Chapter 22

16K 1.4K 71
                                    

Sekar meletakkan tas kerjanya ke atas sofa dan lantas turut pula menghempaskan dirinya duduk di atas sofa yang sama. Tubuhnya sangat lelah hari ini. Selain lelah karena menghadapi sifat kekanakan Reno yang kini berubah bak lelaki setia yang tersakiti, Sekar juga harus mempersiapkan diri untuk sidang pertama nya esok hari.

Memang baru sekedar agenda mediasi, tapi baru membayangkannya saja, rasanya tubuh Sekar sudah letih duluan. Setegar apapun dirinya menghadapi kekisruhan rumah tangganya bersama Reno, ia tetap wanita biasa yang sedih karena pernikahannya harus berakhir di meja hijau, alih-alih berakhir karena maut yang memisahkan.

Di saat dirinya sedang termenung sendirian, ponsel di tas nya berdering lirih. Ia dengan tenaga yang terkuras habis, lantas mencoba merogoh ponselnya yang masih tersimpan apik di dalam tas berwarna salmon tersebut. Bibirnya melengkungkan senyum ketika membaca id caller.

"Halo Bunda." Sapa nya lembut.

"Halo sayangnya Bunda." Sapa nya penuh keibuan. "Gimana kerjanya? Capek?"

Sekar terkekeh dan tanpa sadar mengangguk, meski Bunda jelas tidak akan bisa melihat anggukannya itu. "Nama nya juga kerja, Bun. Pasti ada capeknya." Kekehnya ringan. "Apalagi Sekar emang udah lama nggak kerja setelah jadi istrinya Mas Reno."

Menyebut nama Reno, helaan napas panjang lantas terdengar lirih dari mulut Bunda. "Seharusnya kamu nggak merepotkan diri seperti ini, andai Reno nggak buta dengan mengkhianati kamu." Tutur beliau sendu. "Karena kebodohan dia, Bunda kehilangan menantu kesayangan Bunda."

Mata Sekar berkaca mendengar kesenduan yang tersirat jelas dari suara wanita yang sepenuh hati membesarkan dirinya. "Bunda jangan bicara kaya gini dong." Tegur Sekar lembut. "Walaupun gelar Sekar sebagai menantu udah nggak ada, tapi kan Sekar selamanya akan tetap jadi putrinya Bunda."

"Kamu bener, sayang." Desah beliau pelan. "Tapi dengan itu juga, Bunda bakal memiliki celah untuk kehilangan kamu nantinya. Kalau kamu bukan menantu Bunda, itu artinya, suatu saat, bakal ada wanita beruntung lain yang bisa menjadikan kamu menantu dan mengambil kamu pergi jauh dari Bunda."

Bibir Sekar kelu. Tak sedikitpun menyangka kalau Bunda setulus dan sesayang itu padanya. Terkadang, ia bahkan lupa jika ia hanyalah anak pungut keluarga ini yang beruntung karena mendapat kasih sayang melimpah dari sepasang suami istri yang ia sebut dengan panggilan Ayah dan Bunda itu.

"Bunda." Lirihnya sendu. "Sampai kapanpun, selagi Bunda nggak ingin Sekar pergi, Sekar pastikan kalo Sekar akan selalu di sini. Di sisi Ayah dan Bunda."

"Bunda nggak bilang seperti itu, nak. Bunda...hanya belum siap melepas pergi putri kesayangan Bunda." Ucapnya makin melirih di akhir kata.

Tanpa terasa, air mata Sekar meluruh ketika menangkap dengan jelas ketulusan Bunda untuknya. "Selamanya Sekar itu putri Bunda. Bunda percaya kan sama Sekar?"

"Tentu! Sampai kapanpun, kamu itu putrinya Bunda. Cuma anak Bunda aja yang bodoh karena mau buang ikan salmon demi ikan mujair kaya pelakor itu."

Suasana haru yang tadi mendekap, lantas berubah penuh tawa karena perumpamaan Bunda tentang dunia perikanan.

"Yaudah, sekarang kamu istirahat ya. Nanti kalo udah selesai bersihin badan, kamu angetin lagi aja rendang ayam yang udah Bunda simpen di kulkas. Kotak warna hijau, di kabinet paling atas. Tadi Bunda masakin biar kamu nggak ribet masak atau bahkan pesen delivery."

Senyum haru lagi-lagi tersungging di bibir Sekar. Sampai kapanpun, perhatian Bunda tidak pernah luntur, meski kini ia bukan lagi anak kecil kumal yang ditemukan di warteg sehabis cuci piring. "Makasih banyak ya Bunda. Harusnya Bunda jangan repot-repot. Bunda pasti capek karena ngurusin Sekar terus. Sekar pasti bakal makan rendang nya. Rasanya pasti seenak biasanya."

Now and ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang