Alana berdiri di depan Gedung itu. Dia sedikit ragu, tapi ia tahu, ini memang sesuatu yang harus dilakukan. Alana harus masuk ke gedung itu demi Angga, putranya.
"Permisi ..." Alana berucap kepada seorang pria muda ketika sampai di ambang pintu yang terbuat dari kaca.
"Iya, Ibu. Silahkan masuk ...!" Pria muda menyambut kedatangannya dengan sangat ramah
Alana dipersilahkan untuk duduk di bangku tunggu, sementara petugas petugas administrasi melayani pengunjung yang lain.
Gedung yang sedang Alana datangi adalah milik sebuah lembaga non profit. Gedung ini, baru satu tahun dibangun. Para penghuninya adalah petugas dari sebuah yayasan sosial. Mereka memberikan beasiswa kepada anak-anak yatim dan dhuafa.
Satu bulan lalu, beberapa orang datang ke kampung tempat Alana tinggal bersama anak dan ibu angkatnya. Orang-orang tersebut berasal dari tempat ini. Mereka bertugas mencari anak-anak yatim dan dhuafa yang akan diikutkan dalam program beasiswa.
Angga adalah salah satu anak yang didaftarkan oleh pengurus RT. Alana dan keluarga kecilnya memang termasuk kalangan tidak mampu. Alana sangat senang waktu itu, putranya sudah tujuh tahun, sudah seharusnya memasuki sekolah jenjang sekolah dasar. Namun ternyata, Angga tidak lolos seleksi. Dikarenakan syarat administrasi yang tidak dipenuhi. Anak-anak yang didaftrakan untuk program beasiswa itu diminta untuk melengkapi data-data pribadi, seperti akta lahir, kartu keluarga dan sebagainya.
Alana mengakui, ini memang kesalahannya. Sejak Angga lahir ia tidak pernah mengurus berkas-berkas itu, mereka tidak punya kartu keluarga, akta lahir saja bahkan Angga tidak punya. Selama ini Alana terlalu sibuk berkerja, untuk memenuhi kebutuhan perut mereka. Dia mengabaikan hal-hal yang sesungguhnya penting itu.
"Silahkan, bu Lana ...." Petugas mempersilahkan Alana untuk masuk ke ruang konsultasi.
Alana bertemu dengan seorang pria mengenakan kemeja putih di tempat itu.
"Namanya bu Alana?" tanya pria itu.
Alana mengangguk dan mengiyakan. "Iya, Pak. Biasanya dipanggil Lana."
"Jadi, ada yang bisa kami bantu, bu Lana?"
Alana menelan saliva. Perasaan gugup tiba-tiba saja menyapa.
"Silahkan bicara, Bu. Santai aja, saya gak gigit kok." Pria itu berseloroh. "Nama saya Surya, bu Lana jangan sungkan-sungkan sama saya."
Alana mengangguk pelan. "Begini, Pak. Kemarin anak saya, Angga, ikut didaftarkan program beasiswa, tapi gugur ...."
"Kalau boleh tahu, karena apa gugurnya, bu Lana?"
"Karena saya tidak memenuhi syarat administrasinya. Pak, saya memang belum sempat mengurus akte kelahiran, cuma ada surat keterangan lahir aja. Kartu Keluarga juga kami tidak punya. Tapi, Pak, kami memang orang susah. Saya kerja cuma cleaning service di mini market. Saya punya ibu yang sakit stroke. Saya butuh biaya untuk Angga masuk sekolah beberapa bulan ke depan."
Laki-laki bernama Surya di hadapan Alana mengangguk-angguk. "Begini, bu Lana," Ia menghela nafas," pendaftaran untuk program itu sudah ditutup. Kami mohon maaf," katanya sambil menatap iba.
"Apa sama sekali tidak bisa diberi kelonggaran, Pak? Saya mohon ...." Alana menangkup dua tangan di dada. Dia bicara sambil menahan air mata.
"Mohon maaf, Bu. Tidak bisa ... Ini sudah kebijakan Lembaga."
"Saya mohon, Pak ...."
"Mohon maaf sekali lagi, bu Lana. Ini sudah kebijakan pimpinan, kami hanya menjalankan tugas."
"Begitu ya ...." Alana kehilangan kata-kata. Tidak tahu harus bagaimana lagi memohon. Ia menitikkan air mata saat teringat putranya yang begitu bersemangat karena akan masuk sekolah seperti teman-teman bermainnya.
Alana tidak punya keluarga, dia sebatang kara. Tidak ada tempat baginya untuk meminta pertolongan, termasuk meminjam uang. Ia memang punya seorang ibu angkat, tapi, ibu angkatnya tersebut sudah dua tahun ini sakit. Jadi, apa yang harus Alana lakukan?

KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia Milik Kita
RomanceAlana adalah orang tua tunggal. Dia ibu dari seorang anak bernama Angga. Mereka hidup bahagia meski kerap disandra kesulitan dan ujian hidup.