Bab 4

6.7K 471 4
                                        

Pagi itu, Salman berjalan hilir mudik di kantornya. Dia mencari barangnya yang hilang, barang tersebut harganya lumayan mahal. Yakni, sebuah tablet yang dilengkapi dengan berbagai fitur canggih.

Terakhir ia melihat barang itu, adalah kemarin siang. Salman pikir, tablet tersebut tidak ia bawa ke kantor. Karena itu, saat kemarin ia tidak dapat menemukannya di meja kerja, laki-laki itu memutuskan untuk santai saja. Namun, ketika ia telah pulang ke rumah sore harinya, Salman baru ingat dengan jelas bahwa dia membawanya ke kantor.

"Ada apa, Pak?" Seorang office boy bernama Agus bertanya pada Salman.

"Saya nyari tablet. Kemarin saya bawa, saya simpan taruh di atas meja."

Agus mengernyit. "Kemarin waktu bersih-bersih di ruangan Bapak, saya gak nemu tablet, Pak."

"Serius kamu?" tanya Salman, "jam berapa kamu ke ruangan saya kemarin?"

"Seperti biasa, jam lima sebelum kantor tutup. Waktu itu, Bapak udah pulang."

Salman manggut-manggut mendengar jawaban Agus.

"Ada apa, Pak?" Tiba-tiba saja Surya telah berdiri di ambang pintu dan bertanya pada Salman serta  Agus.

"Tablet saya hilang, Surya," jawab Salman.

Surya sempat terpaku beberapa saat. "Hilangnya kapan, Pak?" tanyanya kemudian.

"Kemarin jam sepuluhan saya masih pegang. Tapi, waktu pulang gak ada."

Salman teringat seorang wanita asing yang sempat memasuki ruangannya hari kemarin. Seorang wanita yang memperkenalkan diri sebagai bu Lana.

"Apa mungkin ...." Surya bicara dengan hati-hati, "ibu-ibu yang kemarin yang ambil, Pak?" 

Si pemilik ruangan menghela nafas mendengar dugaan Surya. "Benarkah wanita itu yang mengambilnya?" Batin Salman bertanya-tanya.

Dia tak ingin asal menuduh, tetapi, satu-satunya orang yang masuk ke ruangannya dalam rentang waktu antara pukul sepuluh sampai pukul empat saat ia pulang kantor adalah wanita itu.

"Kamu yakin, Sur?" tanya Salman.

"Ini cuma dugaan, Pak. Kemarin, waktu saya ketemu dia lagi berdiri di depan ruangan Bapak, dia lagi nangis, kayak ketakutan gitu. Cuma itu yang mendasari kecurigaan saya, Pak."

Salman menghela nafas. Jika benar tabletnya dicuri wanita itu, di satu sisi, ia ingin mengikhlaskan. Ia tidak ingin membuat seseorang berada dalam masalah karena dirinya. Tapi di sisi lain, karena harga alat elektronik yang dibeli pertengahan tahun lalu itu tergolong mahal, ada sebuah keinginan untuk  tidak merelakannya begitu saja. Harga satu tablet itu sama saja dengan harga dua buah motor bebek baru.

"Kalau kita tanya orangnya gimana ya? Bukan mau nuduh, mau nanya aja ... gimana menurut kalian?" Salman meminta pendapat Surya dan Agus.

"Saya setuju, Pak," jawab Surya. "Biar saya hubungi teman saya. Dia manajer di minimarket tempat ibu itu kerja."

Salman mengangguk. "Ya. Silahkan."

***

Alana terheran, saat sedang sibuk membersihkan kamar mandi, tiba-tiba saja ia dipanggil manajernya. Ia berjalan memasuki ruangan atasannya itu dengan hati bertanya-tanya. Alana mengingat-ingat kembali performanya dalam bekerja sebagai cleaning service selama tiga tahun ini. Rasa-rasanya, dia tidak melakukan kesalahan apapun.

"Silahkan masuk!" Atasan Alana yang biasa disapa 'pak Anton' mempersilahkan untuk masuk setelah ia mengetuk pintu. "Silahkan duduk, bu Lana."

Alana mengangguk. "Baik, Pak."

Anton menghela nafas. Kabar yang baru diberitahukan temannya via telepon sungguh sangat tidak menyenangkan untuk didengar. Anton telah lama memperkerjakan Alana di minimarket, wanita itu selama ini bersikap sangat baik. Ia jujur dan bertanggung jawab. Beberapa kali Anton pernah mengujinya. Alana selalu lulus ujian.

"Bu Lana, saya ditelepon teman saya yang bekerja di Yayasan Beasiswa Supersemar. Kemarin bu Lana ke tempat itu, kan?!"

Alana mendongak. "Iya, saya ke sana, Pak," katanya.

"Begini, Surya, teman saya, petugas administrasi di sana mengabarkan bahwa tablet milik atasannya hilang."

Alana mengernyit. "Tablet?" Benaknya mengira-ngira bagaimana bentuk benda yang baru saja dia dengar itu. "Itu obat ya, Pak?" tanya Alana, tak mengerti.

"Bukan. Itu alat elektronik, bentuknya seperti hand phone, cuma lebih besar." Anton memperlihatkan tablet miliknya sendiri kepada Alana. "Seperti ini," katanya.

"Oh ...."

"Tablet atasan Surya hilang setelah bu Lana keluar dari ruang kantornya."

Alana tercengang. Hatinya seketika dilanda gelisah. "Bukan saya yang ambil, Pak," kata Alana. Matanya berkaca-kaca. Ia cukup cerdas untuk mengerti bahwa ia lah yang dituduh mencuri benda yang entah apa namanya itu.

"Katanya, sudah dicari ke mana-mana, tidak ada," kata Anton.

"Bukan saya, Pak." Indra penglihat Alana menitikkan bulir bening, "saya bersumpah. Kemarin memang saya ke sana, tapi saya gak ambil apa-apa. Tolong, Pak, percaya sama saya."

Anton merasa dilemma, dia ingin mempercayai Alana. Namun, dia memikirkan opsi bahwa ada kemungkinan karyawannya itu juga berbohong. Meskipun selama ini Alana bersikap jujur dan bertanggung jawab di minimarket, tapi di tempat lain belum tentu. Dan jika benar Alana memang mencuri tablet milik atasan Surya, tentu itu sebuah masalah. Bisa jadi, jika punya kesempatan, Alana juga akan berani mencuri di minimarket. Dan, bagaimana jika informasi tentang pencurian itu beredar di masyarakat? Itu akan mencoreng nama baik minimarket tempatnya mencari nafkah.

"Begini, bu Lana. Untuk sementara, sampai Ibu terbukti tidak bersalah. Ibu saya rumahkan dulu."

Alana mendongak sambil menghapus sisa-sisa air matanya. "Maksudnya, saya dipecat, Pak?"

Anton menggeleng. "Bukan ... dirumahkan dulu. Saya akan minta pihak Yayasan Beasiswa Supersemar melakukan penyelidikan lebih mendalam. Untuk mencari siapa sebenarnya yang mencuri tablet itu. Nanti, kalau sudah ketemu pencurinya, Ibu akan saya panggil lagi untuk bekerja."

Alana menghela nafas, pasrah. Kepalanya terkulai lemah, selemah posisinya sebagai karyawan rendahan. Dia tidak bisa melakukan perlawanan apapun jika ini sudah kehendak atasannya.

"Ini gaji Ibu untuk bulan ini." Anton menyodorkan sebuah amplop berwarna putih, "silahkan diterima dan silahkan bu Lana pulang, karena pekerjaan Ibu hari ini sudah selesai."

Alana menerima amplop itu dengan hati hancur. Dia merasa diinjak-injak, namun tak punya pilihan lain selain menerima tuduhan. Alana berharap penyelidikan yang dikatakan atasannya akan benar-benar dilakukan, dan ia akan terbebas dari tuduhan pencurian segera.

Bahagia Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang