"Loh, katanya izin libur?" Perempuan bernama Santi itu bertanya pada Alana yang datang jauh melewati jam masuk kerja.
Hari ini Sabtu, akhir pekan, kantor tempatnya bekerja tutup. Santi selalu membantu ibunya yang merupakan pemilik 'Warung Bakso Pak Warto' setiap akhir pekan. Melayani pembeli sekaligus mengawasi pekerjaan para karyawan dan juga memeriksa laporan keuangan.
Beberapa jam sebelumnya, Santi mendapat kabar bahwa Alana meminta izin tidak masuk kerja karena ada keperluan keluarga.
"Iya, Mbak." Alana menjawab pertanyaan Santi. Di sampingnya ada Angga yang menatap takut-takut sambil bersembunyi di balik tubuh ibunya.
Santi berjongkok di depan Alana. "Ini siapa?" Ia bertanya pada Angga.
Alana mengelus punggung sang anak. Lalu berkata pada Santi, "Ini Angga, anak saya."
Santi tersenyum pada Angga, lalu kembali berdiri. Dia menatap koper dan beberapa tas besar yang dibawa Alana. "Kalian mau pindah?"
"Iya, Mbak." Alana menelan saliva, mengusir getir yang tiba-tiba saja hadir di hatinya. "Rumah yang kami tinggali sebelumnya mau dijual sama pemiliknya. Jadi, kami disuruh pindah."
"Mau pindah ke mana?" tanya Santi.
Entah bagaimana Alana harus menjawab pertanyaan itu. Bukan hal mudah mencari tempat tinggal dalam waktu yang begini singkat. Terlebih lagi, kondisi keuangannya yang tak cukup baik. Alana sangat bersyukur tak dimintai biaya sewa oleh anak-anak bu Nur setelah selama hampir delapan tahun ia tinggal bersama ibu mereka. Kalau dimintai biaya sewa, mungkin, keadaannya bisa lebih sulit lagi.
"Belum ada tempat tinggal?" Pertanyaan Santi menyadarkan Alana dari lamunannya.
"Iya. Belum, Mbak." Alana meremas pelan pundak anaknya yang sejak tadi ia pegangi. Mencoba mencari kekuatan atas perasaan tak berdaya yang semakin menguasai benaknya.
Tenang saja, Alana, pasti ada tempat untukmu dan anakmu. Tuhan tidak akan membiarkan kalian hidup terlunta-lunta. Begitu ia menguatkan batinnya.
"Sementara, tinggal di mess aja dulu," kata Santi.
Alana mendongak. "Mes?"
"Iya, mess, tempat karyawan nginep. Ibu emang sediain mess, buat karyawan yang gak sempet pulang ke rumah mereka."
Alana menghela nafas seraya mendawamkan syukur di dalam hati. Allah memang begitu baik.
"Apa boleh kami tinggal di situ, Mbak?" tanya Alana.
Santi tersenyum, lalu mengangguk. "Iya, tentu. Yuk, saya anter ke mes. Ada di belakang. Di samping toilet."
Alana menggendong ransel besar berisi pakaian yang dibawanya dari rumah bu Nur, lalu menarik koper dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menggenggam tangan Angga, membimbing lelaki kecil itu untuk mengikuti langkah Santi, berjalan ke 'mess' yang wanita itu maksud sebelumnya.
***
"Loh, Surya?" Anton, si manajer mini market menyapa teman lamanya. Tiba-tiba saja laki-laki yang seusia dengannya itu ada di mini market tempatnya mencari nafkah.
"Iya, nih." Surya tersenyum.
"Tumben, jauh-jauh belanja kemari?"
Surya menggeleng. "Maaf nih, saya datang bukan mau belanja."
Anton mengernyit. "Loh, memang ada perlu apa?"
"Saya mau bertemu bu Lana, mau meminta maaf secara langsung. Saya sudah salah menuduh beliau mencuri barang milik atasan saya."
Ya, sejak tablet milik Salman ditemukan, Surya selalu disandra rasa bersalah. Ia pikir, perasaan itu tak akan hilang jika tidak meminta maaf secara langsung kepada pihak yang menjadi korban kecerobohannya.
Surya mendengar Anton berdehem. Laki-laki yang menempuh pendidikan tingkat universitas bersamanya itu nampak sedikit gugup. Timbul sebuah dugaan di hati Surya.
"Bu Lana masih kerja di sini, kan?" Surya bertanya.
Anton menghela nafas. Lalu berkata, "Dia sudah gak kerja di sini. Hari itu, waktu kamu telepon saya, soal bu Lana kemungkinan mencuri barang milik atasan kamu, dia saya rumahkan."
Surya tercengang. Matanya membulat sempurna. Sementara tangannya refleks menutup mulutnya tiba-tiba saja menganga.
"Sorry, Sur. Meskipun baru dugaan, saya gak bisa ambil resiko. Selama kerja di sini, bu Lana memang jujur, gak pernah ada gelagat yang aneh-aneh. Tapi, setelah telepon kamu waktu itu, saya memikirkan kemungkinan bahwa dia memang benar-benar pencuri. Jadi, saya suruh dia berhenti kerja sementara. Sampai dia terbukti tidak mencuri."
"Sekarang ... dia sudah terbukti tidak mencuri." Surya memegangi lengan temannya. "Tablet milik atasan saya jatuh, bukan dicuri oleh bu Lana."
Anton mengangguk. "Ya, saya sudah tahu. Tapi saya sudah rekrut karyawan pengganti bu Lana, gak bisa nambah karyawan baru untuk sementara. Jadi, bu Lana belum bisa saya pekerjakan lagi di sini."
Ah, Surya merasa begitu nelangsa, jika bukan karena gengsi, mungkin ia telah menangis. Rasa bersalahnya semakin menjadi-jadi. Ia telah membuat hidup orang lain begitu sulit. Wanita yang memperkenalkan diri sebagai bu Lana itu datang ke kantornya untuk meminta bantuan keuangan, biaya pendidikan untuk anaknya. Dia memohon-mohon pada Surya. Alih-alih memenuhi permohonannya, Surya justru membuatnya menjadi tertuduh. Dan tuduhannya, benar-benar salah. Bagaimana ini?
"Kamu tahu di mana dia tinggal?" Surya bertanya pada Anton. Dijawab dengan anggukkan kepala.
"Dia tinggal di Margahayu, belakang komplek pertokoan ...." Anton membertitahukan alamat Alana pada Surya, alamat itu ia dapatkan dari daftar biodata karyawan yang diisi Alana sejak pertama kali bekerja di mini market itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia Milik Kita
RomanceAlana adalah orang tua tunggal. Dia ibu dari seorang anak bernama Angga. Mereka hidup bahagia meski kerap disandra kesulitan dan ujian hidup.