Bab 28

2K 168 5
                                        

Siang hari itu Hamidah terlihat sedang berada di sebuah restoran. Ia sendirian, sedang menunggu seseorang. Di hadapannya ada beberapa jenis makanan yang baru lima menit lalu disajikan. Wanita itu beberapa kali mengusap layar telepon selular, berharap ada pesan dari orang yang sedang ia tunggu, yang kabarnya tak lama lagi akan segera sampai.

Hamidah menghela nafas, teringat suaminya yang pagi hari tadi ia abaikan. Bukan kesengajaan sebenarnya, Hamidah tengah fokus mengaduk adonan saat Salman pamit dengan suara yang kalah keras dari suara mesin pengaduk.

Sudah beberapa hari sejak pertengkaran dini hari itu. Rumah yang telah lima tahun menjadi tempat mereka bernaung menjadi semakin sunyi. Salman memang selalu pendiam, tapi Hamidah biasanya selalu ceria, ia sangat tidak suka suasana suram. Wanita itu yakin suaminya sedang dalam kondisi serba salah sekarang dengan sikap diam Hamidah saat ini.

"Assalamualaikum...."

Hamidah mendengar suara seseorang. "Wa'alaikumussalam." Ia berdiri dan menjulurkan tangan kanannya ke hadapan orang tersebut. "Selamat datang, Mbak Hanum." Mereka bersalaman.

Yang baru saja datang memang bernama Hanum. Hamidah mengenalnya saat mendampingi Salman menghadiri pernikahan wanita itu. Hanum adalah teman Salman saat masih di Sekolah Menengah Atas.

Setelah bertanya kabar, Hamidah mempersilakan Hanum untuk duduk dan memesankan menu yang sama dengan yang ia pesan.

"Ada keperluan apa, nih, Mbak Midah?" tanya Hanum setelah percakapan basa basi mengudara selama beberapa menit. "Kok, tiba-tiba mau bertemu dengan saya."

"Panggil saya 'Midah' saja, Mbak Hanum." Hamidah memang dua tahun lebih muda dari Hanum. "Sebelumnya saya mohon maaf karena menyita waktu Mbak."

Hanum tersenyum. "Tidak apa-apa. Alhamdulillah, bisa silaturahim, menambah teman dan saudara."

"Saya mau bertanya tentang seseorang, Mbak."

"Seseorang?" tanya Hanum. "Siapa?"

"Mbak Hanum tahu perempuan yang bernama Alana?" tanya Hamidah.

"Alana? Yang mana?"

"Yang satu sekolah dengan Mbak dan suami saya."

Hanum terdiam. Keningnya yang berkerut menandakan bahwa ia tengah menggali kembali ingatan. Setelah beberapa saat, raut wajahnya berubah suram. "Alana yang itu...," gumamnya. Hanya satu 'Alana' yang ia kenal saat masih SMA. Tidak, sebenarnya, hanya satu Alana yang ia kenal seumur hidupnya.

"Iya, Mbak, Alana yang itu," ucap Hamidah. "Mbak masih ingat, kan?"

"Kalau boleh tahu, ada keperluan apa Midah bertanya tentang beliau," tanya Hanum. "Dan, kenapa tidak bertanya kepada Salman saja?"

Hamidah menggeleng pelan. "Sepertinya, suami saya tidak terlalu mengenal beliau."

Helaan nafas terdengar dari bibir Hanum. Entah apa yang sebenarnya wanita itu rasakan setelah mendengar nama yang dulu sekali pernah ia tahu.

"Baru-baru ini saya bertemu dengannya." Hamidah bicara setelah meneguk minuman yang sejak awal telah tersaji di atas meja. "Saya mencoba menjadi temannya, tapi, sepertinya ia orang sulit sekali didekati."

Hanum terdiam. Tatapannya nanar tertuju pada gelas yang masih dipegang Hamidah. Pikirannya terbang entah ke mana.

"Mbak?!"

"Iya?!" Hanum terkesiap karena Hamidah memanggilnya dengan suara cukup keras.

"Ada apa?"

"Ah, iya..."

"Jadi, Mbak kenal, kan?" Entah sudah berapa kali Hamidah menanyakan hal yang sama.

Hanum mengangguk. "Iya, kenal. Tapi tidak begitu dekat."

Bahagia Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang