"Memangnya bang Salman gak cerita?"
Hamidah menjawab pertanyaan Surya hanya dengan menggeleng pelan. Mereka berdua sedang duduk di sebuah kafe yang berada tak jauh dari kediaman Hamidah. Adiknya itu baru saja menceritakan masalah yang terjadi di tempatnya bekerja, yang tak lain adalah kantor Salman juga. Jadi, dua hari lalu ada beberapa orang karyawan dipecat karena terbukti memalsukan data penerima bea siswa dari Yayasan Supersemar demi mendapatkan keuntungan untuk diri mereka sendiri.
Meski dana yang dikelola Yayasan Supersemar berasal dari keuntungan perusahaan yang dikelola keluarganya, Hamidah dan Surya telah tahu, bahwa Salman bukan orang yang akan diam saja dengan penyimpangan seperti ini.
Yayasan Supersemar dirintis oleh laki-laki itu sejak masih berstatus mahasiswa. Konon, sejak Salman masih menempuh pendidikan di Sekolah Dasar, teramat sering ia mendapati temannya kesulitan membayar biaya sekolah sehingga akhirnya banyak yang memutuskan untuk tidak meneruskan menempuh pendidikan. Padahal, pendidikan adalah hal yang paling penting, terutama jika memang hendak meningkatkan taraf hidup. Salman dengan jiwa belianya merasa sedih dan prihatin terhadap hal tersebut, begitu juga dengan kedua orang tuanya yang kebetulan sama-sama berkecimpung di dunia pendidikan, selain menjadi pemilik perusahaan minyak dan gas berskala besar.
Saat memasuki dunia kampus, Salman aktif di berbagai organisasi. Ia melakukan banyak kegiatan sosial bersama teman-teman satu organisasinya. Salah satunya adalah membuka sekolah gratis meski masih bersifat informal. Semakin dewasa, ia semakin mengerti tentang pentingnya melakukan aksi nyata, terutama yang berkaitan dengan pendidikan anak, baik dari tingkat dasar hingga menengah atas. Karena itu lah ia mengajukan proposal pendirian Yayasan Supersemar pada orang tuanya. Dengan misi untuk membantu mencerdaskan kehidupan masyarakat, yayasan tersebut melakukan kegiatan salah satunya berupa pemberian bea siswa sekolah bagi anak-anak yatim dan dhuafa. Beruntungnya Salman, proposal tersebut disetujui dan program-program yayasan dapat didukung sepenuhnya oleh orang tuanya.
"Jadi ternyata, sudah sering begitu, Kak." Surya bicara berapi-api. "Mereka sekongkol untuk berbohong."
"Hmmm...." Hamidah bergumam dengan wajah ditekuk,. Terlihat acuh tak acuh.
"Sudah hampir dua puluh juta, mereka menggelapkan dana yayasan." Jari tengah dan telunjuk Surya teracung. "Bener-bener deh...!" Pemuda itu menggeleng-geleng.
"Hmmm...." Lagi-lagi Hamidah hanya bergumam.
Surya mengernyit melihat tingkah sang kakak. Biasanya, wanita itu sangat antusias dengan cerita-cerita yang ia sampaikan , terutama jika berkaitan dengan Salman--suaminya.
"Kak!" Surya memanggil dengan suara cukup keras.
"Ya?!" Hamidah tersentak.
"Kok bengong?"
"Hah?! Gak kok." Hamidah menggeleng.
"Kakak kenapa?" tanya Surya penuh selidik.
"Kenapa apanya?"
Surya menghela nafas, lantas mencebik. Jelas sekali kalau kakaknya sedang dirundung masalah. "Ada masalah apa? Cepat cerita!"
"Gak ada." Hamidah menggeleng bersikeras.
"Alah..., jangan bohong!"
Lagi-lagi Hamidah menggeleng.
"Berantem sama bang Salman?"
Hamidah menggeleng lagi, sementara wajah cantiknya kusut bak kain yang belum disterika. Wanita yang berusia tiga tahun lebih tua dari Surya itu bahkan tak tahu apakah ia memiliki masalah atau tidak.
Hamidah tak henti dihantui bayang-bayang saat Salman membela Alana di depan sekelompok orang yang menyerangnya di warung bakso beberapa hari lalu. Bukan, ini bukan tentang Salman yang ingin memberi kompensasi kepada wanita tua yang telah membantu Alana dan Angga, Hamidah sama sekali tak keberatan. Ini tentang Salman sendiri, dan ekspresi yang dimilikinya saat itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia Milik Kita
RomanceAlana adalah orang tua tunggal. Dia ibu dari seorang anak bernama Angga. Mereka hidup bahagia meski kerap disandra kesulitan dan ujian hidup.