"Kamu becanda, iya kan?"
Nando mengulum senyum dan menggeleng sembari menyuapkan sesuap bakmi hasil racikannya tadi. Mungkin bagi orang awam, tentu akan sulit percaya kalau dirinya memiliki usaha sampingan lain, selain sebagai seorang karyawan di perusahaan sebesar ini.
Tidak bisa menyalahkan juga, toh stereotip kalau karyawan perusahaan besar biasanya hidup hedon dan hobi foya-foya itu memang nyaris benar adanya. Namun tidak baginya. Bagi Nando, menjual bakmi itu merupakan sebuah pekerjaan menyenangkan yang tentunya penuh dengan kenangan. Kenangan akan perjuangannya membiayai kuliahnya dulu.
"Saya nggak bercanda. Bakmi ini memang saya yang jual. Bahkan saya juga yang ngeracik ini semua."
Tidak, Sekar bukannya memandang rendah seseorang yang mau dan punya kerja sambilan lain di saat orang tersebut bahkan sudah mapan hanya dengan satu pekerjaan. Tapi masalahnya...
"Gaji kamu kurang ya di sini? Kok sampe mau jualan bakmi?"
Pecahlah tawa Nando yang menarik atensi karyawan di sekitar mereka. Lelaki itu tertawa lepas, selain karena geli dengan perkataan Sekar, ia juga geli menatap ekspresi wanita itu yang begitu lugu.
"Kok malah ketawa sih?!" Gerutu Sekar. Ia menyuap sekali lagi bakmi nya yang bertoping pangsit rebus dengan rakus.
"Aduh, maaf ya. Saya bukannya ngetawain kamu." Kekeh Nando. "Tapi kamu lucu."
Bertambah sewot lah wajah Sekar ketika Nando mengatakan kalau dirinya lucu. Lucu? Memang nya dia sedang melawak apa sampai dibilang lucu?
"Saya nggak ngelawak, tau!"
"Bukan lucu tentang itu. Tapi tentang ucapan Sekar yang bilang kalo gaji saya kurang di sini." Kekehnya.
Kepala Sekar meneleng bingung. "Kenapa lucu? Bukannya itu...bener, ya?"
Nando tersenyum di kulum dan segera meminum air sebelum menatap Sekar teduh. "Kamu salah, Sekar. Saya jualan bakmi, bukan semata karena kurang gaji, seperti dugaanmu."
Sekar meletakkan sumpitnya dan menyedekapkan kedua tangan di atas meja, menaruh atensi penuh pada Nando. "Kalo bukan karena gaji, terus karena apa?"
"Semua itu nggak bisa semata-mata dilakukan hanya karena motif cari uang." Jawabnya lembut. "Gaji di sini tentu nggak kurang. Berlebih banget malahan buat saya. Tapi di balik itu semua, ada satu hal yang nggak bisa ditukar dengan apapun, meski sama uang sekalipun."
"Terus, apa?"
Nando tersenyum manis pada Sekar. "Kenangannya."
"Kenangan?"
"Iya, kenangan." Ujarnya. "Mungkin Sekar nggak tau, tapi dulu waktu saya masih kuliah, saya bisa sampai di titik ini karena usaha jualan bakmi. Selain bantuin keuangan Bapak Ibu, bakmi ini juga yang berjasa membawa saya sampai sarjana."
Seketika Sekar terdiam di tempat. Salah. Rupanya ia salah mengira. Tampilan Nando yang rapi dan juga matching rupanya tidaklah seperti apa yang ia nilai dan kira sebelumnya. Nando tampak seperti pria metroseksual yang memuja kerapihan dan keindahan, yang tentu sungguh mengejutkan Sekar karena kini ia tahu seperti apa perjuangan Nando untuk mencapai titik ini.
"Kaget ya?" Tebak Nando lagi ketika melihat raut wajah Sekar. Ia tersenyum saat melihat anggukan pelan Sekar. Wanita ini begitu jujur dan terbuka.
"I-Iya. Saya kaget." Ringis Sekar canggung.
"Kalau kamu kaget, berarti sebelumnya ekspektasi kamu ke saya sedikit berlebihan. Iya nggak?"
Lagi-lagi Sekar hanya bisa menunduk malu karena tebakan Nando benar. Siapa sih yang akan mengira kalau laki-laki seperti Nando itu akan berjualan bakmi? Bukannya mengkotak-kotakkan sebuah pekerjaan, tapi bekerja di perusahaan milik keluarganya ini tentu tidak ada celanya, apalagi dari segi materi. Gaji yang di dapat tentu sepadan dengan pekerjaan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Now and Forever
Fiction généralePernikahan bukanlah akhir dari sebuah kisah cinta. Pernikahan merupakan awal dari sebuah kisah romansa sepasang anak manusia.Dan tentunya, ada banyak doa dan harapan untuk kelanggengan serta kebahagiaan dalam menjalani biduk rumah tangga tersebut. N...