Jarum jam menunjuk ke angka sepuluh saat Alana pulang malam itu.
"Assalamu'alaikum!" Ia berucap salam di depan pintu rumah.
"Waalaikumussalam ...." Terdengar suara putranya menjawab salam dari dalam rumah.
Angga menyambut kepulangan Alana dengan senyum dan pelukan hangat. Lelah yang dirasakan sang ibu selepas bekerja hilang seketika.
"Apa kabar, sayangnya ibu?" tanya Alana.
"Baik ...." Angga menjawab, masih dalam pelukan ibunya.
"Nakal enggak?"
"Enggak dong!"
"Jagain nenek kan?"
Angga mengangguk.
Alana masuk ke dalam rumah. Dia bertemu pandang dengan ibu angkatnya yang berbaring di antas ranjang di tengah rumah. Wanita yang biasa dipanggil bu Nur oleh tetanggannya itu sudah terbaring sakit sejak dua tahun lalu karena didera stroke.
Alana datang ke rumah tersebut saat ia hampir saja melahirkan. Bu Nur mengelola sebuah warung sebelum sakit. Takdir menghendaki mereka bertemu. Bu Nur saat itu dalam kondisi kesepian karena anak-anaknya merantau di tempat yang jauh dan tak kunjung pulang. Sedangkan Alana justru sebaliknya, tak punya tempat pulang. Kondisinya yang sedang hamil besar dan terlunta-lunta membuat bu Nur diterpa rasa iba. Wanita itu menawarkan Alana untuk tinggal di rumahnya sementara waktu.
Alana melahirkan Angga di rumah ini. Sampai hari ini, sudah tujuh tahun berlalu, ia dan putranya masih tinggal disini. Waktu masih sehat. bu Nur membantu Alana mengasuh Angga jika ia sedang bekerja. Namun, dua tahun ini beliau mengalami stroke. Tapi, untunglah Angga sudah besar. Keadaan justru berbalik, Angga lah yang membantu mengurus bu Nur jika Alana sedang bekerja.
"Ibu sehat?" tanya Alana pada bu Nur. Dijawab dengan anggukkan kepala.
Alana tersenyum, lalu memeluk ibunya yang terbaring tak berdaya. "Makasih, Ibu sudah banyak membantuku dan Angga. Aku sayang banget sama Ibu."
Memeluk ibu angkatnya dan mengucapkan terima kasih. Itulah selalu Alana lakukan di malam hari sebelum beranjak tidur. Alana merasa sangat beruntung bertemu dengan orang seperti beliau. Bagi Alana, bu Nur adalah malaikat penolongnya.
Angga bersiap untuk naik ke pembaringan. Alana membantu bocah berusia tujuh tahun itu dengan merapikan tempatnya tidur , hanya sebuah kasur busa tipis. Alana memasangkan seprai yang sudah pudar warnanya pada kasur tersebut.
Alana mencium pipi Angga dan juga pipi ibunya. Lantas mematikan lampu.
Saat orang-orang tersayangnya telah terlelap, Alana memilih untuk duduk di lantai, bersandar ke dinding. Cahaya temaram yang berasal dari lampu jalan desa menemaninya. Ingatan akan pertemuan dengan seorang pria tadi siang membuat air mata Alana menetes tanpa diminta. Pria itu, pria yang pernah ia harapkan untuk tak akan pernah lagi berjumpa. Pria itu adalah ayah kandung putranya. Alana sama sekali tidak mengira akan bertemu dengan pria itu lagi, terlebih di desa ini.
"Dasar! Kamu wanita nakal! Aku benci padamu!" kata pria itu delapan tahun lalu. Ya, pria itu sangat membenci Alana.
"Kamu tidak pantas untuk pria baik-baik. Kamu akan menderita seumur hidupmu karena semua yang telah kamu lakukan!"
Dan, semuanya benar-benar terjadi. Kata-katanya waktu itu, menjadi seperti sebuah kutukan bagi Alana. Setelah pertemuan terakhir dengannya, Alana mengalami berbagai macam kejadian buruk dan menyakitkan. Alana merasakan berbagai macam penderitaan dalam hidup. Ibu dan ayahnya wafat dalam waktu yang berdekatan, lalu dia mendapati kenyataan bahwa ia bukanlah anak kandung orang tua yang membesarkannya. Alana diusir dari rumah tempat dia diasuh sejak bayi. Hidup terlunta-lunta di jalanan, dan menjalani kehamilan yang cukup menyiksa seorang diri. Sampai akhirnya ia bertemu dengan bu Nur, penyelamatnya.
Alana menutup mulut. Ia takut isak tangisnya akan membangunkan Angga dan bu Nur. Seperti inilah dia selalu mengisi malam-malamnya, dia akan menangis sampai jatuh tertidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia Milik Kita
RomanceAlana adalah orang tua tunggal. Dia ibu dari seorang anak bernama Angga. Mereka hidup bahagia meski kerap disandra kesulitan dan ujian hidup.