin membantu sekaligus bertanya pada apa yang sudah terjadi. Namun, si wanita sudah lebih dulu berlari bersamaan dengan air mata dan tetesan darah yang mengalir.
"Apa yang terjadi?"
Angel terdiam, kemudian melihat ke arah kamar. Tepat di sana, terdapat Sean yang menatap tajam ke arahnya. Tak ada senyuman manis dari kedua lesung pipi Sean. Hanya ada wajah seorang pria bengis, yang menatap Angel seolah ingin memangsanya.
"Kau menguping?" tanya Sean.
Angel meneguk ludahnya sendiri. Dia menggelengkan kepala, dan keputusan untuk berada di sekitar kamar Sean saat ini adalah keputusan salah. Karena Sean tiba-tiba bangkit dari sofa. Pria itu meremas sebuah kertas yang ada di tangannya, kemudian memerintah, "Kemari!"
Seharusnya malam itu, Angel tidak menginjakkan kaki di depan kamar Sean. Seharusnya dia menutup mata, dan menulikan indera pendengarannya. Seharusnya juga, Angel tak melihat binatang buas yang sedang bangun. Baru saja, Angel ingin melarikan diri, Sean sudah lebih dulu menyeret tubuhnya untuk masuk ke kamar.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
THE MAFIA'S HIDDEN SON [END]
FanfictionHidup dalam kebohongan yang digunakan untuk melindungi kesayangan. Sampai kapan Angel akan bertahan?