Chapter 03

15K 1.5K 97
                                    

Sekar menatap suaminya yang sedang tersenyum-senyum sambil bermain ponsel dengan tatapan lelah. Reno bahkan tidak menyadari kehadirannya jika saja ia tidak sedikit menyentak piring berisi nasi goreng sosis tepat di hadapan suaminya itu.

"Eh..emm..Sekar. Udah siap ya sarapannya?" Reno terdengar kaget dan salah tingkah, lantas segera menyimpan ponsel di kantung celana bahannya.

"Udah. Mas aja yang nggak sadar kalo aku udah dari tadi di sini." Tukasnya pelan dengan menuangkan segelas jus ke dalam gelas.

Reno tersedak nasi goreng nya ketika mendengar tutur dari istrinya itu. "Kamu udah dari tadi di sini?" Tanya nya cemas sekaligus ngeri.

Dalam hati, Sekar hanya bisa tersenyum miris. Kecemasan suaminya itu sudah bisa di pastikan karena ia takut jika Sekar mengintip kegiatan apa yang ia lakukan bersama ponselnya tadi.

"Iya. Mas takut aku lihat apa yang Mas lakuin di ponsel Mas, kan?" Tembak Sekar to the point. "Aku nggak perlu sampe ngintip buat tau apa yang bikin Mas senyum-senyum dari tadi."

Reno menatap Sekar sedih. "Sekar, jangan gini..."

"Karena chat dari Mbak Manda, kan?" Tembaknya lagi dengan nada datar dan dingin, meski dalam batinnya ia menangis pilu.

Reno terdiam di tempat dengan kepala yang perlahan mulai mengangguk, mengamini tuduhan dari istrinya. "Maaf, Sekar." Pinta nya lirih.

Sekar tidak jadi menyendok nasi goreng di hadapannya. Ia beralih menatap suaminya dengan tatapan tegar. "Terus, kenapa Mas masih ada di sini? Bukannya Mbak Manda siap bikinkan lasagna buat Mas? Nggak perlu maksain diri buat makan masakan sederhana buatanku, Mas. Aku tau kamu nggak pernah suka makanan nusantara."

Reno menggeleng pelan. "Kamu lupa kalo Mas sering makan di warteg sejak kecil?"

Sekar tersenyum simpul. "Itu kan waktu kecil. Setelah Mas mulai tinggal di Sweden, aku tau selera Mas nggak akan pernah sama lagi. Jadi jangan Mas paksain diri buat habisin makanan ini daripada nanti ujung-ujung nya Mas malah cerita tentang gimana tersiksa nya Mas yang terpaksa harus makan masakanku ke Mbak Manda."

Cukup sudah. Sekar sudah tidak bisa lagi harus menjadi istri super sabar dan memilih menutup mata, membiarkan suaminya bermain kesana kemari sesuka hati. Jika Reno ingin berlakon seperti ini, maka Sekar tak akan segan untuk turut mengikuti alur ciptaan sang suami.

Reno terpekur di tempat usai Sekar berkata demikian. Sejujurnya, ada rasa sedih yang menggelayuti hatinya ketika Sekar kini berubah tak seperti biasanya. Sekar seolah menjadi perempuan frontal dan tak ingin peduli lagi dengan Reno. Biasanya, Sekar akan berusaha membujuknya untuk menandaskan sarapan pagi buatannya. Reno akui, meski ia sudah tidak terlalu suka lagi dengan cita rasa nusantara, masakan Sekar sungguhlah nikmat memanjakan lidahnya yang cukup picky. Namun bayang masakan Manda yang handal mengolah bahan makanan bercita rasa western juga tak bisa ia abaikan begitu saja.

Ia bingung. Di satu sisi, ia mencintai Manda dengan segenap jiwa nya. Namun di sisi lain, ia menyayangi Sekar layaknya adik kandung nya sendiri, setelah semua yang mereka lewati bersama sejak kecil, tentu sebelum kepergiannya ke Sweden untuk menuntut ilmu.

Lamunan Reno terputus kala Sekar tiba-tiba beranjak dan meraih piring di hadapannya. Ia panik, dan refleks menahan tangan Sekar yang hendak beranjak dari meja makan.

"Mau di bawa kemana nasi goreng nya?"

Sekar tersenyum dan menatap pergelangan tangannya yang di cengkeram Reno lumayan erat. "Mau ke pos nya Pak Arif. Beliau pasti belum sarapan. Daripada berakhir ke tempat sampah, lebih baik di berikan ke orang. Bener kan, Mas?"

Bibir Reno terkatup rapat. Ia menatap nasi goreng tersebut dengan liur yang sesungguhnya tertahan. "Jangan." Ucapnya refleks.

Kepala Sekar meneleng. "Kenapa nggak? Aku udah kenyang sama sepiring penuh jatahku. Jangan repot-repot melegakanku, Mas. Nanti sarapan buatan Mbak Manda mubazir sia-sia. Kasihan kan dia sudah nyiapain itu dari pagi buta."

Reno mendengus mendengar Sekar yang lagi-lagi membawa Manda dalam obrolan mereka. "Berhenti bawa-bawa Manda, Sekar. Dia nggak salah apa-apa."

"Lalu, aku yang salah, gitu? Aku yang salah coba mempertahankan suamiku sendiri dari godaannya?" Sekar mendecih tanpa sadar, yang nyatanya membuat Reno terperangah tak percaya. Sekar tak pernah sekalipun mendecak padanya selama ini. Kenapa sekarang istrinya itu berubah sedemikian banyak? Menyindir, mendecak, seolah ucapannya hanyalah sampah belaka. Ego Reno tersakiti melihat tingkah Sekar.

"Kamu...berdecih? Di depan Mas?"

Sekar menghempas pelan cengkeraman tangan Reno di pergelangan tangannya. Ia menatap datar suaminya. "Iya. Mas nggak salah denger." Ucapnya penuh penekanan. "Aku muak, Mas. Sekarang, semua ucapanmu itu nggak lebih dari sekedar untaian kata yang nggak berarti. Kamu mengharapkan apa dari aku? Tetep menurut dan jadi bodoh setelah selama pernikahan kita kamu main api di belakangku? Jangan ngaco!"

Bertambahlah keterkejutan di diri Reno. Emosi nya terpantik karena ucapan bergaya remeh dari Sekar. "Asal kamu tau, Sekar. Harusnya kamu merasa beruntung jadi istri Mas! Kalo dulu Mas nggak bawa kamu, kehidupan kamu bakal...."

"Suram dan layaknya sampah. I know!" Sela nya tajam. Ia menatap penuh benci dan kekecewaan pada Reno yang ternyata membawa-bawa sebanyak apa jasa nya di masa lalu. Salah satu tanda ketidak ikhlasan seseorang ketika membantu, yaitu kembali mengungkit-ungkit kebaikan apa yang pernah mereka lakukan di masa lalu.

"Kalo waktu bisa di putar, aku bakal milih nggak terima uluran tanganmu waktu itu, Reno! Nggak masalah jadi tukang cuci piring, atau mungkin pengamen jalanan, karena apapun itu, aku bisa hidup di atas kakiku sendiri, dan yang terpenting, nggak di jadikan boneka bodoh karena balas budi yang coba aku berikan ke Ayah dan Bunda setelah semua kebaikan mereka di masa lalu."

"Harusnya, kalo kamu memang cinta sama Manda, tolak aku dan tolak juga permintaan Ayah Bunda untuk memperistri aku! Aku nggak masalah kalo cintaku nggak kesampaian. Setidaknya, aku nggak jadi perempuan bodoh seperti sekarang, yang dengan sabar nya menunggu kamu mau berubah." Sekar berdecih. "Cih, memang nya siapa aku, kan, sampe bisa bikin seorang Reno Mahadewa berubah." Decih nya penuh nanar.

Reno terdiam telak. Ia menyesali ucapannya yang membawa kembali kejadian di masa lalu. Sungguh, ia sama sekali tidak ingin Sekar merasa harus membalas budi padanya dan keluarganya. Ia murni membantu Sekar karena rasa kemanusiaan.

"Sekar, Mas mau minta..."

Belum selesai Reno berkata, tangan Sekar sudah mengibas malas. "Mau minta maaf? Udahlah Mas, percuma. Toh habis minta maaf kamu juga bakal ulangin lagi, kan? Simpen aja maaf mu. Sia-sia."

Sekar menutup ucapannya dan segera menuju pintu depan untuk mengantarkan sarapan ke pos Pak Arif dengan air mata yang menitik deras, meski berulang kali ia menyeka nya. Inilah yang tak akan pernah Reno tahu dan rasakan, bahwa di setiap pertengkaran mereka, air mata Sekar menjadi saksi bagaimana suksesnya Reno meremukkan hatinya yang rapuh dan lemah.

Aku nggak akan segan bunuh selingkuhan pasanganku nanti kalo sampe mereka ketahuan main api di belakangku. Aku tuh mending diputusin aja daripada di selingkuhin. Jijique sama pengkhianat🤮🤮 gimana kalo sama kalian, dears?

Yuk tinggalin vote dan komen pendapat kalian sama chapter ini🤗

29 Juli 2021

Now and ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang