He Is Psicopath - 52

472 31 2
                                    

Ansley's Appartement | Barcelona, Spain. 15:25.

Waktu sudah menunjukkan pukul tiga lewat dua puluh lima menit. Sudah terhitung hampir dua jam lebih gadis itu masih duduk manis sambil menonton siara televisi yang menyiarkan channel Dora the Explorer–kartun anak perempuan berambut pendek kesukaannya. Biarpun channel tersebut untuk anak-anak berusia sepuluh tahun kebawah tapi mau bagaimana lagi? Tidak ada siaran yang cocok dengan seleranya karena mengunakan bahasa Spanyol.

Ansley sedikit menyesal karena dulu tidak mengikuti kelas kursus bahasa Spanyol dengan Dista. Jadinya sahabatnya itu hingga sekarang sudah fasih berbahasa Spanyol, namun dirinya tidak bisa. Ckckck, malang sekali nasibnya, batinnya berkata.

Hingga akhirnya, suara bel apartemennya berbunyi. Ansley menggerutu kesal, bisa-bisanya orang itu mengganggu aktivitasnya. Gadis berambut hitam kecoklatan itu beranjak berdiri lalu menuju pintu.

"Devix?" Dahi Ansley sedikit berkerut, melihat seorang pria sudah berdiri didepannya setelah ia membukakan pintu.

Devix, pria tampan berprofesi sebagai dokter bedah itu tersenyum tipis. "Hai!" sapanya.

"Bagaimana kau bisa tahu kalau aku–"

"Dista," sosor Devix, memotong pertanyaan Ansley.

"Ha?" binggung Ansley.

Devix tidak menjawab, melainkan ia menengok kebelakang, menatap seorang gadis yang masih berdiri. Pradista Reeggan. "Dia yang memberitahuku kalau kau berada di apartemenmu," kata Devix.

"Dista!" panggil Ansley, menatap wajah Dista seakan menuntut penjelasan atas apa yang dikatakan oleh Devix.

Dista menghela napasnya dan menjawab, "Maaf, Ansley. Aku terpaksa memberitahunya." Karena dia mengancam ku, lanjutnya dalam hati.

Ansley ber oh-ria saja, ia mempersilakan kedua sahabatnya untuk masuk kedalam, tidak lupa mengunci pintu lalu berjalan menuju ruang tamu.

"Aku sudah mendengarkan alasanmu kenapa tidak kau tidak berada di apartemenmu selama hampir seminggu," ujar Devix, memulai pembicaraan.

"Cerita?" ulang Ansley, menatap pria tampan itu.

Devix mengangguk membenarkan. "Ya. Pradista yang menceritakannya padaku."

Ansley hanya bisa menghela napasnya, pasrah. Toh, untuk apa juga ia sembunyi-sembunyi? Pada akhirnya Devix akan mengetahui keberadaannya.

Sedangkan Dista hanya diam, benar apa yang dikatakan oleh Devix. Saat ditengah perjalanan tadi, Devix menanyakan alasan mengapa Ansley tidak bisa dihubungi.

Sebenarnya gadis itu tidak ingin mengatakannya, tapi Devix selalu saja mengancamnya dan Dista terpaksa memberitahu yang sebenarnya terjadi bahwa Ansley mengikuti pamannya ke luar kota.

"Tunggu sebentar, aku akan mengambil minum untuk kalian." Ansley beranjak berdiri lalu menuju dapur dan kembali membawakan dua gelas air, meletakannya diatas meja kemudian duduk.

"Maaf, aku hanya mempunyai air putih saja," kata Ansley, sedikit meringis.

"Tidak masalah." Devix tersenyum sekilas lalu segera meneguk segelas air.

Sementara Dista masih diam, tidak menyentuh sama sekali gelas miliknya. Hatinya rasanya terbakar melihat Devix yang tersenyum pada Ansley. Boro-boro tersenyum padanya, Devix saja menatapnya dengan tatapan sinis, tidak ada senyuman tulus hanya senyuman mengejek saja yang bisa Dista dapatkan.

"Kau tidak minum?" Dahi Ansley berkerut, menatap Dista yang hanya diam saja.

"Tidak, aku tidak haus," jawab Dista.

He's Psycopath✓ [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang