Setiap kali aku merasakan sedikit kebahagiaan.
Tiba-tiba depresi menghantam dua kali lebih keras.
– Pradista Reegand –
•••
Carrer dels street | Barcelona, Spain. 16:40 PM.
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore membuat kegiatan Ansley dan sahabatnya harus berhenti sekarang. Keduanya keluar dari sebuah kafe dan berjalan menuju tempat mobil Dista berada lalu masuk kedalam kemudian berlalu pergi.
"Apa kau tidak lelah untuk berbelanja sebanyak itu?" tanya Ansley seraya melirik sekilas kursi penumpang yang memperlihatkan beberapa peperbag miliknya dan sahabatnya, namun yang paling dominan adalah milik Dista–sahabatnya itu banyak menghabiskan uang untuk sekedar membeli pakaian keluaran terbaru.
Dista sedikit terkekeh lalu menjawab, "Kau seperti tidak tahu saja, Ans."
Ansley tersenyum menanggapi, ia menyandarkan tubuhnya pada kursi lalu menatap keluar jendela. Suasana sore nampak begitu indah dengan langit yang dipenuhi warna jingga ditambah lagi matahari hampir tenggelam di ufuk barat.
"Kenapa berhenti?" tanya Ansley saat mobil yang dikendarai oleh Dista menepih disamping trotoar jalan.
"Sepertinya mobil ini mogok," jawab Dista seraya berusaha untuk menyalakan mesin starter mobilnya. Dista menghela napasnya pasrah, turun lalu menuju kap mobil kemudian memeriksa sambungan baterai dengan mesin.
Ansley pun ikut turun dan berjalan menuju tempat sahabatnya berdiri. Ia memperhatikan sahabatnya itu sedang mengecek beberapa mesin yang tidak ia tahu. "Apa masih bisa?" tanya Ansley melirik sekilas ke arah sahabatnya.
Dista diam sebentar, nampak ia masih memperbaiki mesin mobilnya. "Ya, kurasa." Lalu berjalan ke arah kemudi kemudian menungging sedikit dan berusaha menstarter mobilnya lagi. Dista menegakkan tubuhnya kembali menuju kap mobil lalu menutupnya.
"Maaf, Ans. Sepertinya mobilku benar-benar mogok," ujar Dista penuh bersalah.
"Tidak apa-apa aku akan menunggumu," kata Ansley tersenyum menanggapi.
"Kau pulang saja, hari juga sudah mau beranjak malam. Aku akan mencarikan taksi untukmu," ujar Dista lalu menoleh ke arah jalan raya.
"Tidak usah, aku bisa pulang sendiri. Tidak perlu memakai taksi, apartemenku juga tidak jauh dari sini hanya dua belokan saja sudah sampai," tolak Ansley.
"Tapi–"
"Aku bilang tidak apa-apa. Aku akan menghubungi Devix agar membantumu membawa mobilmu ke bengkel." Ansley mengambil ponselnya dari sling bag.
"Jangan!" cegah Dista saat Ansley ingin mengetik nama kontak pria itu.
Ansley mendongak dengan alis berkerut binggung. "Kenapa? Akan lebih bagus jika Devix datang ke sini untuk membantu. Aku tidak mau kau sendirian di jalan yang sepi ini, Dista," katanya berusaha membuat gadis itu mengerti.
Raut wajah Dista berubah murung, ia menunduk–menatap ujung sepatunya. "A-aku takut mengganggunya, Ans."
Terdengar kekehan kecil dari Ansley. "Jangan kau gugup seperti itu! Sudahlah kau turuti saja apa yang aku katakan." Seraya menempelkan benda pipih itu ke telinganya.
"Hallo Dev?" ujar Ansley saat panggilan tersambung. "Apa kau sibuk? Ah, tidak aku hanya ingin menanyakan sesuatu... Apa kau bisa datang ke sini?... Jalan xxxx, mobil milik Dista mogok dan kami berada di jalanan yang cukup sepi..." Ansley melirik Dista sekilas. "Iya, aku bersamanya, ada apa?... Ya sudah cepatlah, kami menunggumu." Panggilan terputus secara sepihak, Ansley kembali memasukan ponselnya kedalam sling bag.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Psycopath✓ [SEGERA TERBIT]
Mystery / ThrillerMy first story ♡ Jantung gadis itu bergemuruh hebat, ia menahan amarahnya agar tidak melunjak. "KAU IBLIS!!" Gelak tawa kesetanan mengelegar mampu membuat Ansley ketakutan setengah mati. "Tapi iblis ini mencintaimu!" *** Ini hanyalah sebuah kisah te...